Lembaga Pendidikan Islam antara Taghyir dan Tajdid

Oleh: Abuzar Al Ghifari

Tidarislam.co- Beberapa waktu lalu saya sempat menyampaikan kuliah di hadapan mahasiswa yang kebetulan materinya tentang filosofi manajemen perubahan. Saat itu saya menyampaikan  teori perubahan dari buku Muhammad Munir Mursi berjudul Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyah Ittijatuha wa Wasailuha. Kebetulan buku tersebut ada sub judul menurut saya sangat menarik, serta dapat memantik ruang diskusi bersama mahasiswa. Sub judulnya ialah At Taghyir wa At Tajdid. Jika kita terjemahkan ke Bahasa Indonesia ialah “Perubahan” dan “Pembaharuan”. Tentu materi ini sangat penting, terutama sikap pelaku dunia pendidikan saat menghadapi suatu kondisi yang mengharuskan adanya perubahan maupun pembaharuan.

Setiap zaman membutuhkan sikap bijak terutama menghadapi arus globalisasi, karena waktu tidak pernah diam atau stagnan, selalu berputar dan berubah. Adanya perubahan zaman dan waktu tentunya membutuhkan kondisi untuk menyikapi arus derasnya perubahan. Di persimpangan ini akan dihadapkan sebuah sikap antara idealisme dan status quo. Sikap idealisme diambil karena kondisi zaman cepat berubah sehingga untuk tetap eksis menghadapi perubahan dan perputaran waktu, patut diambil sebuah sikap sebagai upaya menjaga idealisme. Di sisi lain ada pula yang mengambil sikap tidak adanya perubahan karena meyakini kondisi yang ada saat itu masih belum membutuhkan adanya perubahan. Kedua kondisi ini selalu dirasakan siapa pun, di level kehidupan apapun baik itu bidang keagamaan, pendidikan, politik, dan seterusnya.

Menurut Muhammad Munir Mursi, Heraclitus merupakan pelopor pertama kali dalam sejarah adanya teori Taghyir atau perubahan (Muhammad Munir Mursi, 2007). Teori perubahan menurutnya segala sesuatu akan terus mengalir atau bergerak; ia tidak akan selamanya tetap melainkan bergerak. Sesuatu yang dingin akan berubah menjadi panas atau hangat begitu pula sebaliknya, dan terakhir segala sesuatu akan menemukan kenyamanan dalam perubahan. Aristoteles mengatakan seperti dikutip Muhammad Munir Mursi dalam bukunya bahwa segala sesuatu yang bergerak akan mengalami perubahan, namun segala sesuatu yang berubah tidak semestinya bergerak (Muhammad Munir Mursi, 2007). Ini yang menjadi dasar mengapa adanya teori perubahan menurut Heraclitus. Ia mengamati proses dari pergerakan alam semesta selalu menampakan adanya perubahan.

Arisoteles merupakan seorang Filsuf ternama lahir pada 384 SM di kota Stagira Makedonia yang masuk kawasan Yunani. Ayahnya sosok dokter professional dan ternama, saat Aristoteles berumur 17 tahun berangkat ke daerah Athena belajar di sebuah madrasah milik Plato selama 20 tahun hingga wafatnya Plato. Karena ia lahir dari keluarga dan sosok ayah sebagai dokter ternama, maka tidak diragukan unggul dalam bidang ilmu hayati dan praktis. Adapun belajar sampai pakar dalam bidang filsafat melalui gurunya Plato. Setelah mendalami bidang filsafat di Athena selama 20 tahun, ia pulang ke kampung halamannya dan mengajar seorang anak raja berumur 13 tahun yang kemudian hari dikenal sebagai Alexander the Great (356-323 SM). Aristoteles mengajar Alexander The Great selama bertahun-tahun hingga naik tahta. Menjadi catatan penting selama Alexander The Great berguru kepada Aristoteles tidak pernah meminta nasehat kepadanya melainkan sang guru diberi sebagian harta untuk mengoreksi artikel tulisan sang murid. Oleh Sejarah tercatat sebagai awal mula adanya bid’ah seorang guru mendapat harta dari penguasa dikarenakan mengoreksi tulisan artikel milik muridnya sebagai penguasa saat itu (Michael H. Hart, 2006).

Artikel terkait: Menerapkan Toleransi dalam Sistem Manajerial Pesantren

Mengutip penjelasan Rhenald Kasali, fakta sejarah mencatat adanya perubahan seperti arus deras digitalisasi membuat manusia semakin terbantukan terhadap pekerjaannya. Sebagai contoh sebelum adanya komputer, pelajar atau pegawai kantoran bekerja menggunakan mesin ketik tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sekarang telah ada alat komputer pekerjaan yang sebelumnya dilakukan dengan waktu yang tidak sedikit menjadi lebih efektif. Masih banyak lagi contoh perubahan yang kita rasakan dan dapat dilihat sehari-hari. Kemajuan teknologi dan sains seperti adanya alat trasnportasi pesawat dapat menempuh perjalanan yang sebelumnya menggunakan kapal laut membutuhkan waktu berbulan-bulan, dengan adanya pesawat lebih memotong jarak tempuh perjalanan (Rhenald Kasali, 2007).

Oleh karena itu, adanya perubahan ini sebagai pertanda kehidupan, hakekatnya seluruh perputaran waktu manusia dengan berbagai dinamika menunjukan adanya kehidupan. Rhenald Kasali, Guru besar Universitas Indonesia, juga mengatakan perusahaan hakekatnya ialah makhluk hidup. Ia lahir, sakit, tua hingga musnah. Oleh karenanya perusahaan pastinya memiliki waktu lahir, jika demikian harus dirawat dengan baik sehingga dapat menghadapi arus perubahan. Kalau perusahaan diibaratkan sebagai makhluk hidup, begitu pula kendaraan yang dimiliki baik motor dan mobil. Keduanya harus dirawat dengan baik, seperti pemakaiannya, hingga servis rutin ke bengkel. Kendaraan tersebut semakin lama digunakan tentunya akan muncul berbagai persoalan kerusakan.

Perusahaan yang diibaratkan oleh Rhenald Kasali sebagai makhluk hidup, tidak khayal dapat dianalogikan terhadap Lembaga Pendidikan. Makanya, Lembaga Pendidikan Islam memiliki waktu lahir, berkembang bahkan punah. Dari situ membutuhkan perawatan sama seperti perusahaan agar lebih maju dan berkembang. Dapat dilihat Lembaga Pendidikan Al Azhar Kairo Mesir, telah berabad-abad dan masih eksis hingga saat ini. Institusi tersebut dirawat dan dijaga oleh pengelolanya. Berbagai peristiwa penting telah dihadapi Al Azhar hingga pengrusakan dan invasi Napoleon Bonaparte. Berbagai peristiwa penting menimbulkan dampak tidak kecil terutama kolonialisasi yang terjadi saat itu (Abuzar Al Ghifari, 2022).

Pesan apa yang disampaikan Muhammad Munir Mursi terkait teori Taghyir dan Tajdid? Menurutnya kedua term tersebut memiliki perbedaan fundamental. Menurutnya:

Taghyir ialah merubah sesuatu yang sudah ada, sedangkan Tajdid lebih kepada penemuan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Adapun Taghyir dapat dilakukan dengan cepat, bisa pula dilakukan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Salah satu contohnya adalah adanya revolusi di sebuah negara dengan perantara militerisasi dalam bentuk “kudeta” terhadap penguasa tertentu. Hal ini pernah terjadi di beberapa negara seperti Mesir dan lainnya. Adanya “kudeta” tersebut tentu memiliki alasan, sebagai target biasanya adalah perubahan pemimpin negara maupun sistem pemerintahan. Beberapa negara di luar sana terjadi pula perubahan fundamental, baik dari sistem Kerajaan menjadi Republik. Beberapa contoh kasus di dunia seperti berubahnya negara Iran menjadi Republik dan menjadikan “ajaran” Syiah sebagai faham resmi negara. Tentu peristiwa ini tercatat sebagai bentuk revolusi dan menjadi tokoh strategisnya ialah sosok Khumaeni meski tercatat sebagai ekstrimis abad 20 karena menganggap dirinya di atas para Nabi (Nazlah Al Jaburi, 1989).

Sebenarnya term Taghyir atau perubahan sangat terkait dengan adanya Revolusi dan Evolusi. Keduanya sama bermakna perubahan; namun menurut pengamatan penulis dari Muhammad Zaenuddin bahwa revolusi identik perubahan yang dilakukan dalam waktu singkat dan tiba-tiba, substansinya lebih kepada perubahan dengan menata ulang atau konstruksi. Adapun Evolusi perubahan dilakukan dalam bentuk soft dan stap by stap, membutuhkan waktu yang tidak cepat (Muhammad Zaenuddin, 2023).

Kehadiran Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT ke tengah masyarakat Arab Jahiliyah saat itu lebih kepada Taghyir dalam bentuk Evolusi. Mengapa demikian? Karena sesuai dengan makna dari term perubahan, Rasulullah SAW melakukan perubahan terhadap sesuatu yang sudah ada saat itu. Rasulullah SAW merubah masyarakat Arab Jahiliyah yang senang minum khamr, judi, perzinaan, permusuhan, pembunuhan, lalu dirubah oleh beliau dengan membawa ajaran Islam. Memang tugas Rasulullah SAW dari berbagai teks agama dinyatakan sebagai pelopor perubahan terhadap rusaknya akhlak masyarakat serta membawa kasih sayang untuk alam semesta. Namun yang harus dicatat, perubahan dilakukan Rasulullah SAW berbentuk “Evolusi” dengan artian Nabi SAW tidak serta merta merubah perilaku buruk masyarakat saat itu dengan “tangan besi” melainkan melalui tahapan-tahapan. Beberapa buku Tarikh Tasyri’ menarasikan dengan At Tadarruj fi At Tasyri’ Al Islamy atau tahapan dalam penerapan syariat (Abdul Majid Mahmud Mathlub, 2003).

Artikel terkait: Transformasi Manajemen Pesantren: Menjawab Tantangan di Era Disrupsi

Perlu untuk dicatat, dalam ajaran Islam memiliki 2 hal penting dan menjadi dasar akan adanya Perubahan atau Taghyir maupun Tajdid pembaharuan. Kedua hal penting ini ialah Tsawabit, atau sesuatu yang sudah tetap tanpa membutuhkan adanya perdebatan maupun perubahan atau sudah menjadi kesepakatan (konsensus) dan Mutaghayyirat, sesuatu yang masih terbuka adanya perubahan hingga perdebatan. Keduanya menjadi “rem” bagi siapa pun hendak melakukan perubahan termasuk dalam konteks Lembaga Pendidikan. Sesuatu yang tetap atau Tsawabit seperti Rukun Iman dan Islam, telah ditetapkan dengan adanya teks agama dari Hadits Nabi Muhammad SAW. Jadi rukun Iman dan Islam tidak bisa ditambah ataupun dikurangi apalagi dirubah. Hal tersebut pastinya akan bertentangan dengan ajaran Islam. Segala sesuatu berbentuk prinsip dalam ajaran Islam masuk kategori Tsawabit, pastinya tidak dapat dirubah. Sedangkan kategori Mutaghayyirat diperbolehkan adanya perubahan bahkan perdebatan antar mujtahid seperti seseorang melakukan qunut dalam shalat shubuh, karena perbuatan tersebut tidak masuk kategori Tsawabit alias boleh dilakukan ataupun tidak. Jadi perbuatan kategori Mutaghayyirat masih boleh diperdebatkan karena tidak masuk kategori prinsip (islamweb.net, 2010).

Dalam konteks adanya perubahan atau Mutaghayyirat terhadap Lembaga Pendidikan Islam menjadi menarik untuk diperbincangkan. Namun ruang lingkup batasan adanya perubahan atau Mutaghayyirat di kajian sebelumnya menjadi pengingat. Tidak semua unsur dan perangkat yang ada di Lembaga Pendidikan dapat dirubah semaunya. Salah satu contohnya ialah setiap Lembaga Pendidikan memiliki unsur seperti Visi Misi hingga Motto. Ketiga unsur ini masuk kategori prinsip karena menjadi penentu bahkan orientasi dan arah Lembaga untuk menghasilkan “produk” alumni kedepannya. Tidak serta merta oleh siapa pun di suatu Lembaga Pendidikan dapat merubahnya karena hal tersebut masuk kategori Tsawabit, sesuatu yang sudah menjadi konsensus para Founding Father atau pendiri Lembaga.

Berbicara Visi Misi hingga Motto sesuatu yang amat sakral dimiliki Lembaga Pendidikan manapun, maka tidak dibolehkan gegabah melakukan perubahan. Sedangkan proses kegiatan tertentu atau sifatnya teknikal seputar kegiatan aktivitas, kebijakan menambah atau mengurangi jumlah guru dan murid, penentuan nominal SPP dan uang masuk Lembaga, kesemuanya masuk kategori Mutaghayyirat atau sesuatu yang dapat diperdebatkan serta dapat dirubah dengan menyesuaikan kondisi dan maslahat. Untuk itu, setiap bentuk Perubahan At-Taghyirat di Lembaga Pendidikan biasanya akan menghadapi 2 kondisi antara antusias menerima perubahan hingga status quo tidak bersedia atau menolaknya.

Jadi, pemangku kebijakan maupun unsur pengelola Lembaga Pendidikan harus penuh kehati-hatian dalam melakukan perubahan, harus dilihat terlebih dahulu sesuatu yang akan dirubah masuk kategori Tsawabit atau Mutaghayyirat suatu yang amat prinsip atau tekhnikal. Seperti aliran Pesantren saat ini memiliki berbagai varian berbeda dengan tujuan yang sama. Ada Pesantren berhaluan Salaf atau Tradisional, di sisi lain cenderung ke Modern bahkan ditemukan mengarah perpaduan keduanya. Model atau corak Pesantren demikian tentu menjadi landasan dasar dan memiliki filosofis dan orientasi pendidikan yang sedikit berbeda. Satu sama lain tidak berkenan saling mencela, melemahkan karena memiliki kesamaan pada tujuan. Bersambung

Abuzar Al Ghifari, merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Bogor dan Universitas Darunnajah Jakarta

 

Daftar Pustaka

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al Madkhal Ila Al Fiqh Al Islamy Ta’rifuhu Tarikhuhu Ususuhu Khasaisuhu Mashadiruhu, Kairo: Muassasah Al Mukhtar, 2003.
Abuzar Al Ghifari, Dinamika Lembaga Pendidikan Islam Klasik Menyoroti Kuttab Madrasah Nizhamiyah hingga Al Azhar, Banyumas: Wawasan Ilmu, 2024.
Muhammad Munir Mursi, Falsafah At Tarbiyah Ittijahatuha wa Madarisuha, Kairo: ‘Alam Al Kutub, 2007.
Michael H. Hart, Al Miah Al Awail, Kairo: Dar Qutaibah, 2006.
Nazlah Al Jaburi, Harakat Al Ghuluw Wa Usuluha Al Farisiyah, Maktabah Ibn Taimiyah, 1989.
Rhenald Kasali, Change, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Muhammad Zaenuddin, Perbedaan Evolusi dan Revolusi, Kompas.com, 2 November 2023.
islamweb.net, Ma’na At Tsawabit wa Al Mutaghayyirat, 20 september 2010.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *