Jejak Islam di Bumi Mandar (2): Syekh Bil Ma’ruf

Gambar: Raja Binuang Mandar Sulawesi Barat saat prosesi pengukuhan tahun 2022.

Tidarislam.co- Pulau Salama (Mandar: Pulo To Salam) atau Pulau Tangnga di Polewali Mandar menjadi saksi jejak Islamisasi di Sulawesi Barat. Pulau terpencil di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat ini sering dijadikan destinasi wisata religi, yakni tempat berziarah. Disanalah dimakamkan seorang ulama abad ke-16 bernama Syekh Bil Ma’ruf, yang dikenal sebagai penyebar Islam pertama ke tanah Mandar. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai “Tosalama”.

Profil

Syekh Bil Ma’ruf adalah seorang keturunan Arab yang berasal dari Kerajaan Gowa. Beliau juga dikenal sebagai ahli tasawuf, yang berarti ia memiliki pengetahuan dan praktik dalam bidang spiritualitas Islam. Ia menimba ilmu tasawuf sampai ke Makkah. Sekembalinya dari Makkah, ia kemudian aktif menyebarkan Islam di Nusantara. Ia kemudian menjadi utusan kerajaan Gowa untuk menyebarkan Islam di wilayah Sulawesi Barat.

Dalam beberapa sumber yang lain, Syekh Bil Ma’ruf disebutkan sebagai guru dari Syekh Abdurrahim Kamaluddin, yang juga merupakan tokoh penyebar Islam di Mandar. Namun masyarakat setempat meyakini bahwa dua nama itu sesungguhnya keduanya mengacu pada sosok orang yang sama.

Syekh Bil Ma’ruf memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah penyebaran Islam di Sulawesi, sebab dialah yang diyakini sebagai pembawa cahaya Islam pertama kali di tanah Mandar Sulawesi Barat. Ia berhasil menancapkan pengaruh Islam di Kerajaan Binuang dan Balanipa. Melalui kedua kekuasaan kerajaan inilah pintu utama masuknya Islam ke tanah Mandar. Dengan pendekatan politik dan kekeluargaan, Islam mulai dikenal dan perlahan menyebar kepada masyarakat luas.

Kerajaan Binuang

Kerajaan Binuang merupakan salah satu kerajaan terbesar di tanah suku Mandar dari Pitu Babana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Syekh Bil Ma’ruf berhasil menikahi salah satu keturunan raja bernama We Tanri Pada, yang merupakan putri kedua Raja Binuang Sippajollangi. Dengan perkawinan ini terjalin hubungan erat dengan penguasa adat dan menjadi pintu menyebarkan agama Islam di Binuang.

Menurut Sofyan (2016) dalam penelitian tentang jejak Islamisasi di Binuang menyebut bahwa sebelum datang Islam, kerajaan dan masyarakat Binuang memiliki keyakinan animisme dan dinamisme, yang disebut Mappurondo. Kepercayaan tradisional ini memiliki keyakinan yang pada dasarnya monoteistik yang disebut Dewata Mattampa dan memiliki ajaran etis yang sesungguhnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Dengan begitu, mempermudah Islam diterima oleh masyarakat. Syekh Bil Ma’ruf kemudian memperkenalkan Islam dengan jalan perundingan damai melalui jalan adat Mappasikala’bi.

Setelah memperkenalkan Islam, Syekh Bil Ma’ruf juga dipercaya memimpin pembangunan masjid pertama di Kerajaan Binuang, Masjid Agung Binuang yang menandai awal dari pendirian Islam di wilayah tersebut. Selain membangun Masjid sebagai pusat ibadah, Syekh Bil Ma’ruf mengupayakan pemeluk Islam untuk menimba ilmu ke luar daerah.

Kerajaan Binuang masik eksis hingga hari ini di Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar. Ia menjadi saksi keberhasilan Islamisasi Mandar dan menjadi salah satu penyangga budaya Islam Mandar di Sulawesi Barat.

Kerajaan Balanipa

Selain di Binuang, Syekh Bil Ma’ruf juga berperan dalam penyebaran Islam di Kerajaan Balanipa, yang merupakan salah satu kerajaan terbesar dan tertua di Sulawesi Barat. Ia berhasil mengislamkan raja keempat Kerajaan Balanipa, yaitu Kakana I Pattang. Dengan pengaruh politiknya, agama Islam menjadi lebih mudah diterima masyarakat Mandar.

Dalam lontar Paddioloang, yang sering dijadikan referensi tentang masuknya Islam di Mandar, disebutkan tentang masuknya Islam di Balanipa (hal. 123), dimana disebutkan disana dalam bahasa Mandar:

Pannassai toi iyamo diae uppannassai pau-paunna todilota, disangka kanna I Pattang, appona Tidilaling. Anan’na Tadijal-loh. Apa matei amanna, maraqdiamidi Balanipa Anna polemo Tosalamoq di Benuanh todilaiq diitaq Makka. Takaqbong Nala lopi, teqeng bassi Nala takong. Iyamo mappasallang Idaeng Mapattang, salami maraqdia siola to Balanipa ingganna Banua kayyang; Napo, Samasundu, Mosso, Toda-Todang. Massahadaq, mappuasa, massakkaqi, mappittara, massambayang, manjuqnuq, massatinju, napakeqdeq ajumaq di Balanipa I Puang di Benuang. Anna mebainemo maraqdia Balanipa daiq di Tun-nunnuang, di appo najalu maraqdia di Tanmemba, maraqdia di Baroqboq nalikkai. Iyamo mappauruq-urang nande saraq maraqdia di Balanipa

Artinya: “Demikian fakta sejarah yang telah dikemukakan oleh pendahulu bernama Kanna I Pattang, cucu Todilaling, putra Todijallo. Setelah ayahnya mangkat, digantikan oleh Kanna I Pattang. Berselang tiga memimpin tampuk Kerajaan Balanipa, ulama yang bergelar Tosalama di Binuang berkunjung ke Balanipa setelah pulang dari Makkah. Mayang kelapa yang dijadikan kendaraan (perahu) dengan dayung yang terbuat dari besi. Dialah penganjur Islam di Balanipa dan mengislamkan Idaeng Mapattang, dan diikuti seluruh rakyatnya, warga Balanipa yang tersebar di beberapa wilayah meliputi; Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-Todang. Mereka telah mengaplikasikan rukun Islam yang terdiri atas: syahadat, puasa, zakat, sholat, junub, istinja, mendirikan shalat Jumat di Balanipa Tuan di Binuang. Ketika itu sang Raja menikah di Tinunnungang, menikah cucu raja Tammemba dan Baroqboq. Dialah sang Raja yang menikah dengan menggunakan aturan syariat, mad kawinnya empat puluh empat

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa raja Balanipa, Kanna I Pattang menerima Islam setelah bertemu Syekh Bil Ma’ruf. Setelah menganut agama Islam, Kerajaan Balanipa menjadikan agama Islam sebagai acuan dalam mengatur kehidupan warga, antara lain dalam praktik peribadatan hingga soal pernikahan.

Dalam penelitiannya tentang Islamisasi di Mandar, Muladi (2013) menyebutkan bahwa kerajaan Balanipa, khususnya ketika masa kekuasaan Kanna I Pattang, memiliki peran besar dalam mempercepat penyebaran Islam di Mandar, baik melalui kekuasaan politik sebagai negara Islam maupun pendidikan. Raja membentuk lembaga pendidikan khusus untuk pengajaran Islam semacam pesantren, yang disebut Mukim, sehingga menjadi fondasi penting dalam pengembangan literasi Islam masa-masa awal.

Kerajaan persekutuan terbesar di Mandar yang telah berdiri sejak 1500-an ini masih eksis sampai sekarang, menjadi saksi keberhasilan Islamisasi di Mandar oleh para ulama dan penguasa.

Makam

Sejauh ini belum ditemukan karya tulis khusus yang menunjukkan karya tertulis dari Syekh Bil Ma’ruf. Tetapi jejak dan pengaruh keilmuannya sangat terasa bagi masyarakat Mandar. Masyarakat Binuang mengenalnya sebagai sosok ulama sufi yang memiliki karomah. Berdasarkan tutur lisan masyarakat, salah satu karomahnya adalah menunjukkan “wujud Ka’bah” melalui lubang dinding Masjid ketika timbul konflik tentang kepastian arah kiblat.

Tidak ada keterangan pasti tahun berapa beliau meninggal. Tapi Syekh Bil Ma’ruf dimakamkan di Pulau Tangnga, yang kini menjadi wilayah administratif Kecamatan Binuang. Sebagaimana umumnya ulama-ulama penting di tanah Jawa masa dahulu yang makamnya berada di tempat tinggi, makam Syekh Bil Ma’ruf juga terletak di atas bukit. Makam ini ramai diziarahi peziarah baik lokal maupun dari mancanegara. Mengapa ia dimakamkan di tempat terpencil daripada di dekat pusat kekuasaaan juga mengundang pertanyaan.

Untuk menghargai peran dan jasanya, masyarakat kemudian menyematkan nama Tosalama untuk menamai pulau terpencil tersebut. Wallahu a’lam.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Mandar (1)

Tidarislam.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *