Ketika Bendera One Piece Lebih Berkibar daripada Merah Putih: Cermin Retaknya Kepercayaan Rakyat

Oleh: Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)

Tidarislam.co- Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, sebuah fenomena tak biasa kembali mengguncang ruang publik yaitu berkibarnya bendera Jolly Roger dari anime One Piece di kendaraan umum, rumah warga, hingga truk-truk logistik. Simbol tengkorak bertopi jerami itu tampak mencolok, seolah menyuarakan sesuatu yang tak terucap dalam bahasa politik biasa.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, merespons fenomena ini dengan menyebutnya sebagai “upaya sistematis untuk memecah belah bangsa”. Ia menyatakan bahwa pengibaran simbol fiksi menjelang perayaan kemerdekaan adalah tindakan yang berpotensi merusak semangat nasionalisme. (Kompas.com, 31 Juli 2025)

Namun, mari kita jujur dan lebih jernih. Apakah ini benar-benar soal anime? Atau sesungguhnya ini adalah jeritan diam dari rakyat yang terlalu lama merasa tak didengar?

Di Balik Simbol, Ada Suara yang Terkubur

Kita bisa saja menertawakan mereka yang mengibarkan bendera fiksi. Kita bisa menyebut mereka kurang ajar atau tidak paham sejarah. Tapi sebelum menghakimi, tidakkah kita bertanya: mengapa simbol fiksi bisa lebih terasa dekat daripada simbol resmi negara?

One Piece bukan sekadar hiburan. Dalam narasinya, ada perjuangan melawan ketidakadilan, keberanian menantang sistem korup, dan solidaritas antar mereka yang terpinggirkan. Tak heran jika banyak dari mereka yang merasa tertindas sopir truk, buruh kasar, anak muda tanpa masa depan melihat diri mereka dalam semangat bajak laut Topi Jerami.

Bagi mereka, simbol itu bukan pemberontakan terhadap negara. Tapi refleksi dari perasaan bahwa negara telah lama meninggalkan mereka.

Akar Masalahnya Bukan di Bendera, Tapi Rasa Ditinggalkan

Masalah utama dari fenomena ini bukan pada benderanya, tapi pada rasa percaya yang telah runtuh. Ketika Merah Putih dikibarkan oleh rakyat yang lapar, yang tak mampu mengakses pendidikan, yang selalu kalah oleh sistem, maka nasionalisme menjadi slogan kosong.

Kita melihatnya setiap hari. Ketika petani ditindas mafia tanah. Ketika buruh tambang kehilangan pekerjaan karena kebijakan yang berubah-ubah. Ketika anak muda dipaksa mencintai tanah air, tapi tak diberi ruang untuk didengar.

Itu sebabnya mereka mencari simbol alternatif. Dan sayangnya, negara malah sibuk mencabut bendera One Piece, bukan membenahi luka yang membuat simbol itu dikibarkan.

Simbol Boleh Berbeda, Tapi Suara Mereka Sama: Kami Ingin Didengar

Fenomena ini bukan sekadar soal generasi muda yang ‘salah arah’. Ini adalah pesan. Pesan bahwa nasionalisme tidak bisa dipaksa lewat seremoni, tapi harus dirawat lewat keadilan. Ketika negara lebih peduli pada citra daripada kesejahteraan, maka rakyat akan berbicara dengan cara yang tak biasa.

Kita perlu berhenti menertawakan atau mencurigai simbol mereka. Kita perlu mulai mendengarkan apa yang ingin mereka katakan: “Kami ingin hidup yang lebih layak. Kami ingin pemerintah hadir. Kami ingin Merah Putih menjadi harapan, bukan sekadar hiasan tiang bendera setiap Agustus.”

Solusi Islam: Mengobati Luka Sosial, Membangun Keadilan

Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) menawarkan solusi yang bukan hanya simbolik, tapi menyentuh akar. Negara dalam pandangan Islam bukan hanya penjaga batas teritorial, tapi pelayan rakyat (‘ra’in) yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keadilan.

Rasulullah ﷺ adalah pemimpin yang paling sering disakiti, tetapi tidak pernah terburu-buru memvonis umatnya. Beliau mendengarkan, berdialog, dan menasihati dengan lembut. Pemerintah hari ini semestinya mengikuti teladan itu dengan membuka ruang dialog, bukan memukul dengan pasal makar.

Islam memandang bahwa keadilan (‘adl) adalah inti dari kekuasaan. Tanpa keadilan, simbol sebesar apa pun akan kehilangan makna. Negara harus hadir dengan kebijakan pro-rakyat: mengatasi ketimpangan, menertibkan harga kebutuhan pokok, melindungi pekerjaan dan kesejahteraan buruh serta pekerja informal.

Dalam Islam, ikatan yang mempersatukan manusia bukanlah tanah, suku, atau bangsa, tetapi akidah Islam. Nasionalisme yang dibangun atas dasar kesamaan geografis seringkali menutupi ketidakadilan dan memecah belah umat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukan dari golongan kami siapa yang menyeru atas dasar asabiyah (fanatisme kesukuan/kebangsaan)” (HR. Abu Dawud).

Artinya, cinta terhadap negeri harus lahir dari ketaatan kepada Allah dan kepedulian terhadap keadilan, bukan semata dari simbol geografis. Membangun negeri bukan dengan nasionalisme semu, tapi dengan sistem Islam yang menjamin hak dan kesejahteraan semua warganya.

Daripada mencela anime atau budaya populer, kita bisa menjadikannya alat dakwah. Bukankah One Piece mengajarkan keberanian, ketulusan, dan solidaritas? Nilai-nilai itu bisa dikaitkan dengan ajaran Islam melalui dakwah kreatif menggunakan bahasa mereka, bukan menjauhi mereka.

Jangan Takut pada Simbol, Tapi Waspadalah pada Ketidakadilan

Mereka tidak sedang melawan Indonesia. Mereka sedang melawan rasa tidak dianggap sebagai bagian dari Indonesia. Dan itu jauh lebih berbahaya dari sekadar pengibaran bendera bajak laut.

Islam tidak membenarkan kekacauan. Tapi Islam juga tidak membenarkan ketimpangan yang dibungkus dengan nasionalisme kosong. Maka, daripada sibuk mengejar simbol, lebih baik kita perbaiki sebab kenapa simbol itu dipilih. Karena rakyat yang merasa dicintai takkan pernah mengganti Merah Putih dengan apa pun bahkan dengan One Piece. Wallahu’alam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *