Risalah Jumat: Islam Agama Rahmat

Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi

Islam adalah agama damai yang mencintai kemanusiaan; Ia membawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam; Bahkan dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap memerintahkan kejujuran tingkah laku dan perlakuan yang adil

~Prof. Dr. M. Quraish Shihab

Tidarislam.co-  Islam adalah din ar-rahmah, demikian kata banyak ulama, yang berarti agama yang ditujukan untuk membawa rahmat bagi semesta dan seisinya. Fondasi ajaran Islam, dengan demikian, adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan prinsip rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Keyakinan dasar ini dapat disebut sebagai “Tauhid Rahamutiyah” (Tauhid tentang Allah Dzat Penuh Rahmat), yakni keyakinan bahwa Allah menegaskan diri-Nya sendiri sebagai pemberi rahmat; bahwa Allah sendiri adalah Dzat yang tak terbatas dalam kasih sayang-Nya. Sebagaimana dalam sebuah Hadist disebutkan:

Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk, Allah tuliskan di dalam kitab-Nya yang kitab itu berada di sisi-Nya, di atas Arsy, yang isinya: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.

Selain pesan teologis tentang tauhid, misi Islam adalah menebarkan pesan etis tentang perdamaian melalui kasih sayang terhadap semua makhluk di muka bumi. Islam mengajarkan agar manusia senantiasa menebarkan perdamaian dan keselamatan sebagai cerminan dari pesan rahmat. Islam membangun moralitas ajarannya para prinsip-prinsip kasih sayang pada sesama makhluk untuk menuju pada keselamatan itu. 

Arti Kata Rahmat

Secara kebahasaan, kata rahmat terdiri dari huruf dasar ra ha dan mim, yang menurut kamus bahasa Arab Maqayis al-Lughah Ibn Faris menerangkan bahwa kata yang berakar pada huruf ra ha dan mim memiliki makna dasar: “kelembutan, kehalusan, dan kasih sayang”.

Dalam kamus yang lain, Mufradat Alfadzi al-Quran karya Al-Asfahani, diterangkan bahwa kata rahmat berarti: “kelembutan yang menuntut berbuat baik kepada yang disayangi”. Sehingga, rahmat secara umum dapat dimaknai “kebaikan” atau “kelembutan”. 

Istilah “rahmat” yang termuat dalam ayat-ayat al-Quran memiliki beragam makna atau pengertian. Sebagaimana makna dalam setiap al-Quran memiliki bertingkat makna, makna “rahmat” sendiri berlevel-level dan beragam. Segala sesuatu yang berasal dari manifestasi kasih sayang Allah kepada manusia dikatakan sebagai bentuk rahmat-Nya kepada manusia.

Basmalah

Penegasan rahmat Allah secara eksplisit sejak lafal basmallah. Sifat “rahman” dan “rahim” pertama-tama ditegaskan dalam lafal ini, setelah penyebutan asma “Allah” (bismillahi, rahmani, rahimi).

Buya Hamka, dalam tafsir al-Azhar, menjelaskan bahwa:

Para ulama berbeda pendapat tentang status ayat ini (basmalah), tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa basmalah adalah bagian dari surat al-Fatihah [1], dan 114 surat yang lain (kecuali At-Taubah). Ayat ini ternyata telah dijumpai pertama kali pada surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis (Tafsir al-Azhar, Juz 1, hlm. 82-86). Kata “rahman” dan “rahim” disini satu rumpun, yaitu “rahmat”, yang berarti murah, kasih sayang, cinta, santun, perlindungan, dan lain sebagainya. Kedua sifat inilah yang pertama-tama dijelaskan sebelum menyebut sifat-sifat-Nya yang lain, karena sifat itulah yang mula-mula dirasakan oleh manusia, bahwa Dia rahman dan rahim.

Syekh Nawawi Al-Bantani secara berbeda menjelaskan dan menyebut lafal basmalah begitu agung karena:

Huruf: ba, mengawali sifat bari’ dan basir; sifat Tuhan yang mencipta dan mengetahui. Huruf: sin, mengawali sifat sami, sifat Tuhan yang mendengar. Huruf: mim, mengawali sifat majid dan malik, sifat Tuhan yang mulia dan merajai. Huruf: alif, mengawali lafal Allah. Huruf: lam, mengawali sifat latif, sifat Tuhan yang maha lembut. Huruf: ha, mengawali sifat hadi, sifat Tuhan yang memberi petunjuk. Huruf: ra, mengawali sifat razzaq, sifat Tuhan yang maha memberi. Huruf: ha, mengawali sifat halim, sifat Tuhan yang maha santun. Huruf: nun, mengawali sifat nafi’ dan nur, sifat Tuhan yang berarti cahaya.

Hikmat dari ayat ini adalah: kesadaran tentang “tauhid rububiyah” kepada Allah yang tak boleh lepas dari benak kita, untuk memperkuat keyakinan tunggal “tauhid uluhiyah”. Allah yang selalu menebar rahmat dan kasih sayang kepada manusia, sampai hari ini. Yang lebih dahulu mempengaruhi jiwa manusia adalah Allah yang bersifat pemurah dan penyayang, bukan Pembenci dan Pendendam, bukan haus kepada pengorbanan.

Surat Al-Fatihah

Penegasan tentang sifat “rahman” dan “rahim” diulang kembali dalam ayat ketiga surat Al-Fatihah. Sifat “rahman” dan “rahim” Allah ini nantinya diulang-ulang berpuluh-puluh kali dalam ayat-ayat al-Quran selanjutnya, agar kita ingat kepada “pancaran rahmat ilahi” di setiap waktu.

Menurut Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menerangkan:

Kandungan isi Surat al-Fatihah ini dari awal sampai akhir adalah pokok ajaran Islam yang sejati, yakni “Tauhid”. Buya Hamka menjelaskan: Surat al-Fatihah ayat 1 & 2, menegaskan betapa eratnya hubungan pertalian Khalik dan makhluk-Nya, yang kelak dalam al-Quran akan diuraikan berulang-ulang.  Tuhan sebagai “rabb”, yang berarti pemelihara, pengasuh, pendidik, penyubur. Kemudian diikuti dengan penyebutan sifat “rahman”, yang artinya Maha Murah, dan “rahim”, yang artinya Maha Penyayang. Ayat selanjutnya dari surat al-Fatihah adalah tentang Hari Pembalasan, Hari Kiamat, Hari Kebangkitan, dan hal surga dan neraka.

Dan kata rahman dan rahim bersumber dari satu kata yang sama, rahmat. Ini menegaskan sifat rububiyyah Allah dalam memelihara alam semesta: betapa allah benar-benar maha memberikan rahmat kepada manusia, Bukankah matahari dan bulan dan bintang-bintang, semuanya itu Rahmat dari Tuhan kepada kita? Bagaimana jadinya kita hidup di dunia, kalau misalnya agak dua hari saja matahari tidak terbit? Kita manusia kadang-kadang lupa akan Rahmat, karena kita tidak pernah dapat dipisahkan dari Rahmat. Seumpama orang yagn berdiam di sebuah kota besar yang telah teratur listriknya, dan penerangan lampu-lampunya, dan telah teratur pengairannya. Mereka baru ingat rahmat adanya penerangan lampu yang teratur, dan aliran air-air yang teratur telah masuk sampai ke rumah-rumah kita sendiri, bilamana suatu kali ada kerusakan di pusat listrik atau kebocoran pada pipa air.

Kita melihat pancaran rahmat pada kasih sayang manusiawi, suami istri, ayah terhadap anak, nenek terhadap cucu-cucunya, dan seterusnya. Pancaran rahmat-Nya tidak hanya tercermin dalam jiwa manusia, tetapi juga dari naluri hewani. Lihatlah betapa setianya seekor anjing kepada Tuannya, yang selalu memberinya kasih sayang. Atau seekor kucing yang duduk di atas pelukan seekor tamu yang baru sekali ziarah ke rumah orang yang memeliharanya. Atau mendekat dan meminta diberi makanan, meski sekali itu baru bertemu dan dia tidak mendekat kepada tamu yang lain yang sama-sama duduk. Dia diberi naluri oleh Tuhan bahwa bahwa di dalam hati si tamu itu ada rahmat.

Seekor induk ayam, menggerak-gerakkan kakinya di tanah mencarikan makanan untuk anak-anaknya. Dipecah-pecahkannya remah-remah kecil yang didapatkannya, lalu dipanggil-panggilnya anak-anaknya, maka anak-anaknya itupun berlari menuju makanan itu, dan induknya sendiri tidak mengambil bagian dari makanan itu. Jika datang bahaya dengan tiba-tiba, dikejarnya yang hendak mengganggu itu meski itu seekor gajah. Dia tidak peduli bahwa dirinya dapat hancur diinjak gajah, untuk mempertahankan anak-anaknya. Dan jika panas sangat terik, dia pergi ke pinggir pinggir pagar, untuk berteduh dan dilindunginya anak-anaknya dalam naungan sayapknya, dan ada anak-anak yang memanjat ke atas punggungnya. Di tahankannaya karena kasihnya.

Syekh Nawawi Al-Bantani juga menjelaskan dalam Tafsir Munir muatan makna Surat al-Fatihah. Beliau menjelaskan empat pilar keilmuan yang termuat dalam surat al-Fatihah:

Pertama, ilmu Ushuliyah (Dasar-Dasar Keagamaan), termuat dalam ayat pertama, kedua, ketiga, dan keenam, mencakup keyakinan dasar tentang Yang Ilahi, keyakinan dasar tentang Kenabian, dan keyakinan dasar tentang Hari Akhir. Termasuk dalam keyakinan dasar ini adalah keyakinan tentang kemaha Rahman dan Rahim Allah SWT. Kedua, ilmu Furu’iyah terutama Ibadah, termuat dalam ayat ketiga, yang meliputi banyak aspek ubudiyah, seperti ubudiyah jismiyah dan ubudiyah maliyah dengan harta. Ketiga, ilmu Akhlak atau Tahshilul Kamalat, termuat dalam ayat ketiga dan keempat, agar senantiasa istiqamah atau Tarekat dan menempuh jalan Syariat yang benar. Keempat, ilmu Qashash, termuat dalam ayat kelima dan keenam, tentang kisah masa lalu orang-orang yang telah diberi peringatan sebelumnya.

Ayat yang pertama (jika dikatakan bagian dari surat al-Fatihah) mengandung sifat rahman dan rahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang), sebuah kalimat simbolik yang mengandung rahasia yang kokoh, termasuk di dalamnya rahasia huruf “ra” “hi” “ma”yang membentuk kata rahmat atau rahm. Rahm sendiri adalah wadah janin yang melekat pada diri seorang ibu. Dengan kasih sayang seorang Ibu, bayi yang ada dalam perutnya tidak perlu bersusah payah untuk makan, karena sang ibu akan berusaha dengan tulus dan penuh kasih mengupayakan supaya buah hatinya memiliki asupan gizi yang terbaik. Imaji sosok ibu adalah sosok pengasih dan penyayang pada anak-anaknya. Analogi ini menyiratkan bahwa rahmat kasih sayang Allah melebihi kasih sayang sang ibu tersebut. Kesadaran dan keyakinan mendasar bahwa segala sesuatu “atas nama kasih dan sayang Allah”  harus kita miliki. Bahwa segala sesuatu merupakan manivestasi sifat “rahman” dan “rahim” Allah ini merupakan bentuk dari “fondasi usuliyah” tauhid terhadap ketuhanan Allah SWT.

Terkait sifat rahman dan rahim, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan:

Allah bersifat Rahman: “maksudnya adalah Dia memberikan rahmatnya terhadap siapapun, baik orang yang baik maupun yang jahat/berdosa, berupa rizki dan juga melindungi dari bencana”. Sedangkan Allah dengan sifat Rahim: “maksudnya Dia yang dengan rahmatnya menutupi dosa-dosa di dunia dan menyayanginya di akhirat kelak dan memasukkannya ke dalam surga” (Tafsir Maroh Labid, hlm. 9)

Merujuk pada Sahabat Abdullah Ibn ‘Abbas, menjelaskan:

Rahman mengacu pada rahmat Allah yang bersifat temporal dunia, sedangkan rahim bersifat permanen konstan kualitas jangka panjang sampai hari akhir/hari pembalasan.

Jamaluddin Al-Qasimi, penulis kitab Mahasin al-Takwil juga menjelaskan:

Makna rahman adalah pemberi nikmat secara umum (universal), sedangkan rahim bermakna pemberi nikmat secara khusus (partikular). Rahman menunjukkan curahan cinta yang Allah berikan kepada semua makhluk di alam semesta, dan rahim adalah belas kasih yang dianugerahkan Allah kepada mereka yang beriman.

Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi juga menjelaskan:

Rahman dan rahim memiliki makna dominan dalam sifat, yakni Allah Maha Pengasih di dunia dan Allah Maha Pengasih di akhirat. Jumlah kata rahman di dalam Alquran muncul sebanyak 57 kali, dan kata rahim berjumlah 114 kali. Keduanya dalam makna yang hampir sama tetapi memiliki konteks esensi yang beragam. Rahman secara esensi diarahkan hanya untuk Allah Swt. Sedangkan rahim bisa dikiaskan juga diperuntukkan kepada makhluk. Hal ini didukung juga sebagaimana Rasulullah Saw menyebut “Wa kaana bil mu’minina rahimaa”, sebagai bentuk kasih seorang Rasul kepada umatnya.

Makna Rahmat dalam Ayat-ayat Al-Quran

Sejauh merujuk pada ayat al-Quran, dalam banyak literatur disebutkan setidaknya ada 14 makna yang termuat dalam kata “rahmat”. Dalam kaidah ilmu tafsir al-Quran, kata dalam al-Quran seringkali memiliki beragam makna sesuai konteks ayat tersebut, termasuk kata “rahmat” yang disebut sebagai lafadz musytarak. Kata “rahmat” disebutkan dalam al-Quran sebanyak 145 kali, sehingga maknanya bisa beragam sesuai dengan konteks pembicaraannya. Berikut makna rahmat dalam al-Quran:

  • “Rahmat” bermakna “agama Islam”, sebagaimana termuat dalam QS al-Insan [76]: 31, QS al-Syura [42]: 8, QS al-Fath [48]: 25, QS al-Baqarah [2]: 105, dan QS Ali Imran [3]: 74. Ini menyiratkan bahwa risalah agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu ada untuk rahmat ‘kasih sayang’ terhadap alam semesta. Sehingga tidaklah heran jika kita sering mendengarkan jargon Islâm Rahmatan lil ʻÂlamîn. Menariknya kata rahmat yang berarti Islam ini pasti bersandar pada kata ganti orang ketiga yang kembali kepada Allah swt, sehingga pasti berarti rahmat-Nya. Jadi agama Islam adalah salah satu bentuk kasih sayang-Nya swt.
  • “Rahmat” bermakna “surga”. Salah satu kasih sayang (rahmat) Allah swt adalah surga. Bahkan secara jelas dalam riwayat Ahmad dari Jabir dan Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa penduduk surga dapat masuk surga semata-mata hanya karena rahmat-Nya. Kata rahmat dalam al-Quran yang berarti surga bisa kita jumpai dalam QS Ali Imran [3]: 107, QS al-Nisa’ [4]: 175, QS al-Jatsiyah [45]: 30, QS al-Baqarah [2]: 218 dan QS al-ʻAnkabut [29]: 23.
  • “Rahmat” berarti “hujan”. Barangkali sering mendengar ungkapan hujan merupakan rahmat Tuhan. Bisa jadi itu benar adanya, sebab dalam berbagai riwayat sangat dianjurkan untuk banyak berdoa saat hujan turun. Saat turun hujan merupakan salah satu waktu mudah untuk dikabulkannya doa. Tentu keterkaitan antara rahmat dengan terkabulnya sangatlah erat. Selain itu hujan adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah swt bagi sebagian besar makhluknya mulai tanah, manusia, tumbuhan hingga hewan. Keberlangsungan kehidupan mereka semua bergantung pada air yang diturunkan oleh-Nya. Kata rahmat yang berarti hujan dalam al-Quran antara lain: QS al-A’raf [7]: 57, QS al-Furqan [25]: 48, QS al-Syura [42]: 28, QS al-Rum [30]: 50, dan QS al-Rum [30]: 46.
  • “Rahmat” berarti “kenabian”. Keberadaan seorang nabi menjadi kebutuhan umat manusia dalam lintas masa. Kedatangan nabi menjadi sebuah rahmat bagi alam semesta khususnya manusia untuk keluar dari kegelapan hati dan akal. Ada dua kata rahmat yang berarti nabi yakni QS Shad [38]: 9, QS al-Zukhruf [43]: 32.
  • “Rahmat” bermakna “nikmat”. Senada dengan keterangan al-Ashfihani, jika rahmat disandarkan pada Allah swt maka berarti nikmat dan karunia-Nya. Sedangkan jika disandarkan pada manusia dan makhluk berarti kelembutan dan kasih sayang. QS Maryam [19]: 2, QS al-Kahf [18]: 65.
  • “Rahmat” bermakna “rezeki”. Seperti dalam QS al-Isra’ [17]: 100, Katakanlah jikalau kalian memiliki simpanan rezeki Tuhanku. Begitu halnya dalam QS Fathir [35]: 2, QS al-Isra’ [17]: 28, QS al-Kahf [18]: 16 dan QS al-Kahf [18]: 10.
  • “Rahmat” berarti “pertolongan” dan “kemenangan”. Seperti dalam QS al-Ahzab [33]: 17, Katakanlah apakah ada yang mampu menjaga kalian dari ketentuan Allah, jika Dia menghendaki keburukan (kekalahan) bagi kalian atau menghendaki rahmat (pertolongan dan kemenangan).
  • “Rahmat” bermakna “sehat & afiyat”. Seperti dalam QS al-Zumar [39]: 38, Jika Allah menghendaki bagiku kesehatan (rahmat) apakah ada yang dapat menghalangi kesehatan (rahmat) dari-Nya.
  • “Rahmat” berarti “cinta”. Seperti dalam QS al-Hadid [57]: 27, Kami telah menjadikan belas kasih dan cinta (rahmat) dalam hati-hati orang-orang yang mengikutinya. Begitu juga dalam QS al-Fath [48]: 29.
  • “Rahmat” bermakna “keimanan”. Contohnya dalam QS Hud [11]: 28, Dia mendatangkan bagiku keimanan (rahmat) dari sisi-Nya. Sama halnya dalam QS Hud [11]: 63.
  • “Rahmat” berarti “taufik” (pertolongan untuk amal kebaikan). Seperti dalam QS al-Baqarah [2]: 64, Kalau bukan karena karunia dan rahmat (taufik) Allah swt, kalian akan menjadi orang-orang merugi. Begitu juga dalam QS al-Nisa’ [4]: 83, QS al-Nur [24]: 10, QS al-Nur [24]: 14, QS al-Nur [24]: 20 dan QS al-Nur [24]: 21.
  • “Rahmat” berarti “Nabi Isa as”. Ini dalam firman Allah swt QS Maryam [19]: 21, Agar kami menjadi penciptaannya sebagai tanda-tanda bagi manusia dan rahmat dari kami.
  • “Rahmat” bermakna “Nabi Besar Muhammad saw”. Seperti firman Allah swt QS al-Anbiya’ [21]: 107, Tidaklah kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.
  • “Rahmat” berarti “al-Quran”. Sebagaimana keberadaan nabi membawa rahmat, al-Quran turun membawa rahmat bagi semua terkhusus bagi umat Mukmin yang takwa. Seperti dalam QS al-Isra’ [17]: 82, Kami turunkan dari al-Quran sesuatu yang dapat menyembuhkan dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sama halnya dalam QS Yunus [10]: 58, dan QS Yusuf [12]: 111. Jadi, al-Quran itu sendiri diturunkan sebagai bentuk rahmat atau kasih sayang secara khusus bagi umat Nabi Muhammad SAW.

Terkait al-Quran sebagai bentuk “Rahmat” Allah, Syaikh Imam Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labib atau Tafsir al-Munir, menjelaskan al-Quran dalam surat al-Baqarah [2]: 2 (hudan lil muttaqin), bahwa al-Quran diturunkan sebagai “rahmat” bagi umat Nabi Muhammad (rahmatun liummati Muhammadin). Muttaqin disini, oleh Imam Nawawi, merujuk secara khusus kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Muhammad Husain al-Dzahabi menjelaskan, Al-Quran sampai hari ini menjadi kajian yang tak henti-hentinya, ibarat lautan tak bertepi. Darimana saja al-Quran itu dikaji, akan selalu menemukan mutiara-mutiara hikmah dan rahasia. Meski demikian, apa yang sudah terbuka sedikti rahasia al-Quran itu, tetap saja, hanya setitik dari rahasia ilmu Allah yang masih teramat luas. Itu menunjukakn bahwa rahmat Allah berupa al-Quran dan ilmu al-Quran, pun, tak pernah ada hentinya dan masih berlangsung terus.

Dari uraian ayat-ayat tentang makna rahmat di atas menunjukkan bahwa rahmat kasih sayang Allah meliputi segala sesuatu (al-A’raf: 156). Hampir segala hal dalam kehidupan kita adalah merupakan bentuk manivestasi hadirnya rahmat Allah SWT di muka bumi. Allah senantiasa bekerja dalam proses penciptaannya untuk selalu menebarkan kebaikan dan kasih sayangnya kepada manusia, baik secara umum, maupun kepada mereka yang dikasihi-Nya. Bukan Allah tidak bekerja dalam proses alam semesta.

Lebih dari itu, hadirnya agama Islam pada hakikatnya adalah bentuk rahmat Allah; hadirnya belas kasih sayang adalah rahmat Allah; hadirnya pengampunan Allah adalah karena rahmat Allah; hadirnya nikmat duniawi adalah karena rahmat Allah; hadirnya ilmu pengetahuan adalah karena rahmat Allah; pahala dan surga bagi manusia adalah rahmat Allah; dan agama Islam dengan keimanannya adalah rahmat Allah; ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia juga merupakan rahmat dari Allah; pahala dan surga; bahkan kita dapat beramal soleh itu juga rahmat Allah.

Jadi tidak benar anggapan bahwa Islam adalah agama kebencian dan kekerasan. Persepsi semacam itu disebabkan oleh islamophobia, atau keagagalan memahami esensi ajaran Islam. Asumsi tetang Islam yang identik dengan kekerasan muncul barangkali karena konflik-konflik kekerasan yang terjadi di beberapa belahan negara Islam, yang diakibatkan oleh dinamika politik yang terjadi di berbagai belahan negara Islam, yang sama sekali tidak mencerminkan karakteristik normatif agama Islam. Sikap moral seorang muslim semestinya selaras dengan prinsip-prinsip utama Islam sebagai rahmatan lil alamin, muslim yang senantiasa menebar rahmat dan kasih sayang kepada sesama makhluk.

Dalam konteks kita berbangsa dan bernegara, kita bersyukur para founding father negara Indonesia memberikan kesadaran dalam konstitusi bahwa kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan yang dapat kita nimati sampai hari ini juga “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, sehingga kita dikenal sebagai bangsa yang religius dan sejak awal mengakui nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bangsa dan negara.

Rasulullah adalah teladan (uswatun hasanah) bagi kita semua, dengan segala perangai dan kebaikannya, sehingga mampu menjadi teladan untuk memperbaiki moral dan akhlak manusia, dan senantiasa memancarkan manivestasi rahmat-Nya kepada setiap manusia. Beliau adalah teladan dalam kelembutan dan kasih sayang. Al-Quran surat al-Ahzab [33]: 21:  

Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.”

Dalam sebuah ayat al-Quran surat al-Anbiya [21]: 107, Allah berfirman:

tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta”.  

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadist yang berbunyi:ٌ “

Yaa ayyuhannas, innama ana rahmatun muhdatun”. (H.R. Hakim) -Wahai kaum yang beriman, sesungguhnya aku adalah rahmat yang diberi petunjuk.

Allah juga menggambarkan Rasulullah dengan tabiat yang lembut dan pengasih (rahim) dalam surat at-Taubah [9]: 128:

Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia, dan hanya kepada-Nya aku berserah diri, dan Dia-lah Tuhan pemilik Arasy yang agung”. 

Nabi Muhammad adalah benar-benar sosok penyayang; bukan hanya menyayangi keluarga, tapi juga menyayangi anaknya, cucunya, bahkan menyayangi umatnya; bahkan bukan saja kepada manusia, tetapi juga menyayangi hewan dan menyayangi tumbuhan.

Alkisah, bahwa suatu ketika, Ibnu Mujahid mendatangi Abu Bakar al-Syibliy, kemudian memeluknya dan menciumnya pada kening di antara dua matanya. Suatu ketika, ada yang mempertanyakan mengapa Ibnu Mujahid melakukan hal yang demikian, hingga mencium kening Abu Bakar? Maka Ibnu Mujahid kemudian memberikan keterangan:

Saya bermimpi bertemu Nabi SAW. Kepada beliau Asy-Syibliy datang, lalu beliaupun menjemput dan mencium kening di antara dua matanya. Dalam impian itu, kemudian saya bertanya kepada Nabi: ya Rasulullah, mengapa tuan berbuat itu kepada Asy-Syibliy? Nabi menjawab: Iya memang, sesungguhnya Asy-Syibliy setiap shalat fardhu selalu dilanjutkan dengan membaca dua ayat yang terakhir dari surat at-Taubah [9]: 128.”

Banyak kisah rasul yang menunjukkan sifat kelembutan dan kasih sayang Nabi. Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil mengutip salah satu pendapat ulama bahwa kasih sayang dan sikap santun Rasulullah tidak hanya kepada umat Islam yang taat saja, namun juga kepada mereka yang sering berdosa dengan banyak melakukan maksiat. Imam al-Baghawi mengatakan, 

Dikatakan (bahwa Rasulullah) penyantun kepada orang-orang yang taat, dan penyayang kepada orang-orang yang berdosa.”

Sehingga tidak heran bila salah satu ajaran yang beliau bawa juga berkaitan tentang sifat mulia ini. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam setiap urusan“. [HR Bukhari no: 6024, Muslim no: 2165].

Salah satu bukti sifat lembut Baginda Nabi SAW diketahui setelah wafatnya beliau, termaktub dalam kisah Nabi Muhammad dan seorang pengemis Yahudi.

Sahabat Abu Bakar Ash Shidiq (ayahanda Sayyidah Aisyah Ra) datang dan bertanya kepada putrinya (Aisyah Ra) tentang amalan Rasululloh yang belum dilakukannya. Aisyah pun menceritakan bahwa Rasululloh selalu menyempatkan untuk mendatangi dan menyuapi seorang pengemis Yahudi yang menetap di sudut kota Madinah, dekat pasar.

Keesokan harinya Sahabat Abu Bakar mendatangi pengemis buta tersebut. Membawa makanan dan menyuapinya. Betapa terkejutnya beliau (Abu Bakar) karena ternyata si pengemis itu berteriak-teriak dan menyebut dengan lantang “Jangan pernah percaya dengan Muhammad, dia itu gila! Penyihir! Dan tukang bohong! Jauhi dia jika kau tak ingin terpengaruh olehnya”. Sambil menahan amarah karena telah menjelek-jelekkan Rasul, Abu Bakar tetap menyuapinya. Rupanya si pengemis juga merasakan hal yang berbeda dan berkata “Siapa kau ? kau bukan orang yang selalu menyuapiku makanan”. “Aku orang yang biasanya” kata seseorang tersebut. “Tidak, bukan kau orangnya. Apabila dia yang dulu datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak payah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan masuk ke mulutku,” sangkal si pengemis.

Orang tersebut kemudian tertegun dan mulai menangis terisak-isak. Kemudian berkata “Memang benar katamu, bahwa aku bukanlah orang yang biasa memberi dan menyuapimu makanan. Karena orang yang kau maksud itu kini telah wafat. Dan aku tidak bisa selemah lembut dia”. “Ketahuilah, bahwa aku ini salah satu sahabatnya, namaku Abu Bakar Ash-Siddiq. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan oleh orang tersebut. Aku tidak ingin melawatkan satu amalan pun setelah kepergiannya” Lanjut seseorang tersebut yang ternyata Abu Bakar. “Kau tahu siapa orang yang aku maksud ? Dialah Rasulullah Muhammad SAW yang selalu kau caci maki itu. Orang yang selalu kau benci dan beri sumpah serapah. Dia orang yang sama yang selalu memberi dan menyuapimu makanan setiap hari” kata Abu Bakar sambil terisak. “Istrinya Aisyah memberi tahuku bahwa Rasulullah SAW selalu pergi berkunjung ke pasar dengan membawa makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sini” pungkas Abu Bakar.

Pengemis tersebut tertegun dan mulai meneteskan air matanya dengan deras. Ia baru tersadar bahwa orang yang dibenci dan difitnah selama ini adalah orang yang selalu menemani dan menyuapinya makanan setiap hari. “Selama ini aku telah menghina, memfitnah, bahkan saat Muhammad ada di sampingku sedang menyuapiku. Tapi tidak pernah ia memarahiku, malah dengan sabar melembutkan makanan yang disuapkan ke mulutku. Begitu mulianya Dia.” , kata pengemis buta. Pengemis tersebut merasa hina dan bersalah atas semua ucapan dan tindakannya itu. Dia menyesali semua perbuatannya. Akhirnya si pengemis buta berikrar syahadat di hadapan Abu Bakar Ash-Siddiq.

 

Hikmah Luasnya Rahmat Allah

Hikmah dari segala keterangan di atas adalah tentang betapa luasnya rahmat Allah terpancar kepada manusia dan alam semesta. Allah adalah sumber rahmat dari seluruh nikmat yang tersebar di alam semesta ini. Oleh karena itu, penting dalam setiap aktivitas apapun kita mengawali dengan membaca basmalah sebagai bentuk pengakuan dan memadukan kita bersama Allah dalam dimensi ruang yang sama. Kita mesti memulai segala pekerjaan dengan nama Allah yang memiliki sifat mulia, rahman dan rahim, tersimpul doa semoga pekerjaan kita mendapatkan karunia dari rahman dan rahim-Nya.

Segala kebaikan yang dirasakan manusia tak lain manivestasi dari sifat Rahman dan Rahim Allah. Pada dasarnya rahmat yang didapatkan manusia itu berkat kasih sayang Allah, dan berasal dari pancaran sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang Allah SWT. Allah adalah dzat yang maha pengasih dan penyayang, dan Allah telah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sifat rahmat (kasih sayang) surat al-Anʻam [6]: 12. Itupun, banyaknya nikmat di dunia hanyalah masih sebagian kecil dari porsi rahmat Allah.   

Dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan, bahwa:

Pada hari penciptaannya, Allah menciptakan 100 rahmat (kasih sayang). 99 rahmat (kasih sayang) masih dipegang oleh Allah untuk disimpan. Hanya satu rahmat saja yang disebarkan oleh Allah bagi seluruh makhluknya.

Sementara dalam Sahih Muslim disbutkan bahwa satu rahmat itu disebar di muka bumi sehingga cukup bagi seorang ibu menyayangi anaknya dan semua makhluk baik manusia, burung, semua jenis hewan dan jin dapat mengasihi satu sama lain. Lalu 99 rahmat sengaja ditahan oleh Allah swt untuk memberi rahmat bagi seluruh hamba-Nya pada hari kiamat.

Keyakinan Tauhid ini membantah keyakinan deistik, bahwa Tuhan tidak lagi bekerja atau terlibat dalam alam semesta. Keyakinan Tauhid ini juga membantah keyakinan theodicy, bahwa Tuhan tidak maha baik karena membiarkan kejahatan atau keburukan terjadi di bumi; bahwa apapun yang berasal dari Allah adalah kebaikan, sedangkan keburukan berasal dari tangan manusia sendiri. Kesalahan melihat karena kondisi jiwa manusia yang labil seringkali menutupi persepsi luasnya rahmat Allah di muka bumi  

Pesan Moral untuk Menebar Rahmat Pada Sesama Manusia

Pesan dari kita menyelami hikmah rahman dan rahim adalah kita perlu meningkatkan rasa syukur, bahwa dalam kondisi apapun kita masih merasakan nikmat yang luar biasa, sekalipun kita termasuk orang-orang yang tidak luput dari perbuatan maksiat dan dosa. Pergaulan hidup yang adil dan makmur di atas muka bumi ini terjadi manakala masyarakat mengandung marhamah, yaitu saling mengasihi, cinta mencintai, bantu membantu, yang timbul dari rasa kemurahan dan kesayangan sebagaimana pesan al-Quran:

Kemudian, dia juga termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar serta saling berpesan untuk berkasih sayang” (Q.S. Al-Balad: 17).

Selain itu, kita telah mendapatkan karunia kasih sayang dari Allah, maka kita perlu menerjemahkan kasih sayang itu kepada sesama manusia. Sebuah hadits Qudsi mengingatkan kita akan pentingnya menyebar kasih sayang,

Mereka yang berbelas kasih akan diberi rahmat dari orang yang penuh belas kasih. Kasihanilah orang-orang di dunia ini dan Yang Maha Esa, maka surga akan mengasihanimu” (arrahimun yarhamuhurrahman; irhamu man fil ardhi, yarhakum man fissamai).

Selain itu, kita juga tidak boleh sombong dengan amal ibadah kita, karena sesungguhnya amal perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan seutuhnya di hadapan Allah. Keselamatan kita tidak semata-mata bergantung kepada amal kita, kecuali semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, suatu hari Rasulullah s.a.w berkata kepada para sahabatnya:

Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkan ia ke dalam surga, dan menyelematkan ia dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat Allah,” (Riwayat Muslim no. 2817).

Namun demikian, bukan berarti itu berarti bahwa amal perbuatan manusia tidak berarti apa apa kelak di hadapan Allah, karena pembalasan dan ampunan, adalah bentuk rahmat Allah SWT, dan Allah yang berkehendak memberikan pembalasan dan ampunan terhadap yang dikehendakinya.

Dikisahkan dalam kitab Nashaihul Ibad, ada kisah yang terkenal dari seorang Abu Bakar al-Syibliy yang memberikan kesaksian tentang betapa luasnya rahmat Allah, dan mendapat pengampunan bekat “kasih sayangnya” kepada seekor anak kucing:

Setelah Abu Bakar al-Syibliy meninggal, pernah dalam suatu mimpi ia ditanya tentang keadaan nasibnya. Beliau menjelaskan, dan mengatakan dalam mimpi itu: Allah menanyai aku dengan firman-Nya, “Wahai Abu Bakar, mengapa Aku mengampunimu?”. Akupun menjawab: “berkat amal salihku!”. Allah berfirman: “Tidak!”, lalu aku berkata “dengan keikhlasan ibadahku!”. Allah berfirman kembali: “Tidak juga!”. Aku berkata: “dengan haji, puasa, dan shalatku!”. Allah berfirman: “Tidak!”. Aku berkata lagi”: “dengan kepindahanku menuju orang-orang shalih dan menuntut ilmu”. Allah tetap berfirman: “Tidak!”. Kemudian akupun ganti bertanya. “Oh tuhanku, dengan apakah itu?”, dan Allah berfirman: “Ingatkah kamu di kala tengah berjalan menelusuri Baghdad lalu engkau temukan seekor anak kucing yang tidak berdaya lantaran menggigil kedinginan, kemudian karena kasihan engkau pungut dia dan engkau selamatkan di dalam kehangatan jubah tebalmu itu?”. Akupun menjawab: “Benar Tuhan, aku ingat!”. Allahpun berfirman lagi: “Lantaran kasih sayangmu terhadap kucing itu, maka Aku-pun kasih sayang kepadamu”.

Untuk mengekspresikan bentuk-bentuk menebar Rahmat dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali yang bisa kita lakukan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menjadikannya sebagai ajang “menebar kasih sayang”:

1. Silaturahmi menyambung persaudaraan

Islam mengajarkan setiap orang untuk menjalin silaturahmi. Silat: artinya sambungan. Rahmi: artinya kasih sayang, sehingga dapat diartikan menyambung kembali ikatan kasih sayang. Ada juga yang mengartikan rahm disini maksudnya rahim, artinya menyambung kembali ikatan darah keturunan atau persaudaraan.

Dalam hubungan sosial kemanusiaan, Islam mengajarkan tentang “silaturahmi” sebagai bentuk berbagi kasih sayang antara sesama. Esensi silaturahmi adalah menyambung dan saling berbagi kasih sayang, dan menguatkan rasa persaudaraan (ukhuwwah). Dalam ayat al-Quran, pentingnya menjalin silaturahmi tertuang jelas dalam surat an-Nisa [4]: 36 yang artinya:

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan ingin dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahmi.” (HR. Bukhari). Salam umat Islam juga adalah ekspresi menebar rahmat. Ucapan salam kepada sesama umat Muslim senantiasa mengucapkan:

semoga keselamatan, rahmat, dan barokah tercurah atas engkau”.

Adab kepada Allah antara lain memohon agar senantiasa diberi Rahmat, yang senantiasa kita baca ketika shalat:

Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah keadaanku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki, dan petunjuk untukku.”

Sebagai bentuk akhlak kepada Allah, adalah kita tidak boleh putus asa kepada Rahmat Allah, sekalipun kita sedang berada dalam kondisi terpuruk di dunia:  

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (az-Zumar [39] : 53-54).

Silaturahmi juga bertujuan untuk meningkatkan rasa persaudaraan (ukhuwah), sebab Islam sangat menjunjung tinggi persaudaraan. Selain persaudaraan sedarah, Islam juga menjunjung tinggi persaudaraan yang lebih luas lagi:

  1. Ukhuwah Islamiyah: rasa persaudaraan sesama umat Islam, sebagai satu kesatuan umat Nabi Muhammad SAW.
  2. Ukhuwah Wathaniah: rasa persaudaaan sesama anak bangsa dan setanah air.
  3. Ukhuwah Basyariah: rasa persaudaraan sesama umat manusia, sehingga Islam sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Islam mengajarkan muamalah ma’an nas (hubungan baik sesama manusia). 
  4. Ukhuwah Alamiyah: persaudaraan sesama makluk, dalam rangka muamalah ma’al alam (hubungan baik sesama makhluk Allah).
  5. Sebagian ulama bahkan menambahkan elemen silaturahmi yang lebih mendalam lagi dan lebih universal, yaitu ukhuwah ruhaniyah.

Dalam beberapa kisah orang-orang yang saleh, mereka bahkan menjaga silturahmi bukan saja dengan mereka yang masih hidup, tetapi juga dengan mereka yang sudah meninggal dunia. Ziarah, berdoa, dan berdzikir adalah salah satu media bersilaturahmi dengan para ulama dan orang soleh yang sudah meninggal dunia. 

2. Menebar kasih sayang di segala lini profesi

Ajaran Islam tentang “rahmat” menjadi bermakna dalam konteks yang lebih luas lagi. Siapapun kita, apapun profesi kita, para prinsipnya kita harus menjadi seorang muslim yang menebar “rahmat” (kasih sayang) kepada lingkungan di sekitarnya. Misalnya, dalam konteks pendidikan. Seorang guru harus mampu menjadi penebar rahmat kepada anak-anak didinya, menjadi pendidik yang penuh dedikasi dan kasih sayang, tidak punishment minded.Terlebih dalam kehidupan sosial, kita akan menjumpai kelompok yang beragam, manusia dari latar belakang etnis, suku, agama, dan status sosial dan ekonomi yang beragam, seorang muslim harus berjiwa besar untuk menerima beragam kelompok manusia sehingga kita bisa saling toleransi dan saling menghargai.

3. Berderma (filantropi) juga bentuk menebar rahmat

Jika kita memaknai rahmat tidak hanya sebatas kebahasaan yang berarti menebar kasih sayang kepada sesama umat manusia, tetapi juga secara kontekstual, maka kita akan mendapat rahmat bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk amal salih. Dalam konteks hari ini, salah satu bentuk upaya menebarkan rahmat adalah melalui aktivitas filantropi Islam. Filantropi merupakan praktik sedekah dalam Islam. Setelah menunaikan ibadah puasa, biasanya umat Islam menyempurnakan ibadahnya dengan membayar zakat. Zakat dipahami sebagai bentuk filantropi Islam, dalam arti menyebarkan kasih sayang kepada sesama manusia, terutama mereka yang tidak diuntungkan di masyarakat. Perhatian Islam kepada yang lemah, termasuk dengan memberikan bantuan kepada mereka yang lemah (mustadhafin) dan tidak beruntung. Bentuk filantropi Islam yang lain selain pembayaran zakat adalah memberikan infak sedekah atau wakaf produktif untuk kepentingan agama dan kemanusiaan.

4. Membangun hubungan sosial yang baik

Al-Quran telah menyatakan:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (at-Tagabun [64]: 16). Selain itu, juga dinyatakan: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui” (al-Hujarat [49]:13).

Pada akhirnya, sebaik-baik manusia adalah mereka yang mencapai kualitas takwa. Takwa dimaknai sebagai “ketaatan” dan berdiri tegak luru sebagaiman misi agama Islam. Namun demikian, al-Quran menunjukkan beberapa karakteristik khusus dari orang-orang yang bertakwa. Al-Quran menodorong kualitas kepribadian seorang Muslim menjadi orang yang bertakwa (muttaqun) sebagaimana kualitas yang dimiliki para sahabat Nabi (Sahabatu Rasulillah). Bagaimana karakteristik orang yang bertakwa?

Menurut Imam Nawawi, (merujuk pada surat al-Baqarah [2]: 2) Muttaqin diantaranya adalah mereka yang percaya kepada hal yang gaib. Hal yang gaib itu merujuk pada “hari akhir dan segala isinya”. Juga bermakna “kalbu” atau mereka yang beriman dengan hati, sesuai antara keyakinan dan perbuatan, tidak seperti orang-orang yang munafik. Hal itu tercermin dalam kehidupan para sahabat Nabi Muhammad.

Orang Muttaqin juga mereka yang mendirikan shalat (surat al-Baqarah [2]: 3), dalam arti mereka yang menyempurnakan shalat lima waktu yang dibebankan kepadanya. Orang-orang yang bertakwa juga bercirikan suka bersedekah dan memberikan infaq (surat al-Baqarah [2]: 3) dari harta-harta benda yang diperolehnya, karena semata-mata ketaatan kepada Allah SWT.

Hal ini selaras dengan surat yang lain dalam al-Quran tentang karakteristik orang yang bertakwa, yaitu surat Ali-Imran [3]: 133, yaitu suka mendermakan harta, menahan amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain. Dengan demikian, takwa tidak hanya berorientasi individul, tetapi juga sosial. Taqwa tidak hanya bermakna kualitas individual, takwa secara ritual, tetapi juga takwa sosial, ketakwaan yang dapat dirasakan orang banyak, salah satunya dengan mendermakan harta untuk kepentingan sosial seperti membantu orang miskin, membantu pendidikan, dll.

Dalam konteks kita bernegara, takwa sosial (social piety), sangat diperlukan bagi kehidupan sosial di masyarakat kita yang beragam agar terjalin kerukunan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama juga turut memperhatikan indeks kesalehan sosial. Setidaknya terdapat lima dimensi dalam evaluasi yang dianggap dapat menggambarkan sikap pemeluk enam agama di Indonesia dalam mengimplementasikan kebaikan dari dalam dirinya (baca: agamanya) secara sosial, antara lain: (1) Kepedulian Sosial; (2) Relasi Antarmanusia (Kebhinekaan); (3) Etika dan Budi Pekerti; (4) Melestarikan Lingkungan; (5) Kepatuhan pada Negara dan Pemerintah, adalah aspek peribadahan secara sosial yang dampaknya dirasakan tidak ekslusif oleh pemeluk namun sesama manusia.

Dalam hal ini, KH Musthofa Bisri juga pernah mengingatkan perlunya membangun keseimbangan antara “saleh ritual” dan “saleh sosial”. Dalam istilah KH Abdurrahman Wahid, Islam harus menjadi rahmat bagi semua sehingga tampaklah “Islamku”, “Islam anda”, “islam kita semua”.

Puasa selama bulan Ramadhan, salah satunya, adalah wujud melatih kesalehan sosial. Manivestasi dari takwa dengan demikian adalah kepedulian terhadap persoalan sosial di sekitarnya, membantu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, dalam rangka mewujudkan perdamaian. Menebar rahmat dan kasih sayang sebagaimana misi Islam merupakan bagian dari ketakwaan seutuhnya.

5. Membaca shalawat “Rahmah”

Sebagai penutup, ada seorang yang penulis saksikan sebagai orang saleh. Prof. K.H. Sahiron Syamsuddin (Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Krapyak) selalu mengingatkan agar seorang Muslim selalu berusaha menampilkan sikap penuh kasih sayang kepada siapa saja. Beliau menggubah “shalawat rahmah” yang bunyi redaksinya sebagai berikut:

Allahumma shalli, wa sallim ‘ala sayyidina, Muhammadin “sahibir rahmah” shalatan turahhimuna biha, wa ahlana wa auladana, wa jami’a usulina, wa jami’i furu’ina, wa mu’allimina, wa tullabina, min yaumina hadza ila yaumil qiyamah, min yaumina hadza ila yaumil marhamah

Harapannya, dengan mengamalkan shalawat, kita selalu mengingat Nabi Muhammad sebagai teladan dalam kasih sayang. Juga agar kita senantiasa mendapatkan rahmat Allah SWT yang tak pernah putus hingga kepada keluarga, keturunan, leluhur, guru-guru, murid-murid, dan orang-orang di sekitar kita, dapat kita dapat meneladani karakter Nabi Muhammad sebagai penebar rahmat kepada alam semesta. Wallahua’lam.

One thought on “Risalah Jumat: Islam Agama Rahmat

Comments are closed.