Oleh: Rohmatul Izad
Seluruh umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melihat dan berdialog dengan Allah ketika masih hidup di dunia. Ini merupakan keyakinan yang tidak boleh diingkari oleh segenap umat Islam.
Di antara dalil mengenai ketidakmungkinan manusia melihat Allah tertuang dalam QS. Al-An’am 103 yang menjelaskan bahwa Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. Dalam QS. As-Syura dikatakan bahwa tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk berdialog dengan Allah kecuali melalui perantara wahyu.
Dalam kitab Shahih Muslim, Nabi bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara kalian yang bisa melihat Tuhannya sampai dia mati”.
Beberapa dalil di atas menegaskan bahwa dalam hal akidah umat manusia tidak dapat melihat Tuhan. Bila seseorang meyakini bahwa manusia dapat melihat Tuhan ketika masih hidup, maka ia telah melanggar prinsip akidah Islam.
Memahami Mi’raj Nabi
Bila melihat dan berdialog dengan Allah adalah ketidakmungkinan, lalu bagaimana dengan peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad?
Dikisahkan, Nabi melakukan perjalanan Mi’raj ke Sidratul Muntaha dalam durasi yang sangat singkat, yakni hanya beberapa jam saja. Dalam peristiwa besar itulah, Nabi mendapatkan perintah shalat lima waktu yang sekarang menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam.
Dalam peristiwa Mi’raj tersebut dikatakan bahwa Nabi melihat dan berdialog langsung dengan Allah mengenai perintah shalat. Dalam konteks akidah Islam yang telah dijelaskan di atas, benarkah peristiwa ini benar-benar terjadi? Bukankah Nabi juga sama-sama manusia yang juga tidak dapat melihat dan berdialog dengan Allah?
Baca juga: Hikmah Peristiwa Isra' Mi'raj
Bila melihat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, kita dapat menemukan sebuah fakta bahwa Nabi sesungguhnya tidak melakukan perjalanan Mi’raj. Artinya, Aisyah adalah satu di antara ulama sekaligus istri Nabi yang mengingkari peristiwa Mi’raj Nabi, yakni ketika Nabi melihat dan berdialog dengan Allah.
Menurut Aisyah, bagaimana mungkin Nabi melakukan perjalanan Mi’raj padahal pada malam itu beliau sedang bersamanya. Aisyah juga menegaskan bahwa siapapun yang meyakini perjalanan Mi’raj Nabi, berarti ia telah mengkingkari akidah Islam.
Dalam kitab Shahih Bukhari, Aisyah berkata, “Siapa yang meyakini Muhammad pernah melihat Tuhannya, berarti ia telah membuat kedustaan yang sangat besar atas nama Allah”.
Dalam riwayat lain di kitab Shahih Muslim dikatakan, dalam hadits dari Abu Dzar, beliau pernah bertanya kepada Nabi, apakah Nabi melihat Allah ketika Mi’raj? Jawab Nabi, “Ada cahaya, bagaimana aku melihatnya”, dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya”.
Bila merujuk pada riwayat-riwayat di atas, sulit mengatakan bahwa Nabi benar-benar melakukan perjalanan Mi’raj dalam arti melihat dan berdialog langsung dengan Allah.
Baca juga: Mutiara Hikmah, Meraih Kemuliaan di Bulan Rajab
Namun demikian, ini merupakan salah satu masalah dalam agama yang sulit diklarifikasi kebenarannya secara pasti, umumnya umat Islam hanya sekedar meyakininya saja. Oleh sebab itu, terhadap keyakinan apakah Nabi benar-benar melihat dan berdialog langsung dengan Allah, merupakan perkara keimanan yang tidak perlu diperdebatkan secara serius.
Kendati mayoritas umat Islam meyakini bahwa Nabi dapat melihat dan berdialog dengan Allah dalam peristiwa Mi’raj tersebut, namun satu hal yang perlu ditegaskan bahwa pemahaman itu tidak boleh dipahami bahwa setiap manusia dapat juga melihat dan berdialog dengan Allah. Sebab, seringkali hukum yang dinisbatkan kepada manusia pada umumnya tidak berlaku bagi Nabi.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta