Terbaru

Inovasi Nahdlatul Ulama dalam Menciptakan “Ruang Ketiga” (Third Place) sebagai Zona Toleransi

 Oleh: Nuke Arafah

Tidarislam.co- Pluralisme berasal dari bahasa Inggris yaitu pluralism yang berarti suatu kerangka interaksi tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain dan berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran atau pembiasan). Lubis (2007) menjelaskan bahwa pluralisme agama mencerminkan kondisi hidup bersama antar penganut agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik ajaran masing-masing agama.

Dengan demikian, yang dimaksud “pluralisme agama” adalah kondisi dimana terdapat lebih dari satu agama (samawi dan ardhi) yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama, dan saling berinteraksi antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian yang lain. Setiap penganut agama dituntut bukan hanya mengakui keberadan dan toleransi agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan demi tercapainya kerukunan dalam keragaman.

Baca juga: Dinamika Paham Keagamaan Islam di Nahdlatul Ulama

Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang majemuk, kebutuhan akan ruang-ruang yang dapat mengakomodasi interaksi lintas kelompok menjadi semakin mendesak. Konsep “ruang ketiga” (third space) yang dikemukakan oleh Ray Oldenburg mengacu pada ruang sosial informal di luar rumah (first place) dan tempat kerja (second place) yang berfungsi sebagai arena interaksi sosial dan pembentukan komunitas.

Nahdlatul Ulama menciptakan ruang publik yang terbuka, inklusif, dan menghargai perbedaan. Ruang ini, yang juga dikenal sebagai “third place”, menyediakan tempat bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang agama, etnis, atau sosial, untuk berinteraksi, berbagi ide, dan membangun hubungan positif. NU, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, memanfaatkan ruang ini untuk mempromosikan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kemanusiaan.

Nahdatul Ulama dalam Toleransi Umat Beragama

Nadhlatul Ulama memiliki pilar prinsip tasamuh yang berarti toleransi dan tenggang rasa. Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan toleransi sebagai kelapangan dada dalam arti suka kepada siapapun membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain. Dalam bahasa Inggris bisa disebut tolerance, tolerantion (kesabaran), indulgence (sesuai kata hati), forbearance (mampu menahan diri), leniency (kemurahan hati, bersifat pengampun), mercy (belas kasihan), dan kindness (kebaikan).

Menurut KH. Salahuddin Wahid, toleransi ialah konsep untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, budaya, politik maupun agama. Karena itu, toleransi merupakan konsep mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk Islam (Wahid, 2012: 7).

Baca juga: Gagasan Moderasi Islam Nahdlatul Ulama

Musyawarah Nasional Alim Ulama dan konferensi besar pada tahun 2019 menghasilkan beberapa keputusan penting yang mendukung sikap toleransi antar umat beragama. Beberapa keputusan yang dibuat yaitu:

  1. Nahdlatul Ulama menganjurkan tidak menggunakan kata kafir untuk memanggil non muslim dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan kata kafir tidak digunakan pada negara yang memiliki sistem kewarganegaraan. Nahdlatul Ulama menganjurkan penyebutan warga negara (muwathinun). Nahdlatul Ulama dalam poin ini berusaha untuk menjaga toleransi dan kerukunan antar umat Karena negara Indonesia terdiri dari beberapa agama serta tidak semua penduduknya merupakan umat Islam.
  2. Tidak ada satupun lembaga yang boleh mengeluarkan makna dari Mahkamah Poin ini didasari karena Indonesia bukan dari fatwa.
  3. Terkait dengan poin kedua bahwa hanya institusi yang memiliki tugas dan wewenang yang boleh mengeluarkan fatwa yaitu konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang diperkenankan untuk mengeluarkan fatwa. Sehingga tidak ada satupun lembaga yang menganggap bahwa dirinya merupakan Poin kedua dan ketiga tentu sangat berkaitan. Nahdlatul Ulama menganggap bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang berpedoman kepada UUD 1945 dan Pancasila. Tentu berbeda dengan negara Mesir yang memiliki Mufti untuk mengeluarkan fatwa.

Strategi NU dalam Menghadapi Disrupsi Digital

Era disrupsi digital telah membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pola interaksi sosial dan praktik keberagamaan di Indonesia. Teknologi digital, dengan segala keunggulannya dalam mempermudah akses informasi, juga menciptakan tantangan yang kompleks, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan peningkatan polarisasi sosial. Fenomena ini tidak hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga merusak keharmonisan antarumat beragama yang telah lama terjaga di Indonesia. Ketiadaan filter yang efektif di media digital membuat informasi yang tidak akurat dan provokatif menyebar dengan cepat, sehingga meningkatkan potensi konflik dan ketegangan antar kelompok.

Dalam konteks ini, Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, memainkan peran krusial dalam menjaga kerukunan umat beragama. NU tidak hanya berfungsi sebagai benteng stabilitas sosial tetapi juga sebagai agen promosi nilai-nilai toleransi dan moderasi dalam beragama. Menghadapi tantangan digitalisasi, peran NU menjadi semakin mendesak, terutama dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya literasi digital dan menyaring informasi sebelum menyebarkannya. Dengan demikian, NU diharapkan dapat terus mempromosikan perdamaian dan keharmonisan antarumat beragama di tengah gempuran arus informasi digital yang sering kali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Baca juga: Humanitarian Islam vs Islam Wasatiyah

Strategi NU dalam menghadapi disrupsi digital mencakup beberapa program utama yang saling berkaitan, yaitu:

  1. Edukasi literasi digital, menjadi fondasi awal dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya memilah informasi dan menghindari jebakan
  2. Program dakwah digital, bertujuan untuk menyebarkan pesan-pesan agama yang moderat dan toleran melalui platform Dakwah digital ini tidak hanya berfokus pada penyebaran ajaran agama, tetapi juga pada promosi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan kerukunan antarumat beragama.
  3. Kampanye anti-hoaks dan ujaran kebencian, berfokus pada edukasi masyarakat mengenai bahaya informasi palsu dan pentingnya verifikasi sebelum membagikan informasi. NU juga mengadakan pelatihan dan seminar yang mengajarkan cara mengenali berita palsu dan mempromosikan penggunaan media sosial yang bertanggung Selain itu, NU aktif berkolaborasi dengan pemerintah dan platform digital untuk mengidentifikasi dan menghapus konten-konten yang berpotensi memicu konflik sosial dan agama.
  4. Kampanye toleransi beragama, berfokus pada penyebaran pesan-pesan moderat dan upaya mempromosikan kerukunan antarumat beragama. Melalui kampanye ini, NU bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya toleransi dan menghargai perbedaan, serta mencegah potensi konflik yang bisa muncul dari kesalahpahaman atau provokasi online.

Peran Ulama NU sebagai Pelopor Dialog Antar Umat Beragama

Nahdlatul Ulama memainkan peran kunci dalam membimbing umatnya menuju pemahaman agama yang mendalam dan inklusif. Keseimbangan antara spiritualitas dan kepedulian sosial yang ditunjukkan oleh ulama menciptakan harmoni antara keagamaan dan kehidupan sehari-hari. (Ahmad Tarmizi Hasibuan dan Ely Rahmawati, 2022) Hal ini membuka pintu bagi umat beragama untuk merasakan bahwa ajaran agama tidak hanya mengajarkan kebenaran spiritual, tetapi juga memberikan landasan bagi kehidupan berdampingan yang saling menghargai.

Keberagaman agama di Indonesia menjadi lebih berarti melalui peran ulama sebagai penggerak dialog antarumat beragama. Dalam konteks ini, ulama bukan hanya memfasilitasi pertemuan formal, tetapi juga berperan dalam menjembatani kesenjangan di tingkat informal melalui interaksi sehari-hari. Aktivitas ini memperkaya pengalaman umat beragama, memperkuat keterikatan antara komunitas agama, dan membentuk fondasi kehidupan berdampingan yang lebih erat. (Julita Lestari, 2020)

Tantangan yang dihadapi oleh ulama, seperti klaim intoleran dan persepsi negatif, memberikan dimensi tambahan pada peran mereka sebagai pemimpin rohani dan pelopor dialog. Dalam mengatasi tantangan tersebut, ulama bukan hanya menjadi representasi kebijakan toleransi, tetapi juga memperlihatkan contoh konkret dalam membangun hubungan yang saling menghormati. Oleh karena itu, peran ulama sebagai pemimpin rohani tidak hanya membangun spiritualitas umat, tetapi juga menciptakan model bagi masyarakat dalam memperlakukan sesama dengan sikap toleransi.

Penutup

Nahdlatul Ulama telah berhasil menciptakan ruang ketiga (third place) sebagai zona toleransi melalui konsep tasamuh yang mengakar dalam tradisi keilmuannya. Transformasi berbagai ruang sosial menjadi arena interaksi lintas agama dan budaya menunjukkan kemampuan NU beradaptasi dengan dinamika masyarakat plural Indonesia. Strategi komprehensif NU dalam menghadapi era digital—meliputi edukasi literasi digital, dakwah moderat, kampanye anti-hoaks, dan promosi toleransi—membuktikan komitmen organisasi ini dalam menjaga keharmonisan antarumat beragama. Keputusan Munas 2019 tentang penggunaan istilah “muwathinun” menggantikan “kafir” mencerminkan sensitivitas NU terhadap pluralitas bangsa.

Peran ulama NU sebagai pelopor dialog antarumat beragama, baik dalam forum formal maupun interaksi sehari-hari, menciptakan keseimbangan antara spiritualitas dan kepedulian sosial. Inovasi ini memberikan kontribusi signifikan bagi terciptanya Indonesia yang toleran, membuktikan bahwa Islam dapat menjadi kekuatan integratif dalam masyarakat majemuk. Era digital menjadi momentum bagi NU untuk memperluas jangkauan dakwah toleransi dan moderasi beragama. Melalui strategi holistik dan berkelanjutan, NU memposisikan diri sebagai guardian of tolerance dalam menjaga kebhinekaan Indonesia untuk generasi mendatang.

Kepustakaan

  1. Rofi’i, M. A., & Zahroh, S. F. (2024). “Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Menjaga Keharmonisan Umat Beragama di Era Disrupsi Digital”. NAHNU: Journal of Nahdlatul Ulama and Contemporary Islamic Studies, 2(2), 339-368.
  2. Jaya, M. A. (2018). “Transformasi Tempat Ketiga (third place) dari Ruang Dalam (indoor) Menuju Ruang Luar (outdoor): Studi Kasus Kota Palembang”. Arsir, 2(1), 57-64.
  3. Karlina, E. M., & Hadade, H. (2024). “Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Menjaga Keberagaman dan Toleransi Beragama”. Tarbiya Islamica, 12(2), 85-94.
  4. Irfani, A. I., Alimi, M. Y., & Iswari, R. (2013). “Toleransi Antar Penganut Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan Kristen Jawa Di Batang”. Komunitas, 5(1).

Nuke Arafah, merupakan mahasiswa program studi akuntansi UNU Yogyakarta

Baca juga: Filantropi Nahdlatul Ulama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *