Jejak Islam di Bumi Mandar (4): “Masjid Imam Lapeo” di Mamuju

Tidarislam.co- Mamuju merupakan ibu kota Sulawesi Barat sekarang ini. Kota ini terletak sangat strategis karena berada pada titik pertemuan antara budaya di Makassar Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Palu. Tak heran jika kota Mamuju sekarang ini menjadi sangat multikultur. Di tengah kota Mamuju yang multikultur itu tersimpan saksi sejarah proses Islamisasi di Mamuju pada abad-19.

Mamuju menjadi salah satu pintu gerbang Islamisasi di Sulawesi Barat, terlihat dengan keberadaan masjid tua bersejarah yang menjadi saksi masuknya Islam ke wilayah Mamuju. Salah satunya adalah Masjid Jami’ Nurul Muttahidah sebagai masjid paling tua di kota Mamuju. Masjid ini terletak di seberang Pantai Manakara yang indah, di seberang jalan utama Yos Sudarso, kelurahan Binanga, Kecamatan Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.

Masjid ini adalah masjid pertama di Mamuju yang didirikan oleh KH. Muhammad Thahir dari Pambusuang Polewali Mandar. Dialah yang menyebarkan Islam pertama kali di masyarakat Mamuju dengan mendirikan masjid-masjid sebagai pusat dakwahnya. Memang salah satu ciri khas dakwah KH. Muhammad Thahir (1838-1952) atau yang dikenal pula dengan panggilan Imam Lapeo adalah dengan mendirikan masjid.

Baca juga: Masjid dan Imam di Indonesia (1)

Keberadaan masjid bersejarah ini menjadi bukti perjalanan pengaruh Islam yang masuk ke berbagai wilayah Sulawesi Barat. Menurut Nani Somba et.al. (2020) dalam penelitiannya tentang jejak periode Islam di pesisir Barat Mamuju menuliskan:

“jejak budaya Islam menggambarkan keterkaitan kesatuan budaya dunia Mandar yang terefleksikan melalui bentuk makam, nisan, dan masjid tua yang ada di Mamuju. Jejak budaya Islam berupa masjid tua memberi informasi tentang toponimi-toponimi tua serta proses penyebaran Islam di Mamuju yang masih terus berlangsung hingga abad ke-19/20”.

Menurut beberapa sumber informasi, perjalanan dakwah Imam Lapeo di Sulawesi Barat melintasi Polewali Mandar ke Mamuju. Imam Lapeo sering datang ke Mamuju, untuk berziarah, bertemu sahabat, berjumpa dengan masyarakat, mendakwahkan Islam, dan mengajarkan tentang ilmu fikih, tauhid, dan tasawuf.

Menurut informasi masyarakat sekitar, Imam Lapeo lah yang menunjuk lokasi dibangunnya masjid Nurul Muttahidah, yakni di pinggir pantai. Imam Lapeo didampingi beberapa tokoh, di antaranya yang tercatat Haji Abdullah. Konon, setelah berembug dengan warga, Imam Lapeo berdiri ke arah kiblat, kemudian memutuskan lokasi tersebut untuk didirikan mushalla. Dia yang menunjukkan arah kiblat mushalla tersebut.

Bangunan ini saat pertama kali didirikan masih dalam bentuk mushalla kecil yang dibangun dengan bahan kayu seadanya. Dinding-dindingnya masih dibuat dengan kayu yang ditebang dari lokasi setempat, dan atapnya masih menggunakan atap rumbia. Di lokasi tersebut terdapat pohon besar yang kemudian ditebang untuk dijadikan empat tiang dan papan kayu. Luas mushalla kira-kira 10×10 meter saja. Mushalla ini menjadi pusat kegiatan masyarakat di sekitar Kayulangka, Binanga, dan Kasiwa kala itu.

Mushalla kemudian digunakan untuk ibadah oleh warga. Saat pertama kali dibangun, bangunan ini persis berada di pinggir pantai. Sehingga, deburan ombak masih sangat terasa, dan ombak seringkali mengenai bangunan tersebut karena belum ada tanggul. Kini, bangunan ini dipisahkan oleh Jalan Utama Yos Sudarso sehingga membatasi area masjid dan area pantai.

Ketika Imam Lapeo berkunjung kembali setelah beberapa tahun mushalla difungsikan, barulah ia menginisiasi untuk mengubah mushalla itu menjadi masjid yang permanen. Perlahan-lahan, bangunan masjid dimulai. Masyarakat meyakini Nurul Muttahidah mulai dibangun menjadi masjid tahun 1928. Namun Islamisasi di Mamuju oleh Imam Lapeo kiranya sudah berlangsung sebelum itu.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Mandar (1)

Sampai hari ini, masjid tersebut telah mengalami beberapa fase revonasi dan pengembangan, dan sempat mengalami perubahan arsitektural, sehingga menjadi masjid modern yang megah seperti sekarang ini. Kini bangunan masjid sudah menjadi lebih mewah. Masjid Nurul Muttahidah terdiri dari dua lantai, dengan warna gradasi coklat tua dan muda. Menaranya juga tinggi menjulang di depan masjid.

Di masjid itulah menjadi pusat dakwah Imam Lapeo. Masjid Nurul Muttahidah bukan satu-satunya masjid yang dibangun Imam Lapeo selama dakwahnya di Mamuju. Ada beberapa masjid yang telah dibangunnya, termasuk di Budong-Budong Babana dan Galung Tapalang. Tetapi Masjid Nurul Muttahidah menjadi masjid pembuka pertama kali dalam dakwah Imam Lapeo di Mamuju.

Masjid Nurul Muttahidah berkembang seiring dengan dinamika Islam di Mamuju pasca Imam Lapeo. Salah satunya, masjid ini merekam sejarah pengaruh DI/TII yang berpusat di Makassar yang dipimpin Kahar Muzakkar. Sekitar tahun 1950 an, kelompok Darul lslam melakukan penyerbuan ke kampung Kayulangka. Terjadi banyak pengrusakan dan pembakaran terhadap rumah-rumah warga. Tetapi beruntung, masjid Nurul Muttahidah selamat dari aksi militer tersebut.

Ini menunjukkan bahwa salah satu metode masuknya Islam ke tanah Mandar Sulawesi Barat oleh para penyebar Islam, di antaranya di wilayah Mamuju, adalah dengan pendirian masjid untuk dijadikan sebagai pusat ibadah sekaligus pusat dakwah. Boleh jadi ini adalah ciri khas dakwah Imam Lapeo. Konon ia telah mendirikan 17 masjid di Sulawesi Barat. Dengan membangun masjid untuk dijadikan sebagai pusat dakwah dan pengajaran, Islam semakin tersebar pesat di masyarakat dan berkembang pesat sampai sekarang. Mamuju menjadi salah satu pusat syiar Islam di Sulawesi Barat.

Sebenarnya, setelah Masjid Nurul Muttahidah sebagai yang tertua, terdapat pula beberapa masjid tua yang menjadi saksi pengaruh Imam Lapeo berikutnya dalam Islamisasi di Mamuju, seperti Masjid Al Quba di Mamuju, Masjid Jabal Nur di Timbu, Masjid Jami di Ampallas, dan Masjid Tua Baiturrahman di Desa Tumbu, Kecamatan Topoyyo, Kabupaten Mamuju Tengah. Masjid-masjid tersebut memiliki hubungan K.H. Muhammad Tahir atau Imam Lapeo. Dalam penuturan masyarakat, masjid-masjid ini sering disebut dengan “Masjid Imam Lapeo” karena diyakini dibangun pada masa Imam Lapeo (Nani Somba, et.al.)

Masyarakat setempat memandang masjid Nurul Muttahidah sebagai saksi sentuhan tangan langsung Imam Lapeo, ulama yang sangat dihormati di Sulawesi Barat, dan sebagai amanat dakwah dari Imam Lapeo yang harus terus dilanjutkan. Kini Masjid Jami’ Nurul Muttahidah bukan saja menjadi tempat ibadah dan pusat pembelajaran Islam, tetapi juga menjadi destinasi Wisata Religi yang ingin mengetahui jejak sejarah Islam di Mamuju Sulawesi Barat. Wallahua’lam.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi.

Baca juga: Masjid Raya Sabilal Muhtadin: Saksi Keulamaan Syekh Arsyad al-Banjari

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *