Kebahagiaan Sejati

Oleh: Ahmad Fakhroni Fillah, Lc.

Tidarislam.co- Setiap orang pasti mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Hanya saja, cara pandang tentang kebahagiaan antara satu orang dengan yang lainnya—apa pun agama dan kepercayaannya—cenderung berbeda. Ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apa yang dapat dinikmati secara materi saja. Ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apa yang dapat dinikmati secara rohani saja. Ada pula yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apa yang dapat dinikmati secara materi dan rohani.

Terlepas dari perbedaan tersebut, kebahagiaan yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapa Dalam ajaran Islam, hidup di dunia adalah ujian. Siapa yang lulus maka akan menuai hasil baiknya. Siapa yang gagal maka akan menuai hasil buruknya. Lantas, siapakah pengujinya? Dialah Allah yang telah menciptakan alam semesta.

Tolok ukur kelulusan dan kegagalan adalah ada dan tiadanya kesesuaian antara amalan makhluk dengan aturan Sang Khalik. Adanya kesesuaian antara amalan makhluk dengan aturan Sang Khalik disebut “ketaatan”. Tiadanya kesesuaian antara amalan makhluk dengan aturan Sang Khalik disebut “kemaksiatan”.

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ. (الملك: 1-2)

“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk [67]: 1-2)

Orang bahagia sejati (sa’îd) adalah orang yang ditakdirkan akan menghuni surga di akhirat. Yaitu orang Muslim yang selama hidup di dunia berusaha menaati aturan Allah dan Rasul-Nya, terlepas dari kondisi hidupnya di dunia apakah lebih banyak bahagia atau sengsara, karena hidup di dunia adalah ujian.

Seorang non-Muslim yang berbuat baik, meskipun sesuai dengan ajaran Islam—dalam perspektif Islam—tidaklah bernilai pahala. Sebab, status kenonmuslimannya tidak dapat memosisikan dirinya seperti seorang Muslim yang berbuat baik/taat dengan didasari keimanan (baca: akidah Islam). Oleh sebab itu, kebaikan apa pun yang diperbuat oleh seorang non-Muslim adalah bernilai pahala menurut perspektif agamanya, termasuk surga yang dijanjikan kepadanya adalah versi agamanya. Dengan demikian, tidaklah benar statemen yang menyatakan bahwa semua orang baik akan masuk surga yang sama.

Adapun seorang Muslim yang berbuat baik tanpa didasari keikhlasan, entah sadar ataupun tidak, adalah sia-sia; tidak bernilai pahala. Sebab, syarat diterimanya suatu amal kebaikan—termasuk ibadah—adalah harus benar sesuai ajaran-Nya dan ikhlas demi mengharap ridha-Nya.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا. (الكهف: 110)

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahf [18]: 110)

عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكانَ خَيْرًا له.

“Alangkah menakjubkan kondisi seorang Mukmin. Sungguh, semua kondisinya adalah baik. Hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali seorang Mukmin. Jika ditimpa kesenangan maka dia pun bersyukur, dan hal itu baik baginya. Jika ditimpa kesusahan maka dia pun bersabar, dan hal itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Alhasil, Islam ibarat kunci yang akan menghantarkan pemeluknya ke pintu surga-Nya (baca: kebahagiaan abadi). Senang dan susah di dunia merupakan ujian hidup yang harus disikapi dengan cara yang benar/bijak agar bernilai pahala. Wallahu a’lam.

Fakhron Fillah (Bekasi, 6 Januari 2024)

Baca juga: Jangan Mengingkari Tiga Nikmai Ini