Oleh: Saiful Hakam
Tidarislam.co – Patut diingat kembali bahwa era ketika Soeharto menampilkan diri sebagai orang Islam sejati, bersamaan waktu dengan era ketika masyarakat perkotaan Indonesia juga berubah menjadi makin Islami. Sampai akhir tahun 1980-an, wajah urban Indonesia adalah wajah sekuler, atau wajah Islam Abangan. Jelas, kaum muslimin sampai akhir tahun 1980an belum mewarnai dan apalagi punya pengaruh atas kehidupan urban. Namun, inisiatif-inisiatif Rezim Soeharto di bidang pembangunan telah memantik dan menggerakkan berbagai perubahan signifikan dalam masyarakat. Orang menjadi lebih urban dan lebih islami.
Dalam dasawarsa terakhir rezim Rezim Soeharto kelas menengah hadir seperti mengiringi keberhasilan pembangunan. Namun, karena masalah teknis stastistik mesti diakui bahwa hingga kini pun sangat sulit mendefinisikan siapa dan berapa jumlah mereka (Ricklefs, 2013). Namun, hal yang menarik, adalah bahwa masyarakat kelas menengah ini seringkali menunjukkan tanpa rasa sungkan kesalehan Islam. Islam kini terkait erat dengan modernitas. Kesalehan telah menjadi salah satu aspek utama dari budaya nasional kaum muda Indonesia (Ricklefs, 2013; Hefner, 2000).
Sekolah-sekolah Islam dibangun di berbagai kota besar. Sekolah-sekolah ini bukan pondok pesantren tradisional, tapi lembaga pendidikan dengan fasilitas lengkap. Sekolah menawarkan kurikulum nasional dipadukan dengan pengajaran Islam. Para pegawai swasta, pemerintah, dan profesional muda memiliki pendidikan universitas, tinggal di perumahan daerah pinggiran kota, menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah bagus, dan mengendarai mobil, dan cukup religius, shalat lima waktu, shalat jumat, puasa, zakat, dan menunaikan ibadah haji, serta busana muslim di kalangan perempuan (Ricklefs, 2013; Hefner, 2000). Ini menjadi ciri khas semakin kentara masyarakat muslim Indonesia.
Baca juga: Ketika Soeharto Membaca Bismillah (Bag. 1)
Dalam tahun 1990-an, semangat baru menjalankan ajaran Islam dalam segi ritual, pelaksanaan rukun islam terutama salat, puasa, dan zakat, pelajaran membaca Alquran makin nampak dan melembaga. Penulis masih ingat betapa anak-anak di sekolah dasar seperti diwajibkan mengikuti shalat terawih di masjid atau surau karena ada kewajiban mengisi buku absen ibadah ramadhan terutama meminta paraf atau tanda tangan dan nama dari imam shalat sunah terawih.
Pendidikan agama menjadi salah satu pelajaran wajib dalam sistem pendidikan nasional. Majelis taklim dan pengajian Islam makin ramai. Bahkan, muncul undang-undang pendidikan tahun 1989 yang tujuannya menjamin bahwa anak-anak muslim belajar di Sekolah Kristen tetap mendapat pelajaran agama Islam. Perguruan tinggi Islam, Institut Agama Islam Negeri, IAIN, terus mendapatkan sokongan dana dari pemerintah. Pada 1991, terdapat 2200 staf pengajar di 14 IAIN yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan seratus ribu mahasiswa belajar di sana. Di akhir periode pemerintahan Soeharto, menurut Hefner 18 persen dari seluruh anak muda Indonesia belajar di IAIN.
Lafal Bismillah oleh Soeharto menjadi citra baru kekuasaannya. Rickelf memberikan analisis komparasi historis menarik tentang gerak politik Soeharto dan Soekarno (Ricklef, 200..). Soeharto membuat perhitungan, agak sama persis dengan Soekarno. Bahwa ia tidak dapat mengandalkan dukungan militer, dan lalu berpaling kepada PKI. Demikian juga Soeharto, lama kelamaan tidak yakin dapat mengandalkan dukungan ABRI, sehingga ia pun berpaling pada dukungan sipil. Ini berarti bahwa dukungan dari kekuatan Islam. Inilah arti nyata dari lafal Bismillah Soeharto.
Selain itu, dalam tafsir sejarah, Soeharto punya semangat belajar Islam karena ada hasrat untuk menggabungkan Islam ke dalam dunia spiritual kekuasaanya. Sekali lagi dalam tafsir politik budaya, ada kesamaan menarik antara Soeharto dan Sultan Agung dari Mataram Islam. Keduanya sama-sama ingin menjadikan Islam sebagai kekuatan supernatural. Islam digunakan untuk menjaga, mempertahakan rezim. Tujuannya, agar Islam tidak dimanfaatkan oleh para penentangnya sebagai alat politik yang mengancamnya. Soeharto dan Sultan Agung sama-sama cerdik. Keduanya, memanfaatkan para oposan. Keduanya, sama-sama menyerap kesaktian, ide dan wacana, dari penentang-penentangnya. Keduanya, memobilisasi kekuatan-kekuatan supernatural dari Islam. Para politisi Islam kemudian mendukung Soeharto ketimbang melontarkan kritik dan protes.
Bentuk kongkritnya, Soeharto berusaha tampil sebagai pemimpin umat Islam. Untuk itu, Soeharto merestui pembentukan ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Peresmian pendirian organisasi Islam ini disertai dengan penyelenggaraan simposium pertama di Malang, Jawa Timur pada bulan Desember 1990s. Simposium ini dibuka langsung oleh Soeharto. Anehnya, simposium ini tidak dihadiri para perwira ABRI. ICMI lebih dari sekedar pengelompokan intelektual. Meski tidak dimaksudkan untuk berperan aktif secara politik namun gerakannya cenderung bersifat politis. Golongan ini mewakili aspirasi yang makin menguat dalam panorama politik Rezim Soeharto. Tapi, golongan ini tidak pernah bersatu sepenuhnya. Uniknya, golongan ini memiliki surat kabar bernama Republika, think-thank bernama CIDES, dan menggebrak dunia bisnis dengan mengembangkan ekonomi Islam mendukung pendirian Bank Muamalat.
Pembentukan ICMI merupakan upaya Soeharto menggalang dukungan golongan Islam terutama kalangan intelektual dan birokrat. Selain itu, pembentukan organisasi ini juga untuk mengawasi gerak gerik politik komunitas-komunitas Islam yang cenderung kritis pada rezim. Setelah berdiskusi enam jam dengan Habibie, di dalamnya Habibie menjelaskan doktrin Islam, Soeharto memutuskan bahwa Habibie menjabat sebagai Ketua ICMI. Langkah politik ini dirancang untuk memberi bobot politik dan intelektual pada organisasi tersebut.
ICMI membawa Soeharto pada babak baru politik Rezim Soeharto. ICMI menjauhkan Soeharto dari kroni bisnis Indonesia keturunan Tionghoa, serta mendorong arah baru bisnis pribumi. Soeharto memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang pro-pribumi, pro-Islam, dan pro-teknologi modern. Dukungan resmi Soeharto menyuburkan pertumbuhan ICMI. Pada tahun 1994, ICMI memiliki anggota resmi berjumlah 20.000 angoota. ICMI merangkul orang-orang muslim dari berbagai aliran.
Dukungan Soeharto pada ICMI agak mengejutkan karena pada dasawarsa sebelumnya Soeharto sangat keras menerapkan asas tunggal Pancasila, Kesaktian Pancasila, dan Penataran P-4 dengan slogannya, Eka Prasetya Pancakarsa. Soeharto telah berubah dan nampak mengembalikan martabat Politik islam. Asal mula gerak langkah Soeharto untuk mengangkat identitas Islam terjadi pada era 1980-an. Ini meliputi penguatan fungsi kerja pengadilan Islam, penghapusan larangan pemakaian jilbab di sekolah dan kantor pemerintah, peningkatan pendidikan Islam terutama penambahan anggaran untuk Institut Agama Islam Negeri, dan penguatan pendidikan agama Islam di sekolah. Rezim Soeharto juga sangat keras menghukum pemimpin Majalah Monitor, memenjarakannya, karena menerbitkan angket tokoh populer, di mana Nabi Muhammad berada pada urutan ke-11 sedangkan Soeharto pada urutan ke-1.
Puncak dari politik Islam Soeharto terjadi pada bulan Juni 1991. Dengan menunaikan ibadah haji Soeharto hendak menunjukkan jati dirinya sebagai orang Islam yang sempurna. Soeharto tidak sendirian menunaikan ibadah haji namun bersama keluarga dan pengawalnya. Ibadah Haji Soeharto dipublikasikan secara besar-besaran. Seakan-akan Ibadah Haji ini menjadi tanda agung bahwa Soeharto bukan lagi sekedar Sang Bapak Pembangunan telah menjadi Sang Bapak Islam bagi kaum muslimin Indonesia.
Departemen Agama menerbitkan buku spesial berjudul “Perjalanan Ibadah Haji PaHarto” (1994), empat tahun sebelum sang tokoh sejarah Bapak Pembangunan ini lengser dari singgahsana kekuasaan dari gedung Bina Graha dan Istana Merdeka. Buku ini dicetak dengan bahan kertas terbaik, dalam arti tidak mudah rusak, seolah sengaja agar buku ini dapat menjadi dokumen sejarah yang abadi. Sampul depan buku berupa potret Suharto dan Istri Ibu Siti Hartinah mengenakan kain baju ihram warna putih.
Potret itu menampilkan wajah Suharto yang telah berusia senja, rambut beruban putih, dan makin menonjolkan citra beliau sebagai seorang pemimpin sepuh yang bijak. Sementara itu, sang Ibu Negara, akrab dipanggil Ibu Tien, nampak mengenakan kerudung besar warna putih. Kerudung itu bukan saja menutup rambut, telinga dan sebagian wajah tapi juga seluruh badan atau aurat, seperti sengaja memperlihatkan kepada publik muslim Indonesia bahwa Ibu Tien seorang muslimah sejati.
Sebenarnya, ini bukan sebuah buku catatan perjalanan yang runtut apalagi komprehensif, melainkan hanyalah kumpulan kliping dari laporan wartawan berbagai surat kabar nasional dan daerah yang mendapatkan kesempatan meliput secara langsung prosesi ibadah haji bapak presiden. Surat kabar itu antara lain Kompas, Sinar Pagi, Pos Kota, Banjarmasin Pos, dan lainnya. Meski demikian, bagi saya pribadi sangat menarik karena memuat berbagai sudut pandang penulisan yang intinya satu: menyambut jati diri baru Suharto sebagai pemimpin Islam (Departemen Agama RI, 1994). Kumpulan kliping isinya memuat sudut pandang dan gaya cerita yang berbeda-beda meskipun meliput fakta yang sama: Soeharto Menunaikan Ibadah Haji. Maka, para wartawan itu tidak melulu melaporkan berita tentang ibadah haji tapi juga komentar-komentar dari para tokoh politik, tokoh agama, dan juga para sahabat, pendukung dan handai taulan dari pada Soeharto.
Buku ini mengklasifikasi kliping berita seputar ibadah haji Bapak Pembangun itu ke dalam empat bagian (Departemen Agama RI, 1994). Pertama, Persiapan, menampilkan berita-berita seputar Rencana Pergi Haji, Sambutan Masyarakat, Sambutan Raja Fad, Ingin Membaur dengan Jemaah Indonesia, Rombongan Keluarga Cendana, dan Selamatan. Dalam hal sambutan masyarakat, terdapat narasi bahwa Umat Islam di seluruh Masjid di Indonesia mendoakan Presiden yang akan menunaikan Ibadah Haji.
Disebutkan bahwa Dewan Masjid bersama pengurus dan jemaahnya tercatat tidak kurang dari 100 juta dari 170 juta bangsa Indonesia diserukan bermunajat semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya atas bangsa Indonesia yang sedang membangun dan memberi kekuatan iman dan Islam terhadap kepala negara untuk memimpin umat ke jalan yang diridlai-Nya, mencapai kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Demikian dinyatakan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Drs. H. Kafrawi Ridwan kepada PAB, 1 Juni 1991.
Bagian kedua, tentang Pelaksanaan Ibadah Haji. Di sini ditampikan kliping-kliping lansir berita tentang begitu khusyu’nya Soeharto dan rombongan keluarga dan pasukan pengawal presiden menjalan enam rukun haji, niat ihram, wukuf, thawaf, sa’i, tahalul, dan tertib (Departemen Agama, 1994). Namun, sebelum melaksanakan ritus haji, Soeharto sempat bekunjung ke Kota Nabi, Madinah, untuk berkunjung dan shalat di Masjd Nabawi dan berziarah ke makam Nabi Muhammad. Berita paling menarik adalah liputan berita dari Berita Buana, 20 Juni 1991, berjudul Muhammad Soeharto dikawal 2 lapis laskar (Departemen Agama RI, 1994).
Meski mendapatkan pengawalan khusus dari dua lapor laskar, tentara, Kerajaan Saudi, ditambah 15 orang petugas haji Indonesia, rombongan Muhammad Soeharto toh tetap leluasa melakukan ibadah umrah. Menurut laporan wartawan Buana, Zaim Ukhrawi, pengawalan itu juga tak mengurangi kekhusukan berumrah. Hanya sayang, karena kerumunan massa, tak sempat menciup Hajar Aswad. Pak Harto tampak terharu (Departemen Agama RI, 1994) ketika bersiap melakukan penutup umrah, tahallul seusai sa’i berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, yang jaraknya sekitar 700 meter. Beliau lalu memeluk putra-putrinya, dan secara bergiliran mencukur rambut mereka satu per satu, termasuk Wismoyo Arismunandar, kata H. Maftuh Ikhsan, Kepala Bidang Urusan Haji pada konsulat Jenderal RI.
Soeharto juga memenuhi undangan jamuan makan malam khusus oleh Raja Fahd di Istana Al Salam, Jedah (Departemen Agama RI, 1994). Jamuan makan malam itu berlangsung selama satu setengah jam. Selain Raja Fahd, jamuan juga dihadiri putra mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, para emir, dan para menteri Kerajaan. Menteri Agama, Munawir Sjadzali mengatakan Presiden dan Ibu Tien Soeharto masing-masing telah mendapat nama Muhammad dan Siti Fatimah dari Raja Fahd.
Dengan demikian setelah menunaikan ibadah haji nama Presiden Soeharto adalah Haji Moehammad Soeharto dan Ibu Tien Soeharto menjadi Hajjah Siti Fatimah Hartinah Soeharto. Munawir juga mengatakan bahwa Ibadah Haji yang telah dijalankan oleh Presiden dan Ibu Negara merupakan salah satu kebanggan kaum muslimin Indonesia tahun ini. Soeharto sendiri, dalam pandangan seorang diplomat Maftuh Ikhsan, kepala bidang urusan haji Konsulat RI Jeddah, benar-benar menghayati amalan-amalan ibadah haji yang dikerjakan, sehingga jika ada waktu luang selalu diisi dengan shalat dan ceramah agama. Bahkan dalam beberapa kesempatan Pak Harto yang menjadi imam.
Bagian ketiga tentang Kembali ke Tanah Air. Soeharto berangkat haji berada dalam kloter terakhir, namun kepulangannya berada dalam kloter pertama. Seperti biasa kepulangan kepala negara dari lawatan luar negeri akan disambut oleh para pejabat tinggi negara. Pesawat yang membawa rombongan ibadah haji Presiden mendarat di bandar udara Halim Perdana Kusuma. Namun kali ini berbeda. Soeharto tidak langsung turun dari pesawat. Sebelum turun dari pesawat, Imam Masjid Istiqlal, KH Muchtar Nasir, bersama Menteri Sekretaris Kabinet, Saadilah Mursyid, dan Sekjen Departemen Agama, Tarmizi Taher, naik ke pesawat, untuk memberikan sambutan dalam bentuk doa (Departemen Agama RI, 1994).
Imam Masjid Istiqlal itu membacakan doa atas kedatangan jamaah haji tersebut. Setelah itu, Soeharto turun dari pesawat, bersalaman dengan para pejabat tinggi negara yang sudah lama menunggu untuk menyambutnya. Setelah itu, ia dan rombongan naik bus jemputan, tidak ke kediamannya di Cendana namun mampir ke Masjid Cut Meutiah untuk melaksanakan shalat syukur (Departemen Agama RI, 1994). Para wartawan memotret Soeharto dan menteri-menteri yang menyertainya, terutama Sekretaris Negara, Moerdiono, menunaikan shalat sunnah syukur tersebut.
Bagian terakhir, tentang Soeharto, Agama, dan Haji. Bagian ini menceritakan ulang tentang jati diri Soeharto sebagai orang Islam. Bab ini memuat ulang cerita naratif normatif masa lalu atau masa kecil Soeharto. Namun berbeda dengan pandangan para pengamat Soeharto dan kaum santri yang merasa Soeharto sebagai seorang abangan, kisah yang ditampilkan adalah kisah Soeharto sesungguhnya adalah seorang santri, orang Islam yang saleh. Bahkan Pak Harto serius mendidik agama pada putra putrinya.
Masalah pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga Pak Harto merupakan hal yang tidak bisa dianggap enteng (Departemen Agama RI, 1994). Mbak Tutut, putri sulung Soeharto, berkata “Yang pertama mengajarkan Al-Fatihah kepada saya, Bapak Sendiri. Bapak secara telaten mengajarkan membaca huruf Arab dan Al Quran. Alhamdulillah Bapak sudah beberapa kali khatam Al Quran, dan Bapak bisa baca dan tulis Arab. Kata-kata Mbak Tutut ini seperti benar-benar sengaja ditujukan kepada umat Islam Indonesia bahwa Pak Harto dan keluarga adalah muslim sejati (Departemen Agama RI, 1994).

Foto ketika Soeharto menjalankan ibadah haji
Lawatan Soeharto ke Tanah Suci benar-benar dijalankan secara sempurna sebagai sebuah pentas politik budaya. Ini sejalan dengan teori Geertz (Geertz, 2000) tentang eksistensi negara sebagai aktor yang memproduksi tontotan dan ritual bagi kawula dan hamba. Banyak kalangan yang terlibat untuk memastikan kesuksekan prosesi ibadah Haji tersebut. Dalam negara teater, pasti ada panitia, para pemain acara, dan para pemirsa atau penonton . Nuansa politik memang tidak nampak namun narasi-narasi yang disampaikan menyentuh rasa syukur rasa haru dari publik Islam di tanah air. Ketua Majelis Ulama KH Hasan Basri mengatakan keberangkatan Presiden Soeharto bersama keluarga ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, merupakan hari yang sangat bersejarah sepanjang masa Orde Baru (Departemen Agama RI, 1994).
Gerak Soeharto ke arah Politik Islam menunjukkan betapa kuat tekanan politik yang dihadapi. Soeharto memiliki kecenderungan pada spiritual. Menjelang lanjut usia, ia nampak emosional. Ia lalu condong kepada hubungan personal dengan Islam. Kemungkinan besar ia juga sangat dipengaruhi pengalamannya melihat Uni Soviet. Ia menarik hikmah betapa luar biasa sulit mempertahankan keutuhan imperium dalam era nasionalisme baru dan gelombang demokrasi. Namun, pengaruh paling penting adalah berakhirnya Perang Dingin. Komunisme Runtuh dan Uni Soviet Bubar. Amerika Serikat dan Eropa Barat tidak lagi mendukung rezim-rezim pemerintahan anti-komunis. Demikian pula Soeharto bahwa ia tidak lagi bisa bergantung pada dukungan Barat. Ia tidak lagi mendapat perlindungan dari negara-negara Barat terutama dalam soal penerapan Hak Asasi Manusia.
Doktrin anti-Komunis yang menjadi legitimasi resmi dan kuat kekuasaanya tidak lagi mendapatkan dukungan internasional, karena Uni Soviet telah runtuh, komunisme telah bubar, dan Tiongkok telah lama menjalankan sistem ekonomi pasar dan telah lama meninggalkan doktrin komunis ala Mao Zedong. Di dalam negeri, ia mulai mendapatkan kritik, protes, dan tekanan dari berbagai pihak. Banyak kalangan sipil dan militer menginginkan keterbukaan, dan mendiskusikan suksesi kekuasaan, dan muak dengan sepak terjang anak-anaknya yang menguasai proyek-proyek pembangunan negara. Karena itu, Bapak Pembangunan itu melafal Bismillah dan menggaet dukungan politik Islam.
Saiful Hakam, merupakan peneliti sejarah di Pusat Riset Kewilayahan BRIN
* Tulisan ini merupakan resensi dari publikasi hasil penelitian penulis “Ketika Soeharto Mengucap Bismillah: Dari Politik Anti Komunis Cina ke Politik Islam” dalam: https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/politica/article/view/4987
One thought on “Ketika Soeharto Membaca Bismillah (2)”