![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2025/01/annur2dotnet.jpeg)
Sumber gambar: annur2.net
Oleh: Rohmatul Izad
Tidarislam.co – Dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman, nasab juga menjadi salah satu pembahasan penting karena ia berkaitan secara khusus dengan hal-hal tertentu dalam bidang fikih, misalnya seperti waris, perwalian, dan kejelasan di dalam mengetahui silsilah keturunan. Dalam salah satu aspek maqosid al-syariah, ada pula keharusan untuk menjaga keturunan, hal ini menjadi salah satu perintah dalam agama.
Para ulama fikih telah bersepakat dengan menyatakan bahwa nasab merupakan pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke samping. Artinya, nasab adalah sandaran untuk meletakkan sebuah hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya, seorang anak adalah bagian dari bapaknya, dan seorang bapak adalah bagian dari kakeknya.
Dalam konteks ini, nasab merupakan pengakuan syara’ di mana adanya garis keturunan mengimplementasikan adanya hak dan kewajiban. Misalnya, seorang anak yang lahir dari hubungan non-marital, yakni anak yang dibuahi dari hubungan di luar perkawinan yang sah, menurut hukum Islam ia disamakan dengan anak zina dan anak li’an. Dengan begitu, konsekuensi hak dan kewajiban antara anak hasil hubungan marital dan non-marital menjadi berbeda. Itulah kenapa, pembahasan tentang nasab biasanya masuk ke ranah ilmu fikih.
Baca juga: Mutiara Hikmah, Meraih Kemuliaan di Bulan Rajab
Saking pentingnya persoalan nasab ini, Islam mengharamkan penasaban seseorang kepada selain ayahnya sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. “Siapa yang menganggap kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahui bahwa dia bukanlah ayahnya maka surga diharamkan atasnya.” (HR. Bukhari). Dengan begitu, Islam secara khusus membatalkan status pengangkatan anak, yakni penasaban anak angkat kepada ayahnya.
Islam mengatur bagaimana cara memahami dan memelihara nasab supaya orang tidak asal menghubungkan pertalian saudara antara satu dengan yang lain, misalnya ngaku-ngaku memiliki hubungan nasab dengan orang-orang besar di masa lalu seperti mengaku sebagai keturunan Nabi.
Dalam teori ilmu fikih, salah satu cara pengakuan nasab adalah dengan syhuroh dan istifadhoh, yakni telah dikenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama otoritatif yang dibenarkan secara syara’.
Paling tidak, ada empat kriterita dalam pengitsbatan nasab bila merujuk pada model syuhroh dan istifadhoh; pertama. Tersebarnya kabar yang meyakinkan dan kuat terhadap pengakuan nasab seseorang. Kedua, tidak adanya penentangan secara khusus dan umum, atau di dalam catatan-catatan yang jelas. Ketiga, tuanya usia nasab dan kemasyhuran. Keempat, syuhrohnya berada di tempat asalnya, atau ia ada di daerah aslinya, bukan di daerah ia bermigrasi atau berhijrah.
Dengan adanya empat kriteria penetapan nasab di atas, maka tidaklah mudah menentukan garis keturunan secara jelas apabila melihat jarak turun-temurun yang jauh antara seseorang dengan nenek moyangnya. Sehingga orang yang sekedar mengaku memiliki hubungan darah dengan orang lain di masa lalu tidak lantas dapat dibenarkan secara langsung. Keempat kriteria itu sekaligus sebuah upaya agar penetapan nasab harus dipahami secara teliti agar terhindar dari kekaburan.
Misalnya, bila seseorang mengaku memiliki garis keturunan dengan seseorang di masa lalu yang jaraknya lebih dari 500 tahun, maka ia harus bisa membuktikan nasabnya, dengan salah satunya menggunakan catatan nasab yang meyakinkan, terutama catatan yang ada pada era 500 tahun yang lalu atau yang terdekat dengan era itu. Hal ini harus dilakukan lantaran mengandalkan tradisi lisan dalam membenarkan peristiwa atau keadaan di masa lalu tidaklah memiliki validitas yang kuat.
Itulah kenapa, teori nasab tidaklah bisa hanya mengandalkan kabar dan anggapan umum semata. Selain itu, harus dibarengi juga dengan bukti-bukti historis berupa catatan tulisan yang dapat mendukung kebenaran terhadaap pengakuan nasab tersebut. Artinya, teori nasab harus merupakan sekumpulan kaidah yang di dalamnya seseorang dapat memastikan sebuah nasab. Misalnya dengan menghubungan antara ilmu fikih dengan ilmu nasab, lalu dengan ilmu sejarah, dan disiplin terkait lainnya.
Integrasi dan interkoneksi terhadap berbagai disiplin keilmuan ini harus dilakukan supaya kejelasan di dalam menentukan nasab dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya disiplin ilmu sejarah, ilmu biologi pun tidak luput. Misal dengan memastikan nasab melalui tes DNA. Ilmu-ilmu ini bisa saling bekerjasama di dalam menentukan kejelasan nasab.
Menurut Imam Jazuli, ada empat kriteria penting ketika seorang peneliti hendak mengkaji tentang nasab; pertama, mengkaji silsilah yang sedang dikaji dengan kajian nasab yang murni, misalnya menguji nasab dengan meneliti nama-nama dalam silsilah satu persatu melalui berbagai generasi. Pelacakan nama-nama silsilah ini harus merujuk pada sumber-sumber kitab nasab yang otentik. Kedua, mengkaji silsilah nasab dengan kajian sejarah murni, yakni dengan menyodorkan silsilah nasab tersebut sesuai dengan perjalanan sejarah. Ketiga, mengkaji nasab dengan kajian geografis, artinya menelusuri masing-masing generasi secara geografis di dalam peta suatu daerah atau tempat. Keempat, Mengkaji silsilah dalam sudut pandanga ilmu sosiologi, yaitu dengan mengkaji pemikiran, ideologi, dan psikologi.
Bila keempat kriteria di atas terpenuhi, maka akan mudah dan jelas dalam menentukan sebuah nasab. Bahwa menetapkan nasab tidaklah bisa hanya dari pengakuan turun-temurun, tetapi harus dibarengi dengan data-data sejarah yang valid, kemudian dianalisis dengan perangkat ilmu-ilmu modern agar penetapan nasab tidak hanya dilakukan secara sepihak, tetapi kebenarannya juga dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan yang memadai.
Menetapkan nasab tanpa dibarengi dengan seperangkat ilmu yang menyertainya hanya akan berimplikasi pada kebohongan dan ketidakjelasan. Orang bisa saja mengaku memiliki keturunan dengan orang besar di masa lalu, tetapi pengakuan itu harus diuji dengan ilmu kesejarahan. Hal ini dilakukan agar nasab tidak dipermainkan dan hanya disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Ketika Islam mengakui bahwa nasab itu penting sehingga ia harus dipelihara, dijaga, dan dipastikan, maka ada ilmu-ilmu khusus yang harus dikembangkan supaya pemahaman yang jelas terhadap nasab menjadi otoritatif. Tidaklah mungkin memahami nasab hanya sebatas pada pengakuan semata, karena pengakuan nasab memiliki konsekuensi besar dalam agama, terutama dalam hal hubungan dengan sesama manusia.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta