Khairudin Aljunied tentang Buya Hamka dan Ide Kosmopolitanisme Islam

Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi

Tidarislam.co – Ada beberapa alasan untuk melihat realitas Islam di dunia Melayu atau Nusantara hari ini secara lebih positif sebagai sebuah harapan bagi dunia Islam di masa depan. Salah satunya bahwa sesungguhnya Islam di dunia Melayu, termasuk Islam di Indonesia, memiliki perbendaharaan pemikiran Islam yang terbangun dari hasil perjumpaan dengan berbagai macam ide dan pemikiran dalam suatu masyarakat yang majemuk. Islam di dunia Melayu menjadi lebih inklusif menghadapi pengaruh beragam kebudayaan. Di tangan para ulamanya, Islam dihadirkan dengan membawa semangat perubahan untuk kemajuan. Demikian setidaknya pandangan Syed Muhd. Khairudin Aljunied, ahli Islam di Asia Tenggara, Professor bidang studi Islam Melayu di National University of Singapore.

Menurutnya, perkembangan Islam di dunia Melayu ini tak lepas dari kontribusi pemikiran tokoh-tokoh progresif di dunia Melayu yang, sampai batas tertentu, berhasil mereformasi kehidupan masyarakat, salah satunya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal sebagai Buya Hamka. Pemikiran Hamka menjadi referensi keislaman yang mengusung ide-ide Islam yang bercorak reformis sekaligus kosmopolitan. Reformis artinya semangat mengubah keadaan kepada sebuah kemajuan dan kebaikan. Sedangkan kosmopolitan artinya melihat segala pengaruh budaya dengan tangan terbuka, yakni keterbukaan dan kesiapan berdiskusi dan berdialog dengan beragam ide dan pemikiran yang ada demi sebuah kemajuan.

Baca juga: Deliar Noer dan Sejarah Modernisasi Islam di Indonesia

Buya Hamka (1908-1981) bukan saja seorang ulama, tetapi juga seorang muballigh, guru, sufi, sastrawan, jurnalis, politisi, dan pemikir. Dia adalah seorang polymath dan pribadi yang otodidak. Kontribusinya di dunia Islam telah diakui dunia dengan beberapa gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir (1958) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1974). Pemikirannya dapat dilacak dalam karya-karya tulisnya yang jumlahnya tak kurang dari 116 judul dalam berbagai genre. Salah satu karyanya yang paling monumental adalah Tafsir al-Azhar, tafsir al-Quran berbahasa Indonesia paling populer di Indonesia yang, menurut Azyumardi Azra, belum ada bandingannya sampai hari ini.

Dalam bukunya Hamka and Islam: Cosmopolitan Reform in the Malay World (Cornell University Press, 2018) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Hamka dan Islam: Reformasi Kosmopolitan di Dunia Melayu (Suara Muhammadiyah, 2021), Khairudin Aljunied secara meyakinkan berhasil menggambarkan pemikiran Hamka sebagai salah satu tokoh Islam di Dunia Melayu abad 20 yang hadir dengan ide-ide dan gerakan yang meresonansi spirit reformisme Islam.

Gambaran tentang peran reformasi Islam Hamka yang diuraikan dalam buku Hamka dan Islam (2018) tersebut sebenarnya merupakan suatu bagian saja dari tetralogi argumen yang disusun Khairudin Aljunied untuk menawarkan paradigma Kosmopolitanisme Islam, suatu perspektif berbeda yang ia gunakan untuk melihat Islam di Asia Tenggara.

Sementara 3 argumen lainnya tentang Kosmopolitanisme Islam ia tuangkan dalam: Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective (Edinburgh University Press, 2017), Islam in Malaysia: An Entwined History (Oxford University Press, 2019), dan Shapers of Islam in Southeast Asia: Muslim Intellectuals and the Making of Islamic Reformism (Oxford University Press, 2022).

Dalam buku biografi pemikiran Hamka tersebut, Khairudin Aljunied melihat bahwa dalam sekian banyak karya-karya Hamka, termuat 6 pokok pemikiran Hamka yang dengan itu sesungguhnya menunjukkan bahwa ia hendak mereformasi (baca: memperbaiki dan memajukan) kehidupan umat Islam di dunia Melayu. Pokok pemikiran Islam reformis Hamka tersebut mencakup di antaranya: Pertama, tentang semangat rasionalisme di tengah kehidupan masyarakat Muslim. Hamka mencita-citakan masyarakat yang rasional, dan menekankan perlunya rasionalitas untuk membawa kepada kemajuan masyarakat. Dengan sikap rasional pula seorang muslim membebaskan diri dari fanatisme dan sikap taklid buta. Namun Hamka menekankan sikap rasional yang dipandu oleh wahyu, bukan rasionalisme absolut yang menolak hukum-hukum agama.

Baca juga: Denyut “Islam Melayu” di Kota Kinabalu

Dalam karyanya Falsafah Hidup, Hamka ingin menegaskan bahwa rasionalisme yang dibutuhkan bagi sebuah kemajuan adalah bentuk rasionalisme yang religius, yang ia sebut sebagai “rasionalisme berpedoman” (guided rationalism). Rasionalisme yang berpedoman juga berarti menyeimbangkan antara potensi kekuatan akal (aql) dan wahyu (naql) dalam membangun sebuah pemikiran Islam yang berkemajuan. Wahyu tetaplah sebuah pedoman hidup yang utama, tetapi spirit utama wahyu hanya dapat dimengerti dengan baik oleh akal yang sehat, kritis, dan dinamis.

Kedua, tentang nilai moderasi dalam Islam, atau Islam moderat. Dalam karyanya Pandangan Hidup Muslim, Hamka menegaskan bahwa moderasi adalah watak bawaan Islam, yang mengajarkan nilai-nilai keseimbangan dalam segala hal, baik dalam kehidupan maupun dalam pemikiran. Lawan dari keseimbangan adalah sikap ekstrimisme atau berlebih-lebihan. Islam sesungguhnya mengkritik sikap esktrim yang berlebih-lebihan, seperti kritik Islam terhadap sikap tamak dan rakus dalam menumpuk harta kekayaan. Hamka juga menegaskan bahwa sikap moderat semacam itu, selain merupakan nilai utama dalam etika Islam, juga diperkuat oleh oleh pemikiran para filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles yang juga menekankan tentang moderasi dalam kehidupan.

Ketiga, tentang perjuangan untuk keadilan sosial. Bagi Hamka, perjuangan mereformasi umat Islam tidak cukup hanya bergerak pada ide dan pemikiran, sementara mengabaikan problem di masyarakat yang masih banyak dirundung kelaparan. Oleh karena itu, ia mengajak agar memperhatikan persoalan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, memperbaiki nasib orang-orang yang lemah atau kaum mustad’afin.

Dalam karyanya Keadilan Sosial dalam Islam, ia menjelaskan bahwa Islam sesungguhnya memiliki konsep tentang keadilan sosial, dan mengkritik keras keserakahan dalam menumpuk harta hingga kesejahteraan hanya berpusat pada segelintir orang saja. Islam begitu memperhatikan setiap pintu masuk sumber harta dan pintu keluar tempat harta itu disalurkan, dengan tujuan mencapai keseimbangan dan kemakmuran bagi semua. Islam mengajurkan untuk kita untuk mendistribusikan sebagian kekayaan untuk membantu mengangkat nasib kaum fakir miskin, sehingga Islam mengajarkan tentang pentingnya zakat, infak, sedekah, dan aktivitas filantropi. Hanya saja, umat Islam memiliki kelemahan mendasar dalam implementasi karena belum menerapkan ajaran tentang keadilan sosial Islam sebagaimana mestinya. Sementara itu, di sisi lain, kita melihat kelompok-kelompok yang tidak berlandaskan pada spirit agama Islam justru sangat agresif memperjuangkan pembebasan kemiskinan.

Namun Buya Hamka juga mengingatkan, bahwa keadilan sosial dalam Islam lebih luas dari sekedar perkara pemenuhan kesejahteraan ekonomi. Keadilan sosial dalam Islam lebih komprehensif, meliputi beragam hal, mencakup panggilan moral dan etis untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan harmonis, termasuk menolak setiap bentuk diskriminasi, memenuhi hak-hak setiap individu, bersikap jujur dan tidak curang, serta berlaku benar dan seimbang terhadap semua makhluk

Baca juga: Etika Islam Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Keempat, tentang perjuangan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan. Hamka banyak menyaksikan masa itu bahwa peran perempuan sering dinafikan dalam berbagai aspek kehidupan. Persoalan itu telah membangkitkan kesadaran tentang gerakan feminisme untuk membuka peran kaum perempuan dalam ruang publik, termasuk dalam gerakan intelektual. Dalam Kedudukan Wanita dalam Islam, Hamka menekankan bahwa satu kelemahan umat Islam adalah belum meninggikan martabat kaum perempuan sebagaimana mestinya. Itu disebabkan karena kesalahan dalam menafsirkan dan memahami sumber ajaran al-Quran dan Hadist sehingga melahirkan sistem sosial yang patriarkhal.

Interpretasi Muslim selama ini tentang Islam didominasi cara pandang maskulin sehingga mengabaikan hakikat kaum perempuan yang sangat mulia dalam Islam. Al-Quran sesungguhnya menekankan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari sumber yang sama, memiliki kedudukan yang sama-sama mulia di hadapan Allah, tetapi keduanya memiliki peran yang berbeda di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kita perlu mereformasi cara pandang kita tentang kedudukan kaum perempuan di tengah masyarakat dan memberikan hak-hak yang adil sebagaimana mestinya.

Kelima, tentang reorientasi tasawuf dalam kehidupan modern. Kita mesti memperbaiki cara pandang tentang tasawuf yang seringkali justru membuat seorang muslim bersikap pasif (fatalis) dalam kehidupan. Tasawuf sering disalahartikan sebagai sikap asketik yang cenderung menjauhi peran duniawi dan melemahkan etos kerja. Oleh karena itu, kita perlu memperbaiki cara pandang kita tentang tasawuf yang lebih progresif dan selaras dengan kebutuhan kehidupan modern.

Dalam pandangan Tasawuf Modern Buya Hamka, tasawuf dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin, menghiasi diri dengan akhlak mulia, serta memperdalam hubungan kita dengan Allah SWT melalui sikap zuhud dan qanaah. Tasawuf bukan hanya tentang menyepi dari dunia, tetapi juga tentang aktif beramal dan bekerja dengan niat ikhlas karena Allah. Hamka menekankan pentingnya keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta penerapan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang profesi. Dengan begitu, tasawuf menjadi lebih positif dan berkemajuan.

Baca juga: Muhammad Abduh, Pembaharu Islam dari Mesir

Keenam, tentang pentingnya kesadaran sejarah umat Islam. Dalam bukunya Sejarah Umat Islam, Hamka mengingatkan tentang peran Islam dalam membangun peradaban di Melayu, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Islam yang dibawa dari pengaruh perdagangan dan keulamaan dari Makkah berhasil berinteraksi dengan budaya Melayu, membentuk peradaban Islam yang begitu mengakar di Nusantara. Oleh karena itu, sejarah sangat penting bagi Hamka untuk berkaca pada kehidupan masa lalu dan menata kehidupan di masa depan. Menurutnya, umat Islam perlu berkaca pada pengalaman sejarah umat di masa lalu. Sejarah juga menjadi alat untuk mengubah keadaan umat Islam menjadi lebih  dinamis dan lebih produktif.

Menurut Aljunied, dengan semangat Islam yang reformis, kritis, dinamis, dilambari kesiapan dan keterbukaan untuk menyerap ide-ide dan perspektif baru untuk sebuah kemajuan pemikiran, ia menyebut corak yang melekat dalam diri Hamka semacam itu sebagai pemikiran “reformisme kosmpolitan” (cosmopolitan reform). Ia menimba pengaruh dari berbagai tokoh reformis Islam, utamanya Muhammad Abduh. Namun pemikiran reformis khas Hamka sesungguhnya juga boleh disejajarkan dengan tokoh-tokoh reformis dunia pada masanya seperti Mahmud Syaltut, Malek Bennabi, Muhammad Iqbal, Ali Syariati, dan lain-lain.

Bersama ini sesungguhnya Khairudin Aljunied hendak menggugah kepercayaan diri dan kesadaran masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang masih memiliki rasa inferior dengan identitas sebagai Muslim Melayu yang selama ini dianggap “pinggiran”, tersingkir oleh kuatnya pengaruh arabisme dalam dunia Islam, ditambah bayang-bayang narasi tentang konservatisme dan ekstrimisme Islam yang banyak dihembuskan oleh hegemoni dunia Barat. Muslim di Asia Tenggara sesungguhnya sedang dan telah bergerak maju ke tengah episentrum peradaban Islam, dan harus disongsong dengan penuh rasa optimisme. Wallahua’lam.

Baca juga: Ragam Ulama dan Perannya dalam Islamisasi di Indonesia

* Dokumentasi kegiatan diskusi buku Hamka dan Islam: Reformasi Kosmopolitan di Dunia Melayu di PMB BRIN dapat disaksikan kembali disini: Diskusi Hamka dan Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *