Hikmah Peristiwa Isra’ Mi’raj

Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi

Tidarislam.co – Umat Muslim di Indonesia merayakan Isra’ Mi’raj sebagai salah satu peristiwa paling agung dalam sejarah Islam. Isra’ Mi’raj memang tidak dirayakan secara gempita di beberapa negara Islam seperti Saudi Arabia atau negara Timur Tengah yang lain. Muslim di Indonesia, sebaliknya, menghargai keagungan peristiwa Isra’ Mi’raj dengan merayakannya secara nasional oleh masyarakat dan pemerintah setiap tanggal 27 Rajab dalam kalender Islam. Karena merupakan hari spesial, pemerintah menetapkan hari libur nasional untuk memperingati peristiwa agung ini.

Dari sudut pandang kebudayaan, tentu perayaan Isra’ Mi’raj merupakan manivestasi kebudayaan Islam di Indonesia. Sebuah peristiwa budaya religius, perpaduan antara nilai-nilai holistik Islam dengan kearifan lokal masyarakat Timur yang menghargai spiritualitas. Kisah Isra’ Mi’raj telah melekat dalam kehidupan masyarakat, mulai dari perayaan di Istana Negara hingga di surau-surau dan desa-desa. Tradisi Rajaban untuk merayakan Isra’ Mi’raj, misalnya, telah menjadi tradisi lokal di berbagai daerah dengan segala keunikannya. Kisah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW ini juga diterjemahkan dalam berbagai bentuk lagu berbahasa lokal.

Baca juga: https://tidarislam.co/mengenal-tradisi-rajaban/

Lalu apa itu Isra’ Mi’raj, dan apa pula pesan di balik peristiwa kenabian itu? Isra’ Mi’raj mengacu kepada peristiwa perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW bersama malaikat Jibril, perjalanan yang terjadi hanya dalam satu malam (the miraculous night journey). Perjalanan itu terjadi dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, yang disebut dengan “Isra'”. Kemudian perjalanan dari Masjidil Aqsa Palestina menuju ke Sidratul Muntaha yang disebut “Mi’raj”. Sidratul Muntaha, selain berarti tempat penghabisan, dimana tidak ada lagi batas luarnya, ada juga yang menafsirkannya sebagai kearifan (makrifat) dan kebijaksanaan paling paripurna yang tidak ada lagi Nabi-nabi yang mampu melampuinya.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab, tetapi berbeda pendapat dalam angka tahun kenabiannya. Ada yang mengatakan terjadi pada tahun ke-10, ke-11, dan ke-12 kenabian. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, Isra’ Mi’raj merupakan pengalaman spiritual paling spektakuler yang tak dijumpai dalam kisah-kisah kenabian yang lain. Kisah pengalaman spititual Nabi Muhammad SAW tersebut mengokohkan kedudukan kenabian beliau sebagai nabi yang paripurna.  

Peristiwa ini diabadikan secara “sarih” (jelas) dalam al-Quran, sekaligus menjadi nama surat ke-17 yang mengabadikan peristiwa tersebut dalam Q.S. Al-Isra yang artinya: “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”.

Selain awal surat Al-Isra, beberapa ayat al-Quran juga mengandung makna yang mengacu kepada peristiwa seputar Isra’ Mi’raj, antara lain Q.S. An-Najm: 12-15 yang artinya :“(12) Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu? (13) Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (14) (yaitu) di Sidratul Muntaha, (15) di dekatnya ada surga tempat tinggal, (16) Muhammad melihat (Jibril)ketika Sidratil muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.”

Baca juga: https://tidarislam.co/mutiara-hikmah-meraih-kemuliaan-di-bulan-rajab/

Nurcholish Madjid (1999) menjelaskan bahwa ayat Isra’ Mi’raj ini sesungguhnya terkait erat dengan persiapan misi kenabian Nabi Muhammad SAW. Perjalanan Isra’ berarti perjalanan napak tilas kenabian. Allah memperjalankan Nabi Muhammad SAW untuk melihat jejak-jejak dan situs-situs kenabian sebelumnya di Yerusalem. Sejarah kenabian terkait erat dengan sejarah perjalanan Bani Israel seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa, dan seterusnya. Oleh karena itulah dalam peristiwa Isra’ (di Palestina) dan Mi’raj (menuju Sidratul Muntaha) tersebut banyak peristiwa perjumpaan dengan Nabi-nabi sebelumnya, yang banyak juga berasal dari Bani Israel. Nabi Muhammad SAW bahkan sempat menunaikan shalat dan menjadi Imam para Nabi-nabi. Maka awal surat al-Isra tersebut kemudian diikuti dengan ayat-ayat tentang kisah Bani Israel (ayat 2-8 dan di akhir surat), sehingga surat al-Isra diberi nama lain surat Bani Israel.

Beberapa ulama penafsir al-Quran sebetulnya telah menggunakan pendekatan ilmiah dan pendekatan rasional, dan mereka membuktikan rasionalitas yang kuat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Di antaranya, misalnya, Imam Fakhruddin al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, dan Imam Thanthawi dalam al-Jawahir fi Tafsir al-Quran menjelaskan bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasad sebagaimana dialami Nabi Muhammad SAW sangatlah memungkinkan, dan itu sangat alamiah. Namun, terlepas dari kebenaran fakta objetif mengenai Isra’ Mi’raj, menurut mereka yang lebih penting bukanlah memperdebatkan seperti apa kondisi sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa itu, tetapi sejauh mana kita mampu menarik pelajaran dan hikmah yang dapat kita jangkau dan kita amalkan dari setiap kejadian di balik peristiwa spiritual tersebut.

Gambar: Karya seni lukis pada abad ke-16 yang tersimpan di British Museum, mengilustrasikan tentang peristiwa perjalanan Isra’ Mi’raj.

Sebagai bagian dari perayaan Isra’ Mi’raj, kita bisa memetik beberapa hikmah dari perayaan peristiwa agung yang telah diberitakan al-Quran tersebut. Peristiwa Isra’ Mi’raj mengandung hikmah pada beberapa aspek:

Pertama, aspek akidah atau keyakinan. Dengan pengalaman spiritual kenabian tersebut, Allah ingin menunjukkan kebenaran tentang berita-berita yang disampaikan kepada Nabi, dengan menjadikan Nabi Muhammad SAW menyaksikan sendiri keberadaan surga, neraka, hari pembalasan, malaikat, dan keberadaan Allah SWT. Hal itu juga berarti memantabkan hati, meneguhkan keimanan atau keyakinan kita selaku umat Nabi Muhammad SAW tentang betapa luasnya kemahakuasaan Tuhan.

Memang terjadi banyak perdebatan seputar peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai sebuah fakta, terutama jika dilihat dari perspektif rasional dan empiris yang menuntut kebenaran ilmiah suatu fakta dan kesesuaian dengan hukum alam. Namun kebenaran religius mengandaikan pendekatan transendental dan intuitif yang melampui pendekatan rasional dan empiris, sehingga dalam pandangan Islam, kebenaran ilmiah tidak diukur sekedar dari “apa yang tampak inderawi”. Apalagi al-Quran telah menegaskan perihal keterbatasan pengetahuan inderawi manusia itu (Q.S. Al-Isra’: 85) mengenai hal-hal rohani dan alam di balik tabir inderawi manusia.

Untuk itulah, peristiwa Isra’ Mi’raj justru bukti tentang keluasan dimensi alam semesta dalam kekuasaan Ilahi yang tak terbatas, dan segala yang diluar kemampuan nalar manusia biasa untuk menjelaskannya. Itu menjadi ranah agama untuk menjelaskannya agar dapat diterima dengan keimanan secara terbuka terhadap berita-berita kegaiban yang hanya diketahui manusia dengan sangat terbatas, seperti tentang surga, neraka, dan hari akhir.

Kedua, peristiwa Isra’ Mi’raj juga mengandung hikmah pada aspek ibadah. Bagi umat Nabi Muhammad SAW, yang terpenting adalah pesan moral di balik peristiwa Isra’ Mi’raj. Salah satunya, peristiwa ini mengajarkan kita bahwa Tuhan, melalui Nabi Muhammad SAW, hendak menyempurnakan akhlak manusia melalui risalah-risalahnya. Salah satunya adalah perintah shalat yang diterima Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya. Dalam peristiwa Mi’raj tersebut, Allah menyampaikan pesan Nabi Muhammad SAW dan umatnya untuk mendirikan shalat 5 waktu dalam sehari. Dan agama Islam telah menggariskan pentingnya shalat, khususnya shalat 5 waktu, sebagai elemen dasar dalam agama yang sifatnya fardhu. Selain itu, shalat-shalat lainnya yang bersifat sunnah di luar shalat fardhu juga menjadi bagian penting mencapai tujuan moral agama Islam. Salah satu tujuan disyariatkannya shalat adalah untuk menjaga manusia dari terjerumus dalam hal-hal yang menciptakan kelaliman dan merusak kehidupannya (Q.S. Al-Ankabut: 45).

Shalat yang diturunkan perintahnya saat Isra’ Mi’raj juga menjadi medium kita untuk mengingat, berhadapan, bahkan berkomunikasi batin dengan Allah, sesuai dengan tingkat kekhusyukan masing-masing. Shalat adalah sarana “mi’raj”-nya umat muslim. Salah satu bacaan dalam shalat, ketika tahiyyatul akhir, mencerminkan dan mengingatkan momentum spiritual perjumpaan Nabi Muhammad SAW dengan Allah SWT, sehingga menjadi pengingat bagi kita untuk turut masuk dan merasakan pengalaman transendental tersebut.

Ketiga, peristiwa Isra’ Mi’raj juga menyampaikan hikmah yang istimewa tentang hubungan cinta atau mahabbah kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Allah benar-benar telah memberikan anugerah yang tak ada bandingannya dan memuliakan Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih Allah SWT melalui peristiwa agung tersebut. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Allah memperjalankan Nabi Muhammad SAW dalam konteks menghibur setelah mengalami “hari-hari kesedihan” agar kekasih-Nya itu tidak larut dalam kesedihan, memberinya semangat, dan mempersiapkan mental yang kuat untuk mengemban tugas berat menyampaikan risalah Islam.

Dengan begitu, peristiwa Isra’ Mi’raj mengingatkan kita tentang ketinggian maqam kenabian di sisi Allah, agar kita meningkatkan rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW yang mulia. Beberapa ekspresi kecintaan pada Nabi Muhammad SAW tampak dalam bait-bait shalawat (sanjungan-sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW). Salah satunya, misalnya, bacaan tarhim (penghormatan), yang selalu mengingatkan kita akan peristiwa agung yang dialami Nabi Muhammad SAW tersebut. Shalawat tarhim yang sangat populer di Indonesia diciptakan oleh Syekh Mahmud al-Hussary, seorang pembaca al-Quran dari Mesir. Pada tahun 1960-an, beliau berkunjung ke Indonesia, dan sempat merekam shalawat tarhim tersebut untuk disiarkan melalui radio-radio. Bacaan tarhim akhirnya menjadi salah satu bacaan paling populer di masyarakat Indonesia, terutama ketika diperdengarkan pada bulan Ramadhan. Di dalam bacaan shalawat tarhim terkandung pujian dan ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mendapatkan anugerah pengalaman spiritual paling spektakuler, diperjalankan oleh Allah ke Sidratul Muntaha dan menjadi pemimpin shalat bagi segenap makhluk di langit. Bacaan tersebut menunjukkan kedudukan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih Allah dan manusia yang paling terpuji.

Demikianlah, perayaan Isra’ Mi’raj hendaknya dapat dijadikan sebagai momentum kita semua untuk memperkuat keimanan dan keyakinan kepada kemahakuasaan Tuhan, memperbaiki perilaku keagamaan melalui perbaikan kualitas ibadah shalat, dan mempertebal rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW. Wallahua’lam.

 

2 thoughts on “Hikmah Peristiwa Isra’ Mi’raj

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *