Oleh: Yusuf
Tidarislam.co- Sebuah Renungan dari Al-Furqan ayat 30. Allah Ta‘ala berfirman dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 30:
وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَـٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا۟ هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًۭا
Wa qālar-rasūlu yā rabbi inna qawmīttakhazū hāżal-qur’āna mahjūrā
Artinya: “Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang diabaikan (mahjura)’.”
Ayat ini menggetarkan hati. Betapa Rasulullah ﷺ, sosok yang paling mulia, penuh kasih dan cinta terhadap umatnya, harus mengadukan umatnya sendiri kepada Allah ﷻ. Bukan karena beliau dibenci oleh orang kafir, bukan karena disakiti oleh musuh-musuh Islam, bukan karena difitnah oleh kaum Quraisy atau ditolak oleh penguasa zalim—melainkan karena kaumnya sendiri, kaum muslimin, telah mengabaikan Al-Qur’an.
Apa yang Dimaksud “Mahjura”?
Kata mahjura berasal dari akar kata hajara (هجر), yang artinya meninggalkan, menjauhi, mengabaikan. Namun, para ulama menjelaskan bahwa makna mahjura jauh lebih dalam dan menyedihkan daripada sekadar “tidak membaca”.
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan bahwa mahjura berarti: “Tidak mau mendengar Al-Qur’an, tidak mau memahaminya, dan tidak mau mentaati ajarannya.”
Sedangkan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjabarkan beberapa bentuk “mengabaikan” Al-Qur’an, antara lain:
- Tidak tekun mendengarkannya, padahal ayat demi ayat adalah kalam Allah yang suci.
- Tidak memperhatikan halal dan haramnya, walaupun dibaca atau dihafal.
- Tidak menjadikannya sebagai rujukan utama dalam mengambil keputusan atau menetapkan hukum.
- Tidak berusaha memahami makna dan isi kandungannya.
- Tidak menjadikannya sebagai obat hati dan petunjuk dalam kehidupan.
Sementara itu, Ustadz Nouman Ali Khan menegaskan bahwa kata mahjura dapat diartikan sebagai: “Meninggalkan Qur’an sangat jauh di belakang, seolah-olah ia tidak ada dalam hidup.”
Mengapa Rasulullah SAW Mengadu?
Bayangkan, Rasulullah ﷺ yang senantiasa mendoakan umatnya, membela kita bahkan sebelum kita lahir, yang akan memberi syafa’at di hari kiamat, sampai harus mengadukan kita kepada Allah? Itu bukan perkara ringan.
Rasulullah ﷺ tidak mengadukan orang-orang kafir, tidak mengeluhkan Yahudi, Nasrani, atau para penyiksa. Yang beliau adukan justru umatnya sendiri—kita semua yang mengaku sebagai pengikutnya—karena tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara; kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang teguh kepada keduanya: yaitu Kitabullah dan sunnahku.”
(HR. Malik)
Al-Qur’an adalah bagian dari jiwa Rasulullah ﷺ. Sebagaimana dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah:
“Kana khuluquhu al-Qur’an” — “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”
(HR. Muslim)
Antara Fatimah, Hasan, Husein, dan Al-Qur’an
Kita tahu bahwa Fatimah az-Zahra, Hasan, dan Husein adalah darah daging Rasulullah ﷺ. Barangsiapa menyakiti mereka, seolah menyakiti beliau.
Namun Al-Qur’an—lebih dari sekadar darah—adalah bagian dari jiwa Rasulullah ﷺ. Maka siapa saja yang mengabaikan, tidak mendengarkan, apalagi meremehkan isi kandungan Al-Qur’an, sejatinya sedang melukai batin dan jiwa Rasulullah ﷺ.
Sebagaimana tubuh akan sakit jika ditusuk, jiwa Rasulullah ﷺ tersayat saat kita bersikap mahjura terhadap Qur’an.
Al-Qur’an Bukan Pajangan
Sayangnya, banyak dari kita menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai hiasan rumah atau bacaan merdu saat lomba tilawah. Padahal fungsinya bukan hanya dibaca, tetapi:
- Dipelajari dengan tekun.
- Diamalkan dalam kehidupan nyata.
- Dijadikan pedoman hukum dan moral.
- Menjadi cermin sikap, lisan, dan perbuatan kita.
Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Isra’ (17) ayat 9:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke jalan yang paling lurus…”
Namun petunjuk itu takkan sampai bila kita sendiri enggan membuka dan memahami isinya.
Baca juga: Menanamkan Literasi Qurani di Era Digital
Perkara Serius di Hari Pengadilan
Kelak di akhirat, Rasulullah ﷺ akan kembali mengadukan perihal ini. Bukan kepada makhluk, tapi langsung kepada Allah ﷻ. Dan Al-Qur’an sendiri akan menjadi saksi:
- Apakah kita memuliakannya?
- Apakah kita memperlakukannya sebagaimana mestinya?
- Apakah kita mentaatinya atau malah mencuekkannya?
Dan kita semua, satu per satu, akan berdiri sebagai tersangka—terduga pelaku mahjura. Kita harus membuktikan bahwa kita bukanlah orang yang mengabaikan Al-Qur’an.
Jika terbukti kita membaca tapi tidak memahami…
Membaca tapi tidak mengamalkan…
Menghafal tapi tidak menjadikannya sumber hukum dan panduan hidup…
Maka kita akan menjadi bagian dari umat yang diadukan oleh Rasulullah ﷺ sendiri.
Solusi: Kembali pada Al-Qur’an
Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Selama nafas masih ada, masih ada waktu untuk:
- Membaca Al-Qur’an dengan hati yang lapang.
- Belajar tafsir dan makna ayat-ayatnya secara bertahap.
- Menjadikannya pegangan utama dalam hidup.
- Mempraktikkan nilai-nilainya dalam keseharian.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
(HR. Bukhari)
Jangan tunggu waktu lapang, jangan tunggu usia senja. Karena jika Al-Qur’an kita tinggalkan, maka bukan hanya kita kehilangan arah, tapi juga berisiko kehilangan pembelaan Rasulullah ﷺ kelak di hari hisab.
Penutup
Renungan dari ayat ini begitu mendalam. Betapa Rasulullah ﷺ yang penuh cinta sampai harus mengadukan umatnya karena mereka mengabaikan Al-Qur’an. Maka sekarang saatnya kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah aku bagian dari umat yang diadukan, atau bagian dari umat yang berusaha menjadi pembela Al-Qur’an dalam hidup ini?
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
Semoga menjadi bahan renungan bagi kita semua, dan semoga Allah ﷻ jadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai, memuliakan, dan mengamalkan Al-Qur’an sepenuh hati.
Yusuf, (#aghajoseph2017#) merupakan seorang penulis lepas dari Malang Jawa Timur
Baca juga: Wasiat Terakhir Rasulullah di Haji Wada