Search

Humanisme Islam dalam Pandangan Kiai Husein Muhammad

Sumber gambar: Ikhbar.com

Oleh: Rohmatul Izad

Tidarislam.co – Husein Muhammad merupakan salah satu pemikir Muslim paling cemerlang di Indonesia. Beliau seorang penulis yang sangat produktif dan memiliki motivasi yang sangat besar dalam memperjuangkan isu-isu kesetaraan gender dan hak-hak asasi manusia.

Salah satu gagasan menarik yang bisa dipelajari dari sosok Kiai Husein adalah mengenai pemikirannya tentang Humanisme Islam. Sebagai pemikir yang memiliki konsentrasi pada bidang kesetaraan dan kemanusiaan, beliau memiliki gagasan otentik tentang humanisme Islam, yakni nilai-nilai kemanusiaan yang bercirikan Islam.

Kiai Husein berpendapat bahwa antara Islam dan nilai-nilai modernitas tidak bisa dipertentangkan. Hal ini terjadi karena Islam adalah agama yang dapat disesuaikan dan menyesuaikan diri dengan semangat zaman. Untuk itu, berbagai gagasan modernitas yang mengiringi perkembangan peradaban manusia, tidak boleh dipahami sebagai sesuatu yang mengancam umat Islam, tetapi harus dipahami sebagai bagian dari upaya umat manusia untuk mendorong pada pemajuan dan perkembangan menuju kehidupan yang lebih baik.

Baca juga: Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Ide Pembaharuan Islam

Salah satu ide modernitas yang paling umum adalah tentang gagasan humanisme. Gagasan ini merupakan sesuatu yang khas dari peradaban Barat modern. Kendati demikian, Islam sesungguhnya telah mengenal gagasan humanisme, meskipun gagasan Islam tidak secara seratus persen sama dengan ide yang bermunculan di Barat, tetapi garis besarnya memiliki kemiripan satu sama lain dan memiliki orientasi yang sama.

Dalam konteks gagasan tentang humanisme Islam, mula-mula Kiai Husein beranjak dari perspektif pemikiran fikih atau hukum Islam. Menurut beliau, fikih pada hakikatnya merupakan pikiran-pikiran cerdas dengan basis teks-teks keagamaan, yakni al-Qur’an dan Hadits. Pikiran-pikiran ini selalu berada dalam ruang dan waktu. Karena itu, terdapat faktor relativitas dan bersifat dinamis.

Dari faktor relativitas dan dinamis itulah, fikih dapat bersifat cair dan menjadi gagasan yang selalu dapat menyesuikan diri dengan pergolakan dan perkembangan zaman. Pada titik inilah, humanisme Islam dapat didialogkan dengan pemikiran-pemikiran modern.

Dalam bukunya berjudul Fiqh Perempuan (2021), Kiai Husein mengatakan bahwa secara ideal, sebagaimana pula agama-agama lain, Islam selalu hadir dalam gagasan-gagasan besar kemanusiaan. Agama memang dihadirkan Tuhan bagi manusia sebagai sarana pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani, kebiadaban, dan perbudakan manusia. Setiap penidasan, tirani, kebiadaban, dan perbudakan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

Di sini, Kiai Husein mengutip pandangan Umar bin Khathab yang mengungkapkan tentang kemerdekaan manusia dalam ucapannya yang sangat terkenal kepada Gubernur Mesir, ‘Amr bin ‘Ash, “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal para ibu melahirkannya dalam keadaan merdeka?”.

Kiai Husein juga menegaskan bahwa Islam sejatinya memang bersifat universal. Universalisme Islam melampaui semua perbedaan manusia. Ia membebaskan berbagai nilai yang dianggap sumber normatif nilai: suku, ras, agama, tanah air, etnis, jenis kelamin, dan kebudayaan. Universalisme Islam, dengan demikian, memberikan makna kesederajatan manusia di hadapan Tuhan. Ini sebagaimana pula disabdakan oleh Nabi, “Tidak ada kelebihan Arab atas non-Arab, selain karena kepatuhannya kepada Tuhan”.

Dalam konteks di atas, tampak jelas bahwa Kiai Husein hendak menegaskan bahwa universalitas Islam, sebagai pangkal dari nilai-nilai humanisme, bertitik tolak pada gagasan tentang kesederajatan manusia, dan ini bersifat asasi. Oleh karena itu, setiap pembedaan antara manusia yang satu dengan yang lain merupakan bentuk ancaman terhadap nilai-nilai asasi manusia.

Kiai Husein menggarisbawahi bahwa Islam memandang manusia sebagai makhluk yang sangat dan paling terhormat di muka bumi. Kemuliaan manusia merupakan hak alami setiap manusia. Karena itu, ia tidak boleh dilecehkan, dinodai, diperlakukan secara kasar, apalagi dihancurkan. Ini berlaku pada siapa saja, laki-laki atau perempuan, Muslim atau bukan. Dalam konteks ini, Kiai Husein mengutip QS. Al-Israa’ 17: 70, “Sungguh benar-benar Kami muliakan manusia…”.

Searah dengan itu, Imam al-Ghazali juga pernah mengatakan, “Tujuan agama adalah melindungi kepentingan (kemaslahatan) lima hal: keyakinan, jiwa, akal, keturunan/kehormatan, dan harta benda”. Kelima prinsip pokok ini merupakan pangkal dari semua nilai kemanusiaan yang perlu dijunjung tinggi dan diperjuangkan hak-haknya.

Baca juga: Muhammad Abduh, Sang Pembaharu Islam dari Mesir

Di sisi lain, Kiai Husein juga mencermati pandangan Ibn Qayyim yang mengatakan, “Syariat dibangun di atas kebijaksanaan dan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Syariat sepenuhnya tentang kemaslahatan, sepenuhnya tentang kebijaksanaan.

Kiai Husein menegaskan bahwa humanisme Islam sangat berbeda dengan humanisme Barat kendati memiliki orientasi yang sama. Bila humanisme Barat berpangkal pada manusia itu sendiri dan meyakini manusia memiliki otoritas untuk memaknai dirinya, maka dalam Islam humanisme dipahami sebagai ajaran yang diorientasikan pada misi ketuhanan. Menjadi manusia berarti menjadi makluk yang berketuhanan, dan sebaliknya, Tuhan hadir untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang paripurna.

Meskipun demikian, antara humanisme Islam dan Barat tidak perlu dipertentangkan. Yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia dapat bahu membahu menuju tujuan yang sama, yakni kesetaraan, keadilan, dan perdamaian bagi sesama. Keyakinan bisa berbeda, tetapi semua keyakinan itu pastilah diarahkan pada cita-cita yang sama, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan setara. Inilah hakikat humanisme Islam yang bersifat universal dan sesuai dengan cita-cita manusia modern.

Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top