Masjid dan Imam di Indonesia (Bag. 1)

Masjid dan Imam

Tidarislam.co – Indonesia memiliki populasi lebih dari 275,7 juta penduduk dengan 87,54% di antaranya merupakan pemeluk Islam. Keberadaan Muslim menyebar di 34 provinsi 514 kabupaten/kota dan 81.616 desa dengan tingkat populasi yang beragam. Mereka terpusat di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Dengan banyaknya penyebaran umat Islam sampai ke pelosok desa, masjid sebagai tempat Ibadah umat Islam juga dapat dijumpai mulai dari ibukota di Jakarta sampai distrik terkecil di setiap desa dan sub-desa, bahkan di tempat yangmana umat Islam menjadi minoritas seperti di Bali.

Selain masjid, bangunan sembahyang umat Muslim di Indonesia yang lebih kecil biasanya disebut musholla, yang secara literer berarti “tempat sholat”. Di beberapa daerah lain disebut juga dengan surau. Selain ukurannya yang lebih kecil, ciri yang membedakan keduanya biasanya masjid digunakan untuk shalat fardhu setiap hari dan shalat Jum’at sehingga ada imam dan khatib di dalamnya. Sedangkan musholla atau surau, karena ukurannya lebih kecil, tidak digunakan untuk shalat Jum’at sehingga ada Imam tetapi tidak ada khatib di dalamnya. Pengurus yang mengurusi masjid biasanya disebut “takmir masjid”, yang dipimpin pemuka agama setempat, dan dibantu dengan “marbot masjid” sebagai tenaga pendukung. Mereka mengurusi berbagai hal mulai dari memilih imam sembahyang dan muadzin, pelaksanaan ritual sembahyang rutin seperti shalat lima waktu, hingga pelaksanaan hari-hari besar umat Islam, khususnya ritual pada bulan Ramadhan.

Jumlah masjid dan mushalla yang tersebar di berbagai daerah sangat banyak sekali. Dalam data Kementerian Agama Republik Indonesia, masjid dan mushalla yang sudah terdaftar di Sistem Informasi Masjid mencapai 741.991 (terdiri dari 296.797 masjid dan 445.194 mushalla), belum termasuk yang belum mendaftarkan diri dan tercatat oleh pemerintah. Selain masjid besar yang menjadi ikon nasional seperti masjid Istiqlal di Jakarta, di setiap provinsi biasanya terdapat masjid utama. Dalam peraturan resmi Pemerintah Republik Indonesia, masjid di tingkat pusat disebut sebagai Masjid Negara, masjid pada tingkat provinsi disebut Masjid Raya, masjid pada tingkat kabupaten/kota disebut dengan Masjid Agung, sementara pada tingkat kecamatan disebut sebagai Masjid Besar, sementara di tingkat desa disebut Masjid Jami’.

Figure 1 Masjid Istiqlal, satu-satunya Masjid Negara di Pusat Ibu Kota Jakarta

Karena luasnya pengaruh Islam, keberadaan masjid dapat dijumpai di kantor-kantor pemerintah yang disebut Masjid Nasional, kantor-kantor swasta, kampus-kampus agama bahkan kampus non-keagamaan, hingga di tempat-tempat publik dan masjid yang berstatus sebagai Masjid Bersejarah. Sebagian kecil dibangun dan dikelola secara formal oleh pemerintah, namun sebagian besar masjid dibangun dan dikelola secara informal dan mandiri oleh komunitas-komunitas Muslim setempat, bahkan dimiliki oleh individual atau keluarga.

Dengan adanya beragam jenis masjid tersebut, pada praktiknya terdapat beragam pula jenis Imam, sehingga secara praktis terdapat Imam Masjid Negara, Imam Masjid Nasional, Imam Masjid Raya, Imam Masjid Agung, Imam Masjid Besar, Imam Masjid Jami’, hingga Imam Desa yang sehari-hari mengabdi dan melayani umat di desa-desa. Masjid Negara di Indonesia hanya ada satu (Masjid Istiqlal) yang dibiayai oleh negara dan Imam di dalamnya ditujuk oleh negara. Sementara sebagian besar Imam dan Khatib di Indonesia berperan mulai dari Masjid Nasional hingga mushalla-mushalla.

Institusi Para Imam

Dalam bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia yang mayoritas Sunni, Imam dimengerti sebagai pemimpin shalat yang dilakukan secara bersama-sama. Sering dimaknai pula sebagai orang yang dianggap saleh dan dianggap pantas menjadi pemimpin atau penghulu agama, pemimpin madzhab, atau pemimpin spiritual tertinggi seperti dalam komunitas Syiah. Namun umumnya Imam dimengerti sebagai pemimpin shalat dan pemuka agama yang berperan dalam aktivitas ibadah di Masjid.

Lazimnya masyarakat Indonesia tidak melihat Imam sebagai sebuah profesi yang tetap. Meskipun demikian, di beberapa Masjid tertentu di Indonesia memang ada yang mengangkat Imam sebagai profesi khusus yang bekerja secara profesional. Kedudukan Imam di Indonesia seringkali juga distratifikasi berdasarkan karakteristik atau kategori Masjid yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan wilayah administratif. Kedudukan Imam juga, dalam beberapa aspek, tidak terlepas dari perhatian pemerintah mengingat Indonesia memiliki Kementerian Agama yang mengurusi urusan-urusan keagamaan, terumasuk urusan Masjid. Pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan aturan-aturan tertentu yang mengatur tentang posisi Imam di Masjid dan memberikan pelatihan peningkatan kapasitas dan keterampilan bagi para Imam.

Namun demikian, tidak ada ikatan formal antara Imam dengan pemerintah. Lebih banyak hubungan terjadi secara informal karena seorang Imam tidak ditunjuk oleh pemerintah, melainkan hadir dari tengah-tengah masyarakat. Tidak ada prosedur khusus untuk menjadi seorang Imam, kecuali reputasi dan kepercayaan yang terbangun secara alamiah di tengah masyarakat. Sehingga, sekalipun mereka bukan pejabat pemerintah, tetapi mereka memiliki status sosial yang mulia di tengah masyarakat yang identik dengan kelas sosial sebagai “santri” (orang saleh yang memahami ihwal keagamaan). Identitas atau penampilan seorang Imam juga tidak melekat dengan pakaian khusus, kecuali pakaian khas Muslim Indonesia.

Namun hari ini, bagaimanapun, dalam keseharian masyarakat Indonesia, peran seorang Imam seringkali tidak terbatas hanya urusan di Masjid. Kehadiran Imam di tengah masyarakat lokal juga multi wajah dan lebih kompleks. Kehadiran seorang Imam terjadi di tengah kehidupan sehari-hari masyarakat karena mereka tidak hanya identik dengan pelayanan keagamaan, tetapi juga pelayanan sosial dan adat. Dalam penggalan sejarah Islam di Indonesia mereka juga menjadi pelayan politik. Seiring dengan dinamika sosial keagamaan, otoritas yang dimiliki seorang Imam bahkan lebih luas lagi melampaui pemahaman masyarakat tradisional karena menjadi Imam hari ini semakin kompetitif.  

Berbeda di negara Islam yang memberikan afiliasi organisasi khusus bagi para Imam dan Khatib, sementara di Indonesia, tidak ada afiliasi khusus atau asosiasi khusus yang menaungi para Imam dan Khatib. Pemerintah hanya berperan dalam melakukan “pembinaan” melalui Kementerian Agama Republik Indonesia, khususnya bagian Bimbingan Islam dan bagian Kemasjidan Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah sebagai lembaga yang bertanggungjawab membina dan menentukan standarisasi Imam dan Khatib di Indonesia pada level provinsi.

Selain bagian Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) di Kementerian Agama yang menjadi representasi pemerintah, masyarakat juga memiliki organisasi yang dekat dengan urusan Imam dan Khatib seperti Dewan Masjid Indonesia yang didirikan 22 Juni 1972 sebagai organisasi Islam tingkat nasional yang ditujukan untuk menjalankan fungsi masjid sebagai pusat ibadah umat Islam. Peran organisasi Islam ini sangat penting untuk membina urusan-urusan masjid, khususnya keberadaan para Imam dan Khatib di Indonesia. 

Pada praktiknya, urusan masjid di tempat-tempat publik biasanya menjadi “rumah tangga” umat Islam yang tidak memiliki kaitan langsung dengan negara. Pemerintah tidak memberikan sertifikasi atau legalisasi untuk mengatur secara spesifik persoalan ritual shalat di Masjid sampai pada level desa, dan lebih menyerahkan urusan administrasi masjid kepada umat Islam. Kecuali dalam perayaan hari-hari besar keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha dimana pemerintah terlibat langsung melalui sidang itsbat untuk penentuan penanggalan 1 Syawwal.

Dalam hal urusan-urusan yang insidental seperti pada kasus bencana, misalnya, Covid 19 dimana negara atau pemerintah mengeluarkan regulasi pelaksanaan shalat dengan shaf berjarak untuk mengurangi potensi penyebaran wabah Covid 19. Para Imam menghormati keputusan pemerintah untuk mengintervensi persoalan peribadatan di Masjid, meski ada sebagian kecil Imam dan kelompok jamaah yang lebih konservatif dan tidak mau mengakui kebijakan pemerintah.

Aturan Mengenai Imam di Indonesia

Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama, telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berlaku tentang standarisasi Imam di Indonesia yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam melalui Keputusan Nomor 582 Tahun 2017 tentang penetapan standar imam tetap masjid, secara vertatim sebagai berikut:

Syarat Imam masjid

Ada beberapa persyaratan umum yang melekat pada Imam Masjid yang ditetapkan pemerintah yang diatur dalam Standar Imam Masjid Tetap SK Dirjen Bimas Islam no 582 tahun 2017. Menurut SK Dirjen Bimas no 582 tahun tersebut , ada 8 (delapan) syarat dan kompetensi untuk menjadi Imam masjid secara umum dan secara khusus. Adapun 8 syarat tersebut adalah:

  1. Islam
  2. Laki-laki
  3. Dewasa
  4. Adil
  5. Sehat jasmani dan rohani
  6. Berakhlak mulia
  7. Berfaham ahlusunah wal jamaah
  8. Memiliki komitmen terhadap dakwah Islam

Kompetensi umum Imam masjid tetap

  1. Memiliki pemahaman terhadap fiqh shalat
  2. Memiliki kemampuan membaca al Qur’an dengan tahsin dan tartil
  3. Memiliki kemampuan untuk membimbing umat
  4. Memahami problematika umat
  5. Memiliki kemampuan memimpin shalat, dzikir dan doa rawatib dan
  6. Mememiliki kemampuan berkhutbah
  7. Memiliki wawasan kebangsaan

Kompetensi khusus Imam masjid

Peraturan Standar Imam Masjid Tetap Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bimas Islam No. 582 tahun 2017 juga mengatur bahwa menjadi imam masjid juga harus memerlukan kompetensi, maka ada kompetensi khusus keilmuan dan keahlian yang perlu dimiliki oleh imam tetap masjid. Kompetensi khusus ini dibagi menjadi 7 bagian berdasarkan tipologi masjid. Adapun pembagian kompetensi khusus adalah sebagai berikut:

Kompetensi Imam tetap Masjid Negara

  1. Pendidikan minimal sarjana S1
  2. Memiliki hafalan al-Qur’an 30 juz
  3. Memiliki keahlian membaca al-Qur’an dengan suara merdu
  4. Memiliki pemahaman tentang fiqh, hadist dan tafsir
  5. Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Arab dan salah satu Bahasa Asing lainnya.

Kompetensi Imam tetap Masjid Nasional dan Masjid Raya

  1. Pendidikan minimal sarjana S1 atau yang sederajat
  2. Memiliki hafalan al-Qur’an 10 juz
  3. Memiliki keahlian membaca al-Qur’an dengan suara merdu
  4. Memiliki pemahaman tentang fiqh, hadist dan tafsir
  5. Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Arab dan salah satu Bahasa Asing lainnya

Kompetensi Imam tetap Masjid Agung tingkat kabupaten

  1. Pendidikan minimal S1 atau yang sederajat
  2. Memiliki hafalan al-Qur’an 2 juz
  3. Memiliki keahlian membaca al-Qur’an dengan suara merdu
  4. Memiliki pemahaman tentang fiqh, hadist dan tafsir

Kompetensi Imam tetap Masjid Besar tingkat kecamatan

  1. Pendidikan minimal s1 atau yang sederajat
  2. Memiliki hafalan al-Qur’an minimal juz 30
  3. Memiliki keahlian membaca al-Qur’an dengan suara merdu
  4. Memiliki pemahaman tentang fiqh, hadist dan tafsir

Kompetensi Imam tetap Masjid Jami’

  1. Pendidikan minimal Pondok Pesantren/SLTA/yang sederajat
  2. Memiliki hafalan al-Qur’an minimal juz 30
  3. Memiliki keahlian membaca al-Qur’an dengan suara merdu
  4. Memiliki pemahaman tentang fiqh, hadist dan tafsir

Kompetensi Imam tetap Masjid Bersejarah

  1. Pendidikan minimal Pondok Pesantren/SLTA/yang sederajat
  2. Memiliki hafalan al-Qur’an minimal juz 30
  3. Memiliki keahlian membaca al Qur’an dengan suara merdu
  4. Memiliki pemahaman tentang fiqh, hadist dan tafsir
  5. Memahami sejarah berdirinya masjid

Kompetensi Imam tetap Masjid ditempat publik

  1. Pendidikan diutamakan Pondok Pesantren/SLTA/yang sederajat
  2. Memiliki hafalan al-Qur’an minimal juz 30
  3. Memiliki keahlian membaca al Qur’an dengan suara merdu
  4. Memiliki pemahaman tentang fiqh, hadist dan tafsir

Begitulah standar yang ditetapkan oleh Kementerian Agama terkait Imam besar pada suatu masjid yang dalam Istilah Kemenag melalui Dirjen Bimas Islam dengan Imam Tetap Masjid. Khususnya di Masjid Negara, pemerintah menentukan kualifikasi, status, tugas dan tanggungjawab Imam secara profesional. Mereka memiliki kwalifikasi yang ketat untuk menjadi Imam masjid. Sebagai contoh di masjid nasional Istiqlal, satu-satunya Masjid Negara yang dibiayai negara. Masjid ini memiliki Imam Besar yang menjadi pemimpin utama, dibantu oleh beberapa staf kepala bidang urusan ibadah, pendidikan dan pelatihan, riayah, pemberdayaan umat, selain bagian administrasi kesekretariatan. Imam Besar masjid Istiqlal sekarang adalah seorang ulama sekaligus akademisi terkemuka, yaitu Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Juga terdapat 7 Imam masjid tetap yang bertanggungjawab memimpin shalat berjamaah dan 7 muadzin yang bertanggungjawab mengumandangkan adzan secara bergiliran setiap hari. Struktur kepemimpinan dan imam yang demikian juga dapat dijumpai di beberapa masjid besar di kota-kota di Indonesia.

Secara profesional, keberadaan Imam ditentukan melalui kualifikasi pengetahuan keagamaan. Tapi pada praktiknya, sebagian mereka dipilih karena memiliki reputasi tertentu karena latar belakang Pesantren (pendidikan Islam klasik di Indonesia) sehingga memiliki kemampuan bacaan al-Quran yang baik dan pengetahuan berbagai bidang ilmu keagamaan. Santri yang lulus dari pendidikan pesantren, minimal, bisa menjadi pemimpin ibadah atau imam di tengah masyarakat. Sebagian mereka diperkuat oleh pengetahuan akademik Dirasah Islamiyah yang lebih mumpuni pada sekolah tinggi keagamaan di dalam negeri seperti Pendidikan Tinggi Islam baik di dalam negeri seperti STAIN, IAIN, UIN maupun di luar negeri, khususnya Timur Tengah.

Pada masa dahulu, bahkan mungkin sampai hari ini, fenomena mahasiswa menjadi Imam masih banyak dijumpai di Indonesia, khususnya di lingkungan sekolah tinggi keagamaan. Sembari menyelesaikan kuliah, para mahasiswa yang mengabil jurusan ilmu-ilmu agama turut mengambil peran sebagai Imam dan Khatib di tengah masyarakat. Kehadiran mereka sangat membantu masyarakat, khususnya masjid-masjid di desa yang kekurangan sumber daya Imam. Selain menyampaikan ilmu agama yang mereka miliki untuk diterapkan di tengah masyarakat, mereka juga mendapatkan sedikit keuntungan finansial dan fasilitas tempat tinggal yang disedikan pihak Masjid.   

Meski demikian, tidak ada penjurusan dan strata pendidikan khusus untuk spesialisasi untuk menjadikan seseorang berprofesi sebagai Imam dan Khatib. Gelar akademik tentu akan memperkuat reputasi seorang Imam atau Khatib. Selain ditentukan faktor profesional di masjid-masjid besar, keberadaan Imam di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh faktor kultural dan melalui kepercayaan masyarakat, ketika masyarakat mempercayai reputasi seseorang menjadi pemuka agama, ustadz, ajengan atau kyai (gelar untuk seorang pemimpin agama setempat), seringkali secara otomatis ia menjadi Imam atau Khatib di masjid setempat.

Meskipun keberadaan Imam dan Khatib di Indonesia sangat penting dalam praktik peribadatan, tetapi isu sosial yang berkembang di seputar masjid di Indonesia adalah standar dan kualitas sumber daya Imam masjid yang tidak merata. Sebagian Imam mungkin memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dianjurkan pemerintah, tetapi sebagian yang lain tidak demikian. Ada sebagian masjid imamnya seorang penghafal al-Quran, ada juga yang hafal juz 30. Tidak sedikit juga Imam yang tidak aktif mengelola masjid.

Figure 2 Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., yang berlatar belakang ulama sekaligus akademisi. Mengenakan baju koko, jas, dan peci.  

Pelatihan Imam

Untuk meningkatkan kualitas Imam dan Khatib sesuai standard pemerintah dan meningkatkan kesadaran pentingnya peran Imam dan Khatib di Indonesia, Kementerian Agama melalui Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah melakukan pelatihan secara nasional tentang standarisasi Imam dan Khatib. Kegiatan yang melibatkan para Imam dan Khatib dari seluruh provinsi semacam ini ditujukan untuk mensosialisasikan standar Imam Tetap kepada para Imam dan Khatib di Masjid, Pejabat, dan Pelaksana bidang kemasjidan di wilayah provinsi, melaksanakan pembinaan atau assesmen kompetensi Imam Masjid, melakukan verifikasi data Imam Tetap sesuai tipologi, dan berusaha mensosialisasikan sertifikasi Imam Tetap masjid.

Selain pemerintah, kegiatan semacam pelatihan untuk para Imam dan Khatib sebenarnya juga dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keulamaan Islam semi pemerintah juga memiliki program-program urusan kemasjidan. Kegiatan pelatihan serupa juga seringkali menjadi bagian dari kurikulum dakwah secara internal bagi ormas-ormas keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, NU, Dewan Dakwah Islamiyah, dan utamanya Dewan Masjid Indonesia yang menaungi urusan masjid sebagai bagian dari “dakwah keagamaan” mereka.

Beberapa lembaga khusus di kampus Islam seperti CONVEY juga pernah menyelenggarakan pelatihan bagi Imam dan Khatib sebagai bagian dari kampanye “literasi keagamaan” untuk mendukung peran Imam dan Khatib untuk mempromosikan nilai-nilai moral tentang persatuan umat, toleransi agama, pencegahan kekerasan atas nama agama, dan mengkampanyekan Islam sebagai agama yang membawa pesan kedamaian. Beberapa lembaga internasional seperti Asia Muslim Charity Foundation juga bergerak dalam dakwah Islam dengan melatih ribuan Imam dan Khatib dari berbagai desa di seluruh Indonesia, dan mereka memiliki rencana program pelatihan 1 Imam atau Khatib di setiap desa di seluruh Indonesia. Selain pelatihan Imam, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama, bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, juga pernah melakukan program “interfaith dialogue” antara Indonesia – UK Islamic Advisory Group melalui program “Imam exchange” dan mengirimkan beberapa Imam dari Indonesia ke beberapa Masjid di Leichester, Nottingham, Birmingham dan London untuk dialog agama. Kementerian Agama juga bekerjasama dengan Otoritas Umum Urusan Islam dan Wakaf di Abu Dhabi untuk mengirimkan Imam-imam profesional Indonesia untuk bekerja dan menjadi Imam-imam di masjid-masjid di Abu Dhabi. Pada tahun 2021, sebanyak 23 Imam Indonesia diberangkatkan untuk bertugas di Abu Dhabi. Mereka adalah para imam profesional terpilih yang diseleksi dengan standar yang ketat  meliputi hafalan 30 juz, bacaan al-Quran, fikih shalat, bahasa Arab, dan pemahaman Islam yang moderat. Ditargetkan tahun 2025 Indonesia akan mengirimkan 200 Imam asal Indonesia untuk bertugas di Uni Emirat Arab. (Bersambung, lanjut bagian 2…)

Referensi

Burhanuddin, Jajat. Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia. (Jakarta: MIZAN, 2012)

Burhanuddin, Jaja & Dijk, Kees van (eds.). Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations. (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013)

Gazi, Abdul Karim. “The Livelihood Patters of the Imams in Rural Bangladesh: A Qualitative Analysis”. International Journal on Integrated Education, Volume 3, Issue X, October 2020, pp. 37-40.

Ikhwan et.al. “The dialectic of fiqh understanding and the female Imam-Khatib tradition in Balingka, West Sumatra, Indonesia”, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 12, No. 2 (2022), pp. 313-339.

Norshahril Saat & Ahmad Najib Burhani. The New Santri: Challenges to Traditional Religious Authority in Indonesia. (Singapore: Yusof Ishak Institute, 2020)

Robinson, Kathryn M (ed.). Mosques and Imams Everyday Islam in Eastern Indonesia. (Singapore: NUS Press, 2021) 

Saenong, Faried F. “Mediating Religious and Cultural Disputes: Imam Desa and Conflict Resolution in Rural Indonesia”, dalam Robinson, Kathryn M (ed.). Mosques and Imams Everyday Islam in Eastern Indonesia (Singapore: NUS Press, 2021, pp. 44-63) .  

Sila, Muhammad Adlin. “Lebe and Sultan: Serving the Mosque and Sustaining Royal Authority”, dalam Robinson, Kathryn M (ed.). Mosques and Imams Everyday Islam in Eastern Indonesia (Singapore: NUS Press, 2021, pp. 24-43) 

Sila, Muhammad Adlin. “Imam and Royal Mosque” dalam Being Muslim in Indonesia: Religiosity, Politics and Cultural Diversity in Bima (Chapter Four). (Netherlands: Leiden University Press, 2021, pp. 83-110)

Srimulyani, Eka. Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia: Negotiating Public Spaces. (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2012)

Turmudi, Endang. Struggling for The Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java. (Australia: ANU Press, 2006)

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, merupakan peneliti agama di Pusat Riset Masyarakat dan Agama BRIN.

3 thoughts on “Masjid dan Imam di Indonesia (Bag. 1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *