![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2025/01/WhatsApp-Image-2025-01-02-at-19.35.46-1024x768.jpeg)
Gambar perayaan Sadranan di Kelurahan Kalisegoro, Kecamatan Gunungpati, Semarang. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Oleh: Mohammad Noviani Ardi
Tidarislam.co – Memasuki bulan Rajab, sebagian besar masyarakat Muslim Jawa di Indonesia memuliakannya dengan berbagai macam kegiatan keagamaan, salah satunya Sadranan. Kata Sadranan atau Nyadran memang identik dengan ritual Hindu-Budha yang diasosiasikan sebagai sesuatu yang bermuatan syirik, sesat, bid’ah, mengandung animisme dan dinamisme.
Memang secara kebahasaan, kata Sadranan berasal dari kata Sansekerta yaitu Sradda yang berarti keyakinan. Namun sebenarnya, dalam tradisi masyarakat Jawa, ritual Sadranan ini tidak masuk dalam aspek keyakinan teologis, tetapi hanya sebatas praktik adat istiadat, kearifan lokal, ataupun sebuah tradisi semata. Sehingga, Sadranan bukanlah praktik kesyirikan. Sebab, sebenarnya, nilai-nilai Islam telah mengalami akulturasi dalam tradisi Sadranan ini dan telah berlangsung sangat lama selama kurang lebih 7 abad. Sehingga model tradisi Sadranan hingga saat ini sudah sangat inovatif dan variatif sebagai praktik religius tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa di tengah tergurusnya budaya oleh arus modernisasi.
Masyarakat Jawa selama ini terkenal dengan tatanan sosial yang mempertahankan pelestarian nilai-nilai leluhur dalam mengimplementasikan keyakinan religius mereka. Maka wajar jika Clifford Geertz, seorang antroplog dari Amerika, mengangkat tesis sebagai Agama Jawa (The Religion of Java). Ritual Sadranan, dalam hal ini, merupakan bagian dari Agama Jawa dalam pengertian Geertz tersebut.
Baca juga: https://tidarislam.co/mengenal-tradisi-rajaban/
Sebenarnya, jika kita menelaah tradisi Sadranan lebih mendalam, maka kita akan menemukan setidaknya terdapat tiga makna atau nilai utama yang saling terkait, yang dapat disebut dengan “trilogi intersubjektif”, yaitu nilai keharmonisan antara tatanan sosial, alam dan leluhur.
Pertama, terkait harmoni sosial. Jika kita mendalami makna sosial dalam Sadranan, kita akan menemukan bagaimana masyarakat muslim Jawa berlomba-lomba untuk menyedekahkan sebagian harta dan hasil kebunnya. Selain itu, tradisi Sadranan ini juga menjadi ajang bersilaturahmi antar keluarga dan masyarakat sekitar. Melalui tradisi ini mereka bisa saling menyapa, dan tidak sedikit dari mereka memasak untuk menerima tamu di rumahnya. Hal ini tentu menegaskan karakter masyarakat Jawa yang lumo atau bentuk pribadi yang dermawan dan suka bersedakah.
Makna kedua, yaitu terkait bagaimana masyarakat muslim Jawa dapat berinteraksi dengan alam. Biasanya, sebelum dilaksanakan tradisi Sadranan, masyarakat sekitar melakukan kerja bakti atau resik-resik kubur untuk membersihkan makam di lingkungan mereka dengan memotong rumput, membersihkan sampah, dan merapikan pohon sekitar dengan penuh rasa kesungguhan dan penghormatan kepada leluhur. Kegiatan tersebut sebenarnya dapat dimaknai bahwa alam juga mendapat ruang dalam kehidupan masyarakat Jawa sebagai bentuk menjaga relasi antara manusia dengan alam sehingga alam dapat terjaga dan terhindar dari bala.
Kemudian, makna ketiga terkait hubungan harmonis dengan leluhur. Jika memahami lebih dalam lagi dalam tradisi Sadranan ini, tampak bagaimana masyarakat muslim Jawa di Indonesia tetap menjaga interaksi dengan para leluhur mereka dengan memanjatkan doa sebagai penghormatan kepada orang tua mereka. Tradisi Sadranan yang memang umumnya dilaksanakan di makam leluhur tentu memiliki nilai-nilai spesifik dalam imajinasi sebagian besar masyarakat. Selain menjadi ajang bermuhasabah mengingatkan diri tentang kematian, juga mengingatkan untuk terus berusaha lebih baik dalam sikap maupun tingkah laku. Tradisi nyekar dalam Sadranan ini dapat dilihat sebagai suatu bakti anak atau cucu kepada leluhurnya dengan memanjatkan doa sebagai bentuk birrul walidain ketika tidak lagi bersua secara fisik.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2025/01/WhatsApp-Image-2025-01-02-at-19.45.11-Copy.jpeg)
Masyarakat Kalisegoro Nyadran di Makam Gogo Sitinggil Kalisegoro. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Dari 3 makna utama ini, kemudian menjadi pertanyaan di mana nilai agama? Nilai agama justru menjadi inti atau core dari kegiatan Sadranan. Artinya, tradisi Sadranan merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah SWT dengan mensyukuri nikmat alam, tananan sosial yang tentram dan damai serta keteraturan alam melalui bentuk sedekah serta mempertahankan silaturahmi antar warga. Disitulah letaknya nilai religiusitas.
Salah satu contoh untuk meningkatkan nilai spiritualitas melalui tradisi Sadranan ini ada di Kampung Kalisegoro Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Masyarakat disana menambahkan kegiatan khatmil Qur’an 30 Juz bersama masyarakat dan pengajian memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dengan ini, tradisi Sadranan yang awalnya dinilai bermuatan syirik justu menjadi momen penting untuk meningkatkan spritualitas masyarakat. Dengan demikian, melihat filosofi dalam tradisi ini, seakan terdapat “relasi intersubjektif” dari aspek sosial, alam, dan leluhur yang didasari dengan nilai-nilai agama.
Tentunya, dengan melestarikan tradisi Sadranan ini juga akan menguatkan karakter masyarakat Jawa dalam berbudaya dan beragama dengan rukun serta sikap hormat. Esensinya sebenarnya adalah, bahwa bulan Rajab merupakan bagian dari proses spiritual sepanjang bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT sebagai bulan muharramat dan dengan segala kegiatan sosial, agama dan budaya di dalamnya, mulai dari proses spiritual pada bulan Rajab, hingga bulan Sya’ban, sampai puncaknya di bulan Ramadhan.
Mohammad Noviani Ardi, merupakan dosen UNISSULA Semarang, dan sedang menempuh S3 di Fakultas Filsafat UGM.