Habaib dan Otoritas Keagamaan Pasca Orde Baru

Oleh: Rohmatul Izad

Tidarislam.co – Jauh sebelum era orde baru, citra habaib dalam otoritas keagamaan agaknya kurang diperhitungkan. Keberadaan mereka kurang memiliki tempat dan bahkan dianggap tidak penting. Hal ini bisa dipahami mengingat dakwah mereka kurang mengakar kuat di masyarakat. Justru keberadaan ustad kampung dan kiai pesantren jauh memiliki posisi status sosial keagamaan yang lebih kuat karena mereka semua memiliki kultur pengajaran agama Islam yang mendasar di madrasah-madrasah.

Memang, sejak dulu habaib telah dikenal sebagai keturunan Nabi, mereka juga memiliki perkumpulan bernama Rabithah Alawiyah. Namun demikian, masyarakat tidak terlalu gandrung dengan habaib mengingat mereka mula-mula tidak datang sebagai ulama yang sejak awal memang memiliki orientasi berdakwah.

Namun sejak pasca orde baru, citra habaib berubah total sejak kelahiran organisasi Front Pembela Islam (FPI) yang diinisiasi oleh Habib Riziq Shihab. Baik secara keagamaan maupun politik, citra habaib kemudian masuk ke ranah diskursus nasional dan menjadi salah satu simbol keulamaan baru yang memiliki pengaruh dalam otoritas keagamaan.

Apa yang membuat FBI menjadi begitu besar dan menjadikan sesosok habaib begitu penting? Pertama, umat Islam Indonesia sejak awal memang memahami mereka adalah keturunan Nabi, kendati banyak yang tidak tahu asal-usulnya. Kedua, FPI sering membawa-bawa nama NU di panggung dakwahnya dengan mengatakan bahwa FPI adalah anak kandung NU. Ketiga, ada elit-elit politik yang memang menjadikan FPI sebagai alat politik yang kemudian membuat organisasi ini menjadi makin besar dan diperhitungkan.

Baca juga: MLB dan Serangkaian Polemik di Tubuh NU

Sejak kelahiran FPI itulah, citra habaib menjadi sangat dikenal dan memiliki kedudukan yang sangat istimewa di hati masyarakat. Di samping itu, kelahiran berbagai majelis shalawat yang banyak diinisiasi oleh para habaib, sebut saja misalnya Majlis Ahbabul Musthafa yang dibuat oleh Habib Syech dari Solo, menjadikan citra habaib makin dikenal luas dan digandrungi masyarakat. Kendati sebelum itu telah banyak majelis shalawat, tetapi keberadaannya tidak sepopuler yang dibawakan oleh Habib Syech.

Meski citra habaib telah membumi secara nasional, keberadaan mereka tidak benar-benar diperhitungkan secara keilmuan layaknya kiai-kiai pesantren. Hal ini bisa dipahami karena banyak yang tidak jelas pula di mana para habaib ini belajar agama, sehingga masyarakat tidak memahami sosok habaib sebagai ahli ilmu dalam pengertian umum, tetapi lebih sebagai sosok yang disakralkan karena mereka dianggap keturunan Nabi.

Otoritas keagamaan yang dimiliki oleh para habaib ini lebih berkaitan dengan pengaruh politik dan pengkultusan agama ketimbangkan otoritas fatwa keagamaan yang mereka miliki. Sebab, sejauh ini tidak begitu banyak orang yang menyandarkan paham keagamaannya pada habaib, melainkan orang lebih banyak menyandarkan pada organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Fatwa MUI, dsb. Dalam pengertian ini, FPI lebih banyak dipahami sebagai organisasi Islam politik yang tidak murni berorientasi pada agama.

Para habaib yang tidak berafiliasi dengan FBI, biasanya lebih banyak memiliki majelis-majelis tersendiri, terutama majelis shalawat dan zikir, baik yang bersekala nasional seperti Habib Syech, maupun pada skala yang lebih kecil di komunitas mereka. Di lingkungan habaib, mereka banyak memiliki rutinan, baik di kalangan mereka sendiri maupun bersama masyarakat sekitar.

***

Terlepas dari itu semua, dalam dua tahun terakhir, keberadaan habaib diuji dengan adanya kajian akademik yang dipopulerkan oleh Kiai Imad dari Banten yang pada intinya menentang asal-usul mereka sebagai keturunan Nabi. Menurut Kiai Imad, kelompok habaib yang tergabung dalam organisasi Rabithah Alawiyin bukanlah keturunan Nabi, sebab nasab mereka terputus dari nenek moyangnya.

Baca juga: Otoritas Pemangku Kebenaran Menurut Imam Al-Ghazali

Melalui gugatan yang dilakukan oleh Kiai Imad ini, publik Indonesia menjadi geger dan umat Islam banyak yang terbelah antara menjadi pengikut setia habaib atau berada di barisan Kiai Imad. Dalam konteks ini, otoritas keagamaan habaib digoyang dan tidak sedikit habaib yang stres dengan isu yang digulirkan oleh Kiai Imad. Mereka seperti kehilangan taringnya dan takut tidak diakui lagi orang umat Islam, yang akhirnya akan berdampak pada otoritas keagamaan mereka.

Benar tidaknya tesis yang diajukan Kiai Imad, yang pasti tesis itu memiliki pengaruh yang sangat besar bagi umat Islam Indonesia. Sebab, sejak dua tahun terakhir, banyak umat Islam telah bergeser haluan yang dulu sangat gandung dengan habaib dan berakhir tidak mempercayainya lagi.

Hadirnya tesis Kiai Imad itu juga banyak berdampak bagi sosok Habib Lutfi yang selama ini menjadi tokoh yang paling banyak diikuti oleh umat Islam Indonesia, terutama warga Nahdliyin. Akibat dari gonjang ganjing tesis Kiai Imad dan beberapa masalah lainnya, Habib Lutfi akhirnya turun tahta dari ketua perkumpulan tarekat bernama Jatman, sebuah organisasi tarekat milik NU yang sejauh ini telah membesarkan nama Habib Lutfi. Pasca tidak memiliki jabatan di Jatman, akhirnya beliau mendirikan perkumpulan tarekat sendiri bernama Patman. Ini semacam organisasi tandingan bagi Jatman yang ada di bawah naungan NU.

Sejak bergulirnya tesis Kiai Imad, otoritas keagamaan yang dimiliki oleh habaib seperti kembali pada masa sebelum orde baru. Sekarang, keberadaan mereka kurang diperhitungkan dan banyak pula yang telah menganggap tidak penting. Hal ini bisa dimengerti karena yang banyak mengagung-agungkan para habaib adalah orang-orang NU, sementara orang NU sendiri sudah tidak menaruh simpati kepadanya.

Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *