Ketika Muslim Tionghoa Merayakan Tahun Baru Imlek

Tidarislam.co – Tahun Baru Imlek merupakan momentum penting yang disambut dan dirayakan oleh komunitas Tionghoa. Imlek diawali dari hari pertama penanggalan Cina atau disebut juga kalender Lunar, dan diakhiri dengan Cap Go Meh pada hari ke-15. Peringatan Imlek sendiri telah berlangsung dalam sejarah yang sangat panjang di Tiongkok, sejak 3500 tahun yang lalu.

Perayaan Imlek di Indonesia sudah dianggap identik sebagai perayaan keagamaan. Pergantian Tahun Baru Cina ini menjadi hari besar yang dirayakan oleh komunitas Tionghoa yang beragama Konghucu di Indonesia. Perayaan keagamaan ini juga telah diakui negara dengan menjadikannya salah satu hari libur nasional.

Biasanya, umat Konghucu menyambut perayaan Imlek dengan melakukan ritual sembahyang sejak seminggu sebelum dimulai perayaan Imlek, yakni sembahyang mengantarkan dewa-dewa ke surga, kemudian sembahyang kepada leluhur mereka untuk menghormati arwah mereka dan mengundang mereka untuk turut hadir dalam perayaan Imlek bersama keluarga besar.

Namun apakah kelompok Tionghoa yang beragama Muslim merayakan Imlek?

Berdasarkan penelusuran pada beberapa sumber, sekalipun Imlek merupakan hari raya agama Konghucu, tetapi beberapa kelompok Muslim beretnis Tionghoa di Indonesia ternyata juga masih menghormati dan merayakan Imlek.

Komunitas Muslim Tionghoa umumnya merupakan kelompok muallaf atau berpindah keyakinan menjadi seorang Muslim. Seperti, misalnya, kelompok Muslim Tionghoa di Surabaya Jawa Timur. Namun, sekalipun mereka telah menjadi seorang Muslim, tetapi mereka masih mempertahankan tradisi leluhur etnis Tionghoa, salah satunya perayaan Imlek. Mereka masih ikut merayakan Imlek, tetapi bukan sebagai perayaan hari keagamaan, melainkan sebagai sebuah praktik tradisi kebudayaan, yang menunjuk pada perayaan pergantian tahun baru biasa.

Ketika Muslim Tionghoa merayakan Imlek, mereka tidak datang ke Kelenteng, melakukan ritual sembayang pemujaan dan berdoa dengan membakar dupa-dupa sebagaimana lazimnya dijumpai pada komunitas Tionghoa Konghucu. Biasanya kelompok Muslim Tionghoa merayakannya dengan makan bersama dan melakukan silaturahmi dengan kerabat dan keluarga, termasuk kepada mereka yang beragama Konghucu. Momentum perayaan Imlek mereka gunakan untuk mempererat silaturahmi antar sesama etnis Tionghoa.

Kelompok Muslim Tionghoa di Makassar, contoh lainnya, sering menggelar perayaan Imlek di Masjid Cheng Ho, dan mereka gunakan untuk mempererat tali silaturahmi, dan pernah juga menggelar acara-acara seperti dialog kebangsaan.

Baca juga: https://tidarislam.co/meneroka-tren-indeks-kerukunan-umat-beragama-di-indonesia/

Sebagian kelompok Muslim Tionghoa di daerah yang lain, seperti di Yogyakarta, ada juga yang merayakan Imlek dengan menggelar pengajian umum di Masjid. Sebagian mereka memaknai hal ini sebagai bentuk syiar keagamaan sekaligus menebar kedamaian. Beberapa komunitas Muslim Tionghoa yang lain ada yang menggelar sujud syukur dan pengajian. Tak lupa seusai perayaan biasanya diikuti dengan makan hidangan aneka makanan.

Perayaan Imlek di kalangan Muslim Tionghoa ini dapat dianggap sebagai bentuk ekspresi rasa syukur mereka terhadap anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, perayaan Imlek menyesuaikan dengan kultur dalam tradisi keagamaan Islam. Fenomena ini mencerminkan kehidupan keagamaan dan kebudayaan di Indonesia yang sudah begitu mencair, khususnya dalam perayaan Imlek di kalangan Tionghoa.

Hal ini juga mencerminkan pesan  toleransi keagamaan, bahwa perbedaan identitas keagamaan tidak menghalangi seseorang untuk saling menghormati satu sama lain, menghormati keyakinan agama lama, dan mereka masih dapat berjumpa secara intim dalam ruang-ruang kebudayaan. Beberapa kelompok Muslim Tionghoa tersebut, dengan begitu, menunjukkan corak keberagamaan mereka yang inklusif.

Disini juga terdapat pesan sosial yang dapat kita petik, bahwa hari raya keagamaan tidak semestinya dipersepsikan untuk mempertajam jurang perbedaan yang dapat mengarah kepada konflik agama, tetapi justru dapat mempererat kesamaan pada komitmen kebersamaan sebagai sesama etnis dan warga negara, bahkan mungkin meningkatkan potensi kesejahteraan ekonomi, dengan tanpa mengurangi sedikitpun rasa kebahagiaan dan kegembiraan.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti agama di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *