Search

Kaligrafi dan Seni Islam sebagai Harmoni Agama dan Budaya

Ilustrasi: gambar Blue Quran, salah satu manuskrip al-Quran tertua dan paling berharga yang tersimpan di Museum Nasional Zayed, Uni Emirat Arab. Sumber: nationalgeographic.grid.id

Tidarislam.co – Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan besar “The 4th International Holy Quran Competition in Indonesia” yang digelar Kementerian Agama dari tanggal 28 Januari – 2 Februari 2025, diselenggarakan seminar internasional tentang seni Islam yang bertajuk Kaligrafi dan Seni Islam: Harmoni Agama dan Budaya (30 Januari 2025). Seminar ini menghadirkan para tokoh dari kalangan akademisi maupun praktisi seni di bidang kaligrafi, atau seni penulisan indah huruf Arab. Seminar ini mengeksplorasi pemikiran besar bahwa kaligrafi Arab atau khot merupakan bagian dari khasanah Islam yang sangat penting perannya, terutama dalam konteks memahami hubungan Islam dan kebudayaan.

Seorang cendekiawan Muslim dari Palestina, Ismail Raji Al-Faruqi menyampaikan bahwa seni kaligrafi adalah bagian dari seni Islam, bahkan ia adalah seninya seni Islam. Karena kaligrafi mengekspresikan perwujudan dari nilai-nilai ideal Islam, seperti estetika dan keindahan, yang terajut menjadi satu.

Tokoh yang lain, seorang maestro Yaqut al-Musta’shimi (Jamaluddin Yaqut bin Abdillah al-Musta’shimi), kaligrafer besar pada masa khalifah al-Musta’shim Billah masa Bani Abbasiah yang dikenal sebagai kiblatnya para kaligrafer di dunia, juga menyatakan bahwa kaligrafi Arab adalah seperti arsitektur spiritual yang diekspresikan dengan alat-alat material. Menurutnya, kaligrafi akan mendorong orang untuk berakhlak lebih mulia.

Sebagai seni, kaligrafi merupakan seni menulis indah yang adiluhung, artinya seni yang luhur, tinggi derajatnya, yang telah dikembangkan oleh para seniman Islam selama perjalan sejarah dan peradaban Islam. Ia menjadi alat untuk menuliskan teks al-Quran, pesan sunnah Nabi, nama-nama Islami, dan berbagai literatur keislaman lainnya. Bahkan juga kalimat-kalimat bijak Islami dari para penyair-penyair Muslim juga diekspresikan dan dituliskan secara indah melalui berbagai bentuk kaligrafi. 

Dalam perkembangannya, seni kaligrafi mampu menunjukkan keterbukaan dan kelenturan Islam ketika beradaptasi dengan budaya-budaya lokal. Di Iran, misalnya, banyak kaligrafi-kaligrafi yang telah beradaptasi dengan identitas budaya lokal, seperti kaligrafi Syikasteh di Iran, kaligrafi Kufi di Iraq, dan khot-khot yang beragam jenisnya di berbagai negara dan wilayah yang sekaligus menunjukkan karakter budaya setempat. Sekarang, bahkan kaligrafi telah beradaptasi dengan perkembangan teknologi, dengan Artificial Intelegence, sehingga membuat berbagai kemajuan dalam kaligrafi Islam.

Khot Kufi dari Kufah (Iraq), salah satu khot tertua dalam penulisan teks al-Quran yang termasuk dalam al-Khuttuth al-Sittah, selain Tsuluts, Naskhi, Riqa, Muhaqqaq, Tauqi). Sumber: hamidionline.net

Didin Sirajuddin, pengasuh Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka) di Sukabumi, dalam kesempatan ini menyampaikan pandangannya tentang kaligrafi Arab di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia, telah terjadi revolusi di bidang kaligrafi yang telah mengangkat derajat kaligrafi sebagai seni Islam ke taraf yang luar biasa. Di berbagai tempat, kaligrafi menghiasi ruang-ruang publik. Semakin banyak sanggar-sanggar yang menjadi pusat pengembangan kaligrafi di Indonesia. Berbagai pesantren juga menjadikan kaligrafi sebagai kurikulum utama.

Kaligrafi telah menjadi media seni yang bernilai tinggi dalam memuliakan kitab suci al-Quran. Al-Quran disebut sebagai inspirasi utama dalam seni kaligrafi. Begitu pula, perlombaan dan kajian kaligrafi semakin banyak diperlombakan di Indonesia, termasuk di dalam momentum lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di berbagai jenjang. Dengan gerakan dan revolusi itu, tidak sedikit para khottot atau pelukis kaligrafi di Indonesia yang menyabet juara dalam perlombaan-perlombaan kaligrafi di level Internasional, seperti yang digelar di Turki, Iraq, Brunei Darussalam, Sabah Malaysia, Uni Emirat Arab, dan lain sebagainya.

Teymouri dari Iran, salah satu maestro kaligrafi Arab dari Iran yang sudah puluhan tahun berkarya dalam kaligrafi yang berbalut kultur budaya Persia, menjelaskan pentingnya kaligrafi dalam budaya Islam, sembari mengutip beberapa ajaran Islam yang menekankan anjuran untuk menulis al-Quran dengan indah. Ada juga pepatah yang konon berasal dari Asia Tenggara, bahwa barang siapa menulis kaligrafi yang indah, itu mencerminkan kemuliaan akhlak dan kemuliaan yang ada di dalam jiwa orang tersebut.

Menurutnya, betapa al-Quran telah mempertemukan umat Islam dari berbagai latar budaya dalam satu ruang seni kaligrafi yang indah. Kaligrafi mampu menyatukan hati banyak kalangan umat Islam di seluruh dunia. Kaligrafi telah memungkinkan umat Islam dari berbagai budaya saling berinteraksi satu sama lain, saling mengenal budayanya satu sama lain.

Kaligrafi, dengan demikian, menjadi titik temu berbagai perbedaan dan keragaman. Seorang sufi pernah menyampaikan, bahwa keragaman dalam persatuan, dan persatuan dalam keragaman, adalah kenikmatan kodrati yang besar dari Tuhan. Kaligrafi juga mampu mengumpulkan berbagai kelompok Muslim yang berasal dari latar budaya yang berbeda dalam satu ruang perjumpaan seni, dan saling mengenal perbedaan satu sama lain.

Sementara itu, di Iran sendiri, hari ini telah berkembang berbagai bentuk kaligrafi kontemporer, dan menghasilkan tokoh-tokoh seni kaligrafi kontemporer. Kaligrafi di Iran berkembang sangat dinamis, seperti gelombang yang selalu memunculkan ide-ide baru dalam kaligrafi, karena para kaligrafer-kaligrafer itu begitu memiliki semangat yang kuat dalam mengembangkan dunia kaligrafi, sebagai bentuk ekspresi mereka dalam mencintai al-Quran. Mereka meyakini, bahwa peran penulis-penulis al-Quran merupakan salah satu peran sejarah yang tak terlupakan dalam sejarah perkembangan Islam sampai hari ini.

Makmur Harun, seorang akademisi yang memiliki konsentrasi tentang seni, juga menjelaskan pengalaman dan dinamika seni kaligrafi di Malaysia dalam kultur Melayu di Malaysia dalam tulisan-tulisan Arab Jawi -istilah masyarakat Melayu untuk menyebut tulisan Arab Melayu. Menurutnya, di Malaysia, peluang kaligrafi di Malaysia tampak dalam dunia pendidikan, karena penulisan Arab Jawi telah menjadi kurikulum berbagai sekolah di negeri-negeri Malaysia.

Pendidikan di Malaysia masih membutuhkan guru-guru yang mengajarkan penulisan Arab Jawi ini. Oleh karena itu, di berbagai kampus, dibuka sekolah-sekolah yang fokus pada pendidikan yang mengeluarkan tenaga guru-guru professional, termasuk guru-guru yang mengajarkan seni kaligrafi Islam atau khot di Malaysia. Pengajaran penulisan Arab Jawi ini juga telah dibuka di program khusus di berbagai fakultas bahasa di berbagai universitas, yang mengajarkan seni kaligrafi untuk mendukung lahirnya pengajar-pengajar kaligrafi yang lebih profesional di Malaysia.

Menurutnya, di Malaysia, kaligrafi telah membudaya, karena di setiap jalan, di beberapa negeri bagian Malaysia, telah mewajibkan papan-papan jalan harus ditulis dalam bahasa Arab Jawi di atas dan tulisan Latin di bawahnya. Dalam mata uang, juga telah menggunakan tulisan Arab Jawi. Dalam penyiaran publik, juga telah melibatkan tulisan-tulisan seni kaligrafi Arab Jawi. Terutama di masjid-masjid, baik masjid besar maupun masjid kecil, telah dihiasi dengan tulisan Arab Jawi. Penulisan Arab dan Latin itu merupakan instruksi langsung dari Gubernur atau Sultan untuk menunjukkan keindahan dan menegaskan identitas Islam. Beberapa negeri bagian juga menginstruksikan pengumuman-pengumuman publik, harus dituliskan dalam tulisan Latin dan tulisan Arab Jawi.

Ada juga gerakan pembudayaan tulisan Arab Jawi agar masyarakat di kampung-kampung mampu membaca tulisan-tulisan Arab klasik. Sebagai contoh, agar melekat dalam benak masyarakat, pembacaan teks manuskrip semacam ini disampaikan melalui pengajian-pengajian dan pengajaran-pengajaran di desa-desa. Berbagai logo-logo yang dipakai dalam toko-toko, tulisan-tulisan halal dituliskan dengan bahasa Arab Jawi. Meskipun demikian, masih terdapat perbedaan pendapat, misalnya, penulisan Arab Jawi dalam batik, karena ada yang menganggap bahwa penulisan Arab Jawi dalam batik pakaian tidak pada tempatnya. Namun secara umum, semakin banyak warga di Malaysia yang antusias menjadi penulis Arab Jawi, yang berasal dari berbagai kalangan, baik kalangan masyarakat umum, hingga para akademisi di universitas.

Sedangkan Oman Fathrurrahman, seorang filolog dan pengasuh pesantren al-Hamidiyah, mengulas dinamika kaligrafi dalam dunia manuskrip Islam, sehingga mencerminkan perjumpaan kaligrafi dengan dunia filologi yang sekarang ini sedang berkembang dalam dunia akademis di Indonesia. Menurutnya, kaligrafi pada dasarnya ilmu untuk menuliskan teks Al-Quran atau teks keagamaan dengan indah, sementara filologi merupakan ilmu yang digunakan untuk mengkaji tulisan yang dihasilkan oleh penulis-penulis kaligrafi. Filologi merupakan kajian akademik untuk menganalisis teks-teks dan goresan-goresan kata dalam manuskrip Arab yang lahir dari balutan berbagai budaya seperti Jawa, Melayu, Persia, dan lain-lain. Dengan begitu, menurutnya, hubungan filologi dan kaligrafi sangatlah dekat.

Meskipun demikian, masih banyak tantangan bagi para penulis teks kaligrafi Arab, agar para penulis kaligrafi tidak hanya pandai dalam menggores, tetapi juga dilambari dengan pemikiran mendalam dan pemahaman kebudayaan di balik penulisan teks Arab itu. Dengan memadukan keilmuan itu, kita akan  mampu menyingkap sejarah manuskrip dan kaligrafi di Indonesia lebih mendalam lagi. Kita masih membutuhkan analisis lebih mendalam untuk menjawab, misalnya, tentang kapan sesungguhnya manuskrip-manuskrip Islam dituliskan dalam bahasa Arab-Jawi di Nusantara dengan berbagai bentuknya. Selain itu, kita masih perlu menyingkap sejarah penulisan manuskrip Arab-Jawi di Indonesia dalam berbagai model kaligrafi ala Timur Tengah. Hingga hari ini, kaligrafi kontemporer telah menjadi berbagai macam bentuk dan model.

Secara keseluruhan, uraian para ahli dan praktisi tersebut menunjukkan betapa kaligrafi telah menjadi titik pertemuan yang sangat intim antara ekspresi keagamaan dan seni kebudayaan lokal. Keduanya telah menyatu sedemikian rupa yang tercermin dalam berbagai bentuk kaligrafi yang lahir dari kultur-kultur masyarakat. Kaligrafi sebagai seni Islam yang mendalam tidak hanya berbicara tentang teks keagamaan, tetapi juga berkelindan sedemikian rupa dengan aneka kultur kebudayaan. Ini sekaligus menunjukkan betapa pentingnya “seni” dalam memahami Islam dari sisi keindahannya yang universal.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti Agama dan Tradisi Keagamaan BRIN.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top