Jejak Islam di Bumi Mandar (1): Mata Air Islamisasi

Gambar: Tradisi Sayyang Pattudu atau Kuda Menari di Polewali Mandar untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dan khataman al-Quran. 

Tidarislam.co- Islam konon sudah masuk di masyarakat suku Mandar sejak abad ke-16 M. Ada beberapa teori yang menjelaskan perjalanan Islam hingga akhirnya tersebar sampai ke bumi Mandar. Islam masuk ke Sulawesi setelah terjadi Islamisasi di Jawa pada masa kerajaan Demak seiring pudarnya pengaruh Hindu selama ratusan tahun di masa kerajaan Majapahit.

Islamisasi yang terjadi laksana sumber-sumber mata air yang mengalir dari Barat ke arah Timur di satu muara yang sama, Sulawesi. Satu teori mengatakan bahwa setelah tersebar di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, pengaruh Islam kemudian tersebar hingga ke dataran Sulawesi. Islam dibawa melalui pengaruh dakwah dan politik di daratan oleh para ulama dari Jawa dan Melayu, termasuk Aceh dan Minangkabau.

Sedangkan teori lain mengatakan bahwa Islam masuk bersama aktivitas perdagangan dan dakwah para pedagang yang berlayar melalui jalur laut di wilayah pesisir. Mereka berasal dari luar negeri seperti Timur Tengah, Cina, India, dan Malaka.

Pengaruh Islamisasi Sulawesi Barat terbesar di antaranya berasal dari tanah Jawa, dengan keyakinan bahwa beberapa tokoh penyebar Islam memiliki jaringan keulamaan dengan leluhur dan pengikut Walisongo, penyebar utama Islam di Tanah Jawa.

Beberapa penelitian mutakhir juga semakin menegaskan kuatnya jaringan keulamaan Jawa-Sulawesi (Bugis dan Mandar). Seperti, contohnya, penelitian Masterpiece Islam Nusantara: Sanad & Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) karya Zainul Milal Bizawie yang menegaskan bahwa ulama-ulama Mandar memiliki hubungan kuat dengan ulama-ulama Jawa.

Ada beberapa kesamaan secara umum dari teori islamisasi Mandar dengan islamisasi di Jawa pada umumnya, yakni bahwa Islam masuk melalui ulama dan pedagang dengan cara-cara damai, bukan melalui peperangan. Dimulai dari islamisasi politik terhadap elit penguasa kerajaan yang sebelumnya dipengaruhi agama Hindu dan animisme, dan kemudian menancapkan pengaruh Islam di tengah masyarakat Mandar. Dan yang tak kalah penting, Islam datang tidak menghancurkan kebudayaan setempat.

Baca juga: Walisongo: Proses Islamisasi Melalui Seni dan Budaya di Nusantara

Pengaruh Islam masuk ke Sulawesi Barat, antara lain, melalui kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Polewali Mandar, khususnya Kerajaan Pamboang dan Balanipa. Mereka kemudian mengonversi agama Islam menjadi agama resmi negara atau kerajaan, sehingga pengaruh politik dan hukum Islam membuka pintu bagi penyebaran Islam ke wilayah teritorial masing-masing.

Selain melalui pendekatan legal dan politik, mistisisme Islam atau tarekat juga sangat berpengaruh terhadap proses Islamisasi di bumi Mandar. Islam kemudian menyebar di kalangan masyarakat bawah, berjumpa dengan segala lapisan masyarakat Mandar yang penuh dengan kebudayaan, kearifan lokal, dan mistisisme.

Beberapa tokoh tercatat termasuk penyebar Islam generasi pertama di tanah Mandar pada masa-masa awal, di antaranya: Syekh Abdul Karim Kamaluddin dan Syekh Bil Ma’ruf (Syekh Abdul Rahim Kamaluddin), tokoh sufi keturunan Arab yang berperan dalam Islamisasi kerajaan Binuang dan Balanipa. Mereka mampu membuat raja Balanipa, Kakana I Pattang, menerima Islam sehingga diikuti generasi penerus dan seluruh rakyatnya.

Baca juga: Syekh Bil Ma’ruf

Ada tokoh-tokoh lain seperti Syekh Yusuf al-Makassari dan Syekh Abdul Wahid, para ulama dari Bugis yang berpengaruh di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Sementara itu, Syekh Abdul Mannan adalah tokoh terkenal yang keturunan dari Persia. Ia menyebarkan Islam di sekitar Majene melalui Kerajaan Banggae. Di tangan Syekh Abdul Mannan, Islam berhasil masuk ke Kerajaan Banggae dan persekutuannya setelah raja Banggae, I Moro Daeng ta Masigi, masuk Islam. 

Gambar: Ustadz Abdul Somad pengajian di Masjid Nurut Taubah Imam Lapeo.

Selain itu, terdapat Sayyid Zakariya yang berasal dari Maroko dan mengislamkan Mamuju. Ia datang bersama Kapuan Jawa, seorang ulama bangsawan Jawa bernama asli Raden Mas Suryo Adilogo yang juga berjasa menancapkan pengaruh Islam di Mandar. Keduanya merupakan murid Sunan Bonang di Jawa, yang merupakan anggota kesatuan Walisongo. Mereka menghubungkan jaringan keulamaan Mandar-Jawa.

Adapun jaringan keulamaan Sumatra-Mandar dapat kita sebut nama tokoh Datuk ri Bandang. Ia berasal dari Minangkabau yang menyebarkan Islam di Gowa bersama saudaranya Datuk ri Tiro dan Datuk Patimang. Ketiganya memiliki keahlian yang berbeda satu sama lain. Datuk ri Bandang ahli dalam fikih. Datuk ri Tiro ahli dalam tasawuf. Sementara Datuk Patimang ahli dalam bidang tauhid. Mereka menancapkan pengaruh Islam ke Sulawesi Selatan melalui Kerajaan Gowa dan Luwu.

Baca juga: Filosofi “Islam Berkebudayaan” Masyarakat Minangkabau

Beberapa penyebar Islam generasi berikutnya yang populer juga di kalangan masyarakat Mandar adalah KH Muhammad Thahir atau dikenal sebagai Imam Lapeo dari Campalagian. Imam Lapeo juga dikenal sebagai pembaharu Islam di Mandar.

Para ulama tersebut dapat dikatakan generasi awal penyebar Islam dari abad 16-18, yang memiliki jaringan keulamaan yang kuat sampai Jawa, Sumatra, hingga ke Timur Tengah. Selain figur utama tersebut, tentu masih banyak ulama-ulama lain yang berkontribusi besar bagi Islamisasi di Mandar.

Salah satu faktor keberhasilan penyebaran Islam di Mandar adalah karena faktor politik, artinya penerimaan terhadap Islam mendapat dukungan yang kuat dari penguasa setempat. Beberapa raja bahkan juga kemudian menjadi penyebar Islam, seperti Tuan di Binuang.

Selain melalui pendekatan politik, juga faktor kultural seperti pendidikan pesantren. Para penyebar Islam itu adalah para ahli ilmu, sehingga mereka mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan dakwah dan keilmuan, yang dalam bahasa lokal disebut Mukim Patappulo. Keberadaan Mukim Patappulo mirip layaknya Surau di Sumatra Barat.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri ada faktor lain seperti kharisma tokoh ulama lokal, yangmana beberapa ulama dikenal sebagai sufi pelaku tarekat yang ikhlas penuh dengan karomah seperti KH Muhammad Thahir (Imam Lapeo). Namanya terdengar begitu melegenda dan kharismatis di tengah masyarakat sehingga turut memperkuat penerimaan mereka terhadap Islam.

Gambar: Mushaf al-Quran tulisan Syekh Abdul Mannan di Majene Sulawesi Barat.

Jejak proses Islamisasi masih dapat kita saksikan hari ini. Selain makam-makam tokoh ulama yang sering diziarahi, di antara saksi bisu islamisasi di Mandar adalah peninggalan berupa al-Quran yang ditulis tangan oleh Syekh Abdul Mannan. Al-Quran ini digunakan sumber pengajaran Islam, dan ditulis dengan menggunakan getah pohon,  hingga sekarang diperkirakan berusia lebih dari 400 tahun. Mushaf ini merupakan salah satu peninggalan penting dalam sejarah penyebaran Islam di Majene, Sulawesi Barat.

Baca juga: Mengenal Beberapa Manuskrip al-Quran Tertua

Selain itu, saksi islamisasi lainnya yang dapat kita saksikan hari ini adalah masjid Nurut Taubah Imam Lapeo, yang menjadi pusat penyebaran Islam oleh KH Muhammad Thahir (Imam Lapeo). Masjid ini masih menjadi pusat kegiatan Islam hari ini, baik untuk pengajian, ibadah, maupun juga berziarah. Hampir setiap hari Masjid Nurut Taubah dikunjungi jamaah baik dari dalam maupun luar daerah.

Di antara karakteristik Islam yang terbangun di masyarakat Mandar adalah Islam yang berakulturasi dengan kebudayaan lokal. Islam datang tidak menghapus tradisi yang ada, sehingga tradisi lokal dipertahankan dengan nuansa berbeda yang lebih islami. Islam berkembang satu tarikan nafas dengan budaya.

Beberapa tradisi terus dilestarikan untuk menjadikan Islam lebih membumi di masyarakat, seperti tradisi Sayyang Pattudu atau kuda menari diiringi kesenian musik rebana. Tradisi ini dilaksanakan di Balanipa untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dan belakangan juga untuk merayakan khataman al-Qur’an.

Arus Islamisasi mengalir dari wilayah Barat ke Timur Nusantara pada abad 16-18, dan terus berlangsung sampai sekarang. Laksana sebuah mata air Islam yang mengalir itu telah meresap dan mengairi tanah Sulawesi Barat menjadi subur. Budaya Mandar dan Islam menjadi semakin identik dan tak terpisahkan. Wallahua’lam.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti agama di BRIN.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *