Ketika Soeharto Membaca Bismillah (1)

Oleh: Saiful Hakam

Tidarislam.co – Tulisan ringkas ini bermula dari obrolan ringan dengan seorang intelektual muda Aceh bernama Mohammad Alkaf. Namun, di balik obrolan ringan itu, terkadang ada muatan yang sangat serius. Meski awalnya hanya berceloteh dan mengenang tentang masa-masa akhir kekuasaan Soeharto sebagai presiden, namun, kenangan-kenangan itu malah menggugah kembali fikiran dan otak penulis untuk membuka kembali kepada referensi-referensi serius dan juga sangat intelektual, tentang riwayat zaman delapan tahun terakhir masa kekuasaan bapak pembangunan tersebut.

Boleh dibilang pada tahun-tahun itu, 1990-1998, Bapak Soeharto sering dan secara resmi menampilkan diri sebagai orang saleh dibandingkan masa-masa sebelumnya (Rukmana, 2011) (Ricklefs, 2013). Dalam setiap pidato resmi maupun tidak resmi, beliau sering memulai kata pidato dengan mengucapkan kata Bismillah. Jelas kata bismilah dibaca oleh lidah seorang pemimpin besar, yang kala itu sangat ditakui dan dihormati, jelas-jelas berbeda dengan kata bismillah yang dilafalkan oleh seorang ulama ataupun beberapa ratus ulama. Kata bismilah yang dilafalkan Soeharto adalah politik dan punya implikasi kebijakan dan melahirkan bahkan lembaga-lembaga politik. Sebaliknya, kata-kata bismillah oleh ulama kiai ataupun ustad lebih sering bermakna ritus dan ritual karena memang menjadi kerja-kerja rutin mereka sebagai pemimpin agama dan ritual.

Masa-masa akhir kekuasaan Soeharto diwarnai dengan aktifitas hangat politik Islam (Hefner, 2000; Ricklefs, 2013). Ini ditandai dengan kemunculan ICMI. Suatu organisasi yang mendeklarasikan diri sebagai lembaga non-politik namun malah bersifat sangat politik sama sekali. Lalu, penampilan busana muslim, terutama jilbab di kalangan perempuan di perkotaan (Hefner, 2000). Lalu, dalam ranah kebudayaan, musik dan seni Islam begitu marah. Juga, Bank Mualamat hadir sebagai simbol awal dari kehadiran ekonomi Islam, embrio dari ekonomi syariah dalam jagad ekonomi bisnis Indonesia, yang panggungnya lama dikuasai oleh gerak maju perusahaan-perusahaan negara warisan Belanda dan perusahan keluarga Tionghoa- Indonesia yang punya jaringan kuat di pasar Asia Tenggara, China Daratan, dan Dunia.  

Bung Alkaf, dalam satu canda dalam obrolan ringan, melontarkan penyataan jitu bahwa orang Jawa di masa tua pasti sangat religius, demikian juga Soeharto. Saya sendiri sangat kaget dengan pernyataan ini, karena argumentasi ini datang bukan dari Indonesianis atau Pakar Indonesia yang selalu terpukau pada kebudayaan Jawa dari mitos sampai politiknya, melainkan dari intelektual Aceh. Mungkin saja Bung Alkaf merasakan keunikan atau pun keanehan budaya dan orang Jawa ketika studi dan bermukim di Jogjakarta, betapa dilematis baginya untuk mendefinisikan Islam Jawa. Ada orang abangan di masa muda, tapi begitu tua sangat religius dan sangat santri seakan-akan masa abangan itu tidak ada atau terlupakan.

Dan memang, dalam masa akhir hayatnya, terutama setelah turun dari panggung kekuasaan, Soeharto menampilkan sebagai seorang Jawa yang saleh (Rukmana, 2011. Beliau nampak seperti seorang kakek yang rajin sembahyang dan mengaji dan tentu saja mengenakan sarung (Rukmana, 2011). Ini berbeda dengan pendahulunya, Soekarno yang dari awal sampai akhir hayat tetap dikenang sebagai pemimpin besar dengan seragam kebesaran (Adam, 2018). Tidak ada potret Soekarno mengenakan kain sarung (Adam, 2018). Akan tetapi, sesungguhnya, jauh sebelum masa turun panggung itu, Soeharto sendiri, pada tahun 1990-an, memang tak segan-segan mendeklarasikan diri sebagai santri. Dalam Muktamar Muhamadiyah di Banda Aceh, dalam pidato sambutan, Soeharto dengan tenang mengatakan bahwa dirinya adalah kader Muhammadiyah. Dan ini tidak salah secara historis, karena adalah fakta bahwa ia pernah bersekolah di sekolah Muhammadiyah.   

Bung Alkaf tak jarang menyebutkan dengan detil dan jitu tentang kebudayaan-kebudayan pop Islami yang lahir pada delapan tahun terakhir kekuasaan Bapak Pembangunan itu. Pada masa itu, seni membaca Alquran dilombakan secara besar-besaran dan mendapat dukungan negara. Posisi Qiraah Alquran mendapatkan kedudukan sosial yang sangat tinggi dan bisa dihormati sejajar dengan ulama. Fakta paling spektakuler adalah kelahiran tata cara membaca Alquran dengan metode cepat Iqra, yang lahir di kota Jogjakarta. Kemunculan metode membaca Aluquran Iqra sejajar waktunya dengan penampilan islami dari Bapak Pembangunan itu.   

Hal menarik dari Soeharto jika dibandingkan dengan Soekarno adalah ada de-Soekarnoisasi, di mana prestasi dan warisan politik Soekarno dihapus dari narasi resmi sejarah negara (Winarno, 2013, Feith, 1968). Namun meski pun ada de-soekarnoisasi, produksi pengetahuan tentang Soekarno benar-benar melimpah dan luar biasa banyaknya. Antara lain dari penulis luar negeri, Cindy Adams yang membahas sisi humanis dan pribadi Soekarno, dan beberapa penulis lain yang menulis tentang biografi politik Soekarno, seperti Bob Hering (2012), Lambert J. Giebels (2001), John D. Legge (1972), Bernharad Dam (1987). Dari dalam negeri, ada beberapa kumpulan pidato-pidato Soekarno yang diterbitkan ulang, dan juga kumpulan karangannya semasa muda dijilid menjadi satu bundel buku di bawah judul ‘Di Bawah Bendera Revolusi’. Buku ini kini masih banyak dicari orang, terutama kolektor buku langka. Meski mungkin tidak dibaca, namun menjadi kebanggaan tersendiri jika orang bisa memiliki dan mengkoleksi buku tersebut dan memamerkannya di rak buku.

Sebaliknya, pada diri Soekarno tidak terjadi de-Soehartoisasi. Namun anehnya, produksi pengetahuan tentang Soeharto bisa dibilang sangat sedikit sekali. Artinya, dibandingkan dengan Soekarno, kalangan intelektual dan peneliti yang kerjanya membaca dan mengutak atik teori, dan sejarawan yang kerjanya membuka ulang arsip sambil mencari makna dan paradigma, kurang tertarik mendiskusikan apalagi menulis ilmiah tentang Soeharto. Jarang ada publikasi jurnal tentang Soeharto, atau kajian khusus tentang pemikiran Soeharto. Bukti ini makin kuat karena nama Soeharto lebih banyak dikenang secara karikatural di cap-cap-an atau stiker yang menempel di bak truk-truk bermesin buatan Jepang Toyota dan Mitsubishi: enak jaman ku tho! Agak ironis karena Soeharto yang seorang jenderal dan pemimpin besar itu, nampak senyum dan akrab di jalanan dengan lambaian tangan yang khas. Selain itu, nama dan tanda tangan Soeharto tetap eksis pada prasasti di dinding-dinding Masjid Yayasan Amal Bakti Pancasila yang berjumlah 99 masjid.

Jika kisah tentang Soekarno adalah kisah tentang ide-ide, terutama ide pembentukan bangsa, negara, revolusi belum selesai, serta sistem republik, maka sebaliknya, kisah tentang Soeharto adalah kisah tentang kekuasaan, dwi fungsi ABRI, penyederhanan partai politik, Asas Tunggal Pancasila, dan ICMI (Abdulgani-Knapp, 2007). Jika Soekarno bernegosiasi dengan aparatur negara tentang ide-idenya, maka Soeharto bernegosiasi dengan aparatur negara tentang kuasa-nya. Soekarno turun dari panggung kekuasaannya karena aparatur negara lelah dengan urusan ide-idenya; sebaliknya Soeharto turun dari panggung kekuasaannya karena aparatur negara lelah dengan urusan perpanjangan kekuasaannya. Artinya Soekarno sibuk dan tak kenal lelah melembagakan ide-ide politiknya sedangkan Soeharto sibuk dan tak kenal lelah melembagakan kekuasaannya.

Meski demikian, Soeharto memiliki kisah yang tak kalah menarik, karena seperti Soekarno, ia juga telah mengubah haluan daripada nasib bangsa dan republik (Roeder, 1971; Dwipayana & Ramadhan, 1989; Elson, 2001; McGlynn, 2007; Abdulgani-Knapp, 2007). Jika ditinjau secara lebih mendalam, maka, bisa dikatakan, ada tiga era Soeharto. Pertama, era PSI dan Aspri, di mana intelektual eks Partai Sosialis Indonesia dan Asisten Pribadi begitu berpengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintahan Soeharto yakni pada sepuluh tahun pertama kekuasaanya (Elson, 2001). Lalu, kedua, era teknokrat dan birokrat, ketika keduanya mendapatkan posisi strategis di jajaran pemerintahan; tentu saja juga dalam hal kebijakan. Lalu ketiga, era Islam, ketika Soeharto menampilkan diri sebagai pemimpin Islam, dengan ciri menonjol mengucapkan lafal Bismilah dalam setiap amanatnya di hadapan peserta rapat terbatas maupun pertemuan publik (Hefner, 2000; Ricklefs, 2013).    

Jika membuka kembali sejarah politik Islam Indonesia, maka golongan-golongan politik Indonesia terutama faksi Islam tidak memiliki pengetahuan tentang sejauh mana ke-Islam-an Soeharto (Rickles, 2013, Hefner, 2000). Namun, seiring dengan menguatnya peran politik dan kekuasaan Soeharto, mereka menjadi sadar bahwa Soeharto kurang suka dengan gerakan politik Islam (Ricklefs, 2013). Ia lebih condong pada Islam sebagai sebuah kebudayaan. Lingkaran Soeharto pada awal ia berkuasa adalah lingkaran spiritual Jawa. Di antara guru spiritual Soeharto ketika ia beranjak ke tampuk kekuasaan, dua orang menempati posisi penting, yakni mantan rekan sejawat di Kodam Diponegoro, Jenderal Soedjono Hoemardani, dan Soediyat Prawirokoesoemo, yang lebih dikenal dengan gelarnya sebagai seorang ahli spirituial Empu Rama Diyat.

Namun dalam otobiografinya yang arogan dan terasa membosankan, yang ditulis pada akhir 1980-an, Soeharto tidak mengakui pengaruh spiritual Soedjono atas dirinya. Sebaliknya ia mengatakan bahwa ia lebih paham soal kebatinan dan spiritualitas Jawa ketimbang Soedjono (Ricklefs, 2013; Dwipayana & Ramadhan KH, 1989). Ia mengatakan bahwa Soedjono lebih banyak bertanya kepada saya dari pada sebaliknya. Soedjono sendiri pernah berkata bahwa saya berguru kepada Pak Harto. Jangan mengira bahwa Djono itu guru kebatikan saya, kecele (Dwipayana & Ramadhan KH, 198).

Petuah-petuah spiritual Soeharto sendiri dikumpulkan dalam sebuah buku (Rikclefs, 2013). Buku ini tidak dieadarkan secara luas namun diedarkan secara terbatas dengan halaman persembahan ditulis tangan oleh Soeharto sendiri dalam angka tahun 1986 (Suharto & Rukmana, 1987). Buku ini ditulis dalam tiga bahasa: Jawa, Indonesia, dan Inggris (Suharto & Rukmana, 1987).

Sumber dari petuah-petuah yang terangkum dalam buku pun disebutkan, yakni kitab-kitab besar sastra Jawa dari Kraton Surakarta pada abad ke-18 dan ke-19. Kitab-kitab tersebut mengajarkan sintesis mistik kuno Jawa dan Islam, seperti Serat Centhini, Serat Cipta Ening, dipetik dari kitab Arjunawiwaha, Serat Dewaruci. Lalu, karya-karya Ronggowarsito, pujangga terkenal abad ke-19 dari Kraton Surakarta, yakni Serat Jaka Lodhang, dan serat Kalatidha, ramalan Jayabaya, Serat Nitisastra, dan Serta Tridharma (Ricklefs, 2013; Suharto & Rukmana, 1987). Petuah-petuah Spiritual Soeharto tentu saja tidak dibagikan untuk umum, tetapi rasanya tidak ada yang meragukan bahwa bapak presiden lebih bersimpati pada kebatinan Jawa ketimbang Islam (Ricklefs, 2013).   

Dalam usia lanjut usia Soeharto menampilkan jati diri yang kian berbeda. Ia makin menampilkan diri sebagai muslim yang saleh. Ia tak segan-segan menunjukkan ketaatan beribadah. Ibadah shalat, ikut memeriahkan hari-hari besar Islam seperti Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, Takbir Akbar, dan terutama Ibadah Haji. Dalam hal lafal bismillah, ada catatan menarik, unik, dan spesial. Dalam kebiasaan berpidato para alim ulama di Indonesia, awalan pidato tidak dimulai dengan lafal bismillah hirrohmanir rokhim tapi dengan lafal salam Assalamu Alaikum Warohmatullahi Wa Barakatuh. Ini tidak berlaku pada Soeharto. Ia ingin menampilkan budaya baru Islam datang dari dirinya.

Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Soeharto memiliki jadwal rutin, dan cukup padat memberikan amanat, sambutan, dan pidato pada rapat-rapat internal dan pertemuan publik. Hal yang mengejutkan, pada dasawarsa terakhir ia berkuasa, adalah, sebelum memulai amanatnya, sebagai seorang Bapak Pembangunan, ia pasti mengucapkan Bismillahir Rokhmanir Rokhim dengan sangat tawaduk. Seperti orang saleh memulai pekerjaan. Setelah mengucapkan kalimat bismillah tersebut, baru kemudian ia mengucapkan salam, assalammu alaikum warokhmatullahi wabarokatuh kepada para hadirin yang menunggu untuk mendengarkan amanat beliau.   

Sebagaimana seorang priyayi Jawa yang taat beribadah, Soeharto pada masa itu mengundang sekaligus mengangkat Kiai Haji Kosim Nurseha sebagai guru agama bagi keluarga. Tujuannya, untuk lebih mengenal ajaran Islam (Ricklefs, 2013). Jika dilihat dari jiwa zaman di masa itu dan juga tradisi priyayi Jawa, tabiat Soeharto mengundang guru agama ke rumah adalah hal lumrah karena para priyayi biasa mengundang guru agama atau kiai ke rumah. Jarang ada seorang priyayi belajar mengaji di rumah kiai (Ricklefs, 2013). Kosim Nurseha pada waktu itu juga terkenal sebagai penceramah ulung. Ia  mengisi siaran pengajian rutin dari stasiun radio swasta Jakarta. Kosim Nurseha  berasal dari Tegal. Hal paling penting, Ia merupakan anggota staf kerohanian angkatan darat. Karena latar belakangnya sebagai anggota militer maka ia memiliki kesempatan mengajarkan Alquran dan ajaran-ajaran Islam kepada keluarga Soeharto.

Namun demikian Soeharto tetap sangat dekat pada spiritualitas mistik Jawa bahkan sangat kuat (Ricklefs, 2013). Atau, meskipun ia mengenakan busana muslim perpaduan unik antara peci hitam, jas, sarung, dan sepatu selop dipakai  terutama pada hari besar agama Islam, Shalat Idul Fitri dan Shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal, namun orang-orang tetap memandangnya sebagai seorang Jenderal bukan seorang Kiai. (Bersambung…)

Saiful Hakam, merupakan peneliti sejarah di Pusat Riset Kewilayahan BRIN

2 thoughts on “Ketika Soeharto Membaca Bismillah (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *