Globalisasi, Demokrasi, dan Otoritarianisme di Dunia Arab-Islam

Tidarislam.co – Tulisan singkat ini hendak mereview sebuah artikel karya Mustapha Kamal Pasha berjudul “Predatory Globalization and Democraty in the Islamic World” terbitan Sage Publishing tahun 2002. Bila melihat dari judulnya tampak bahwa karya Pasha ini membahas masalah globalisasi dan demokrasi di dunia Islam, atau lebih khusus lagi di wilayah Timur Tengah yang berkebudayaan Islam.

Artikel Pasha sangat menarik karena mencoba memahami pengaruh buruk globalisasi di dunia Arab yang telah memicu gejolak konflik yang luar biasa di Timur Tengah dengan diperkuat oleh otoritarianisme dan tumbuh suburnya gerakan fundamentalis atau Islamisme. Menurut Pasha, alih-alih berdampak positif bagi dunia Arab, globalisasi dalam banyak bentuknya telah menjadi pemangsa (prodator) bagi kehidupan sosial-politik masyarakat Arab.

Kita bisa menyaksikan bahwa kebangkitan luas pada aktivitas keislaman (gerakan Islamisme), termasuk munculnya politik penuh kekangan di wilayah berkebudayaan Islam (Timur Tengah) yang diprakarsai oleh kekuasaan otoriter seringkali dilihat sebagai reaksi terhadap globalisasi dan modernisasi Barat. Namun, globalisasi secara spesifik juga merupakan bentuk pemangsa yang mematikan, sebagai dasar dari tumbuh suburnya Islamisme.

Menurut Pasha, globalisasi pada dasarnya memiliki banyak jebakan. Misalnya, globalisasi menawarkan dunia tanpa batas, tetapi ini hanya bisa dinikmati segelinter orang saja seperti kaum elit dan penguasa. Ketika negara mengikuti sistem global seperti neo-liberal, sistem ini tidak berdampak baik bagi masyarakat tetapi justru menjebak masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konteks yang lebih luas tentang problem antara dunia Islam dan Barat.

Seringkali Barat dan Orientalis menganggap Islam dengan sebelah mata. Yaitu sebagai wilayah yang anti modernitas dan anti demokrasi. Gambaran ini terus disuarakan sehingga wajah dunia Arab-Islam seperti itu terus, tanpa ada perubahan yang signifikan. Dan, Barat tampak sangat hegemonik dalam gagasannya tentang modernitas.

Barat melihat kebudayaannya sebagai kebudayaan yang universal (seperti demokrasi, liberalism, modernisme), sementara universalitas Barat ini tentu saja tidak bisa diterima oleh dunia Islam. Tetapi, masyarakat Arab-Islam di Timur Tengah yang tidak bisa menerima Barat ini kemudian dilihat sebagai fenomena anti-modernitas di dunia Islam.

Karakteristik Negara-negara Arab dan Islamisme

Dalam pandangan Pasha, karakteristik kekuasaan yang diyakini masyarakat Arab adalah tidak bisa memisahkan antara agama dan politik, dan inilah yang membuat mereka tidak bisa menerima gagasan neo-liberal dan sekularisme. Orang Arab sesungguhnya mau menerima demokrasi (seperti tuntutan dalam fenomena Arab Spring tahun 2010), tetapi demokrasi yang berbasis pada agama.

Selama ini, khususnya di dunia Barat, ada anggapan bahwa umat Islam adalah kelompok yang irasional. Sehingga ide-ide tentang demokrasi, kesetaraan, dan lainnya, banyak ditolak oleh masyarakat Arab. Adanya gerakan Islamisme atau fundamentalisme Islam bisa juga merupakan respon terhadap anggapan tersebut. Pasha mengatakan bahwa “Islamisme itu juga orang-orang modern, tapi tanpa sekularisme, dalam arti setiap gerakan politik harus ada agamanya”.

Baca juga: Suriah dan Masalah Demokrasi di Timur Tengah

Apa itu Islamisme? Pasha membagi Islamisme menjadi tiga kelompok: pertama, Islamisme yang secara resmi berkuasa, seperti kekuasaan di Iran melalui revolusi melawan modernisasi sekuler. Sudan juga menjadi contoh bagaimana kelompok Islamis yang mengambil-alih kekuasaan negara.

Kedua, Islamisme yang berdampingan dengan negara. Seperti di Pakistan dengan Jemaah Islami dan Malaysia dengan Angkatan Belia Islam (kalau di Indonesia mungkin PKS). Ketiga, Islamisme menjadi rival negara, seperti di Suriah, Maroko, Turki, Algeria, Afganistan, dan Mesir dengan berbagai variannya.

Masalah Demokrasi di Dunia Islam

Di seluruh dunia Arab-Islam, seringkali konflik terjadi tidak hanya antara rezim otoriter dan oposisi Islamis, tetapi juga antara Islamisme dan demokrasi liberal. Sebagai contoh misalnya di negara Suriah dengan adanya ISIS dan di Afganistan dengan adanya kelompok Taliban atau al-Qaeda.

Otokrasi (pemerintahan yang otoriter) mengatakan bahwa demokrasi itu asing bagi orang-orang Arab, sedangkan kalangan Islamis mengatakan bahwa demokrasi itu asing bagi Islam. Lemahnya demokrasi di dunia Islam juga tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada imperialisme dan warisan kolonialnya, atau dengan teori konspirasi.

Dalam demokrasi, kekuasaan itu didepersonalisasikan, artinya kekuasaan bukan terpusat di individu tetapi dipusatkan melalui institusi, seperti pengadilan atau lembaga legislatif, bukan pada perorangan yang memegang kendali. Dalam Islam, iman mengejawantahkan orotitas yang dipersonalisasikan. Misalnya seperti kekuasaan individu sebagai mandat dari Tuhan yang dikenal dengan istilah penguasa Khalifah atau kekhalifahan.

Agamaisasi politik yang diyakini oleh kalangan Islamis sama sekali tidak meninggalkan ruang bagi negosiasi seperti dalam demokrasi, hal ini karena sesuatu yang suci tidak bisa ditawar-tawar atau dinegosiasikan. Ini menjadi jelas bahwa kekuasaan yang diyakini kelompok Islamis adalah kekuasaan Tuhan yang dipersonalisasikan dalam individu dalam sebuah negara Islam. Dalam konteks ini sangat wajar mereka tidak bisa menerima demokrasi dan sekularisme yang jelas-jelas dianggap bertentangan dengan Islam.

Jebakan Politik

Dalam konteks kekuasaan politik di Timur Tengah, ketika sebuah negara mengakomodir suara-suara dari kalangan Islamis, itu sama saja bunuh diri demokrasi. Akan tetapi, jika negara menolak partisipasinya dalam politik, demokrasi juga menjadi inkonstitusional.

Di sini ada upaya untuk membajak demokrasi oleh kalangan Islamis, dan jika pembajakan ini berhasil maka akan membahayakan bagi isu-isu seperti kesetaraan gender, hak-hak minoritas, dan sebagainya. Artinya ketika kalangan Islamis ini mengambil alih kekuasaan, maka akan semakin membahayakan bagi kehidupan yang demokratis di dunia Arab.

Hal ini juga menegaskan tentang adanya dilema globalisasi di dunia Islam. Misalnya, globalisasi yang berlangsung dengan sistem neo-liberal hanya akan melemahkan posisi negara. Maksudnya negara kemudian tidak memiliki kontrol.

Mendukung Islamisme juga akan melemahkan posisi negara, dan mendukung neo-liberal juga berakibat pada fatalnya distribusi ekonomi. Jika di negara-negara berkebudayaan Islam seperti Timur Tengah mengikuti pola neo-liberal, ini hanya akan menambah hegemoni Barat dan melemahkan posisi Islamis yang secara kultural termarjinalisasi.

Tekanan negara terhadap Islamislah yang nantinya akan menjadikan mereka semakin ekstrem. Jadi, salah satu faktor lahirnya ekstremisme itu karena suara-suara mereka tidak diakomodir oleh negara yang sah. Mengapa mereka bisa menjadi ekstremis? Karena (interpretasi) agama melegitimasi itu.

Alih-alih mengamini pendapat terdahulu yang mengatakan maraknya penggunaan identitas atau simbol Islam dalam praktik politik sebagai fenomena anti globalisasi-modernisasi, justru yang terjadi sebaliknya, globalisasi beserta wataknya yang “memangsa/predator” justru menjadi faktor penting dalam menciptakan kondisi yang subur bagi maraknya Islamisme.

Melemahnya kapasitas negara-negara di Timur Tengah dalam memenuhi layanan sosial-ekonomi, yang berarti menurunkan pengaruhnya di mata warga atau dunia, membuka jalan bagi neo-liberalisme, dan menciptakan jarak dengan warga. “Jarak” yang melahirkan pengasingan secara politik mendorong negara menjadi semakin represif dan otoritarian. Di sisi lain, membatasi ruang ekspresi Islamisme, juga bisa membuat mereka mengarah menjadi ekstremis.

Apa Solusinya?

Dalam konteks dilema globalisasi dan demokrasi di Timur Tengah, Mustapha Kamal Pasha mengatakan bahwa solusi terbaiknya adalah membuka jalan bagi demokrasi-liberal. Di negara-negara Arab-Islam, ada penolakan yang meluas pada globalisasi neo-liberal . Juga, globalisasi ini pada tingkatannya dianggap sebagai “iblis”.

Adanya watak predator dari dampak globalisasi ini (yang memicu lahirnya semua bentuk aksi-reaksi) bukannya menyuburkan, tetapi justru mengancam kelangsungan demokrasi liberal itu sendiri. Dan, berhasil tidaknya (prospect) sistem demokrasi liberal tergantung pada bagaimana resolusi dialektika internal di tubuh negara-negara Arab-Islam.

Negosiasi dan pengamalan budaya demokrasi menjadi kunci utama bagi masyarakat dan pemerintah untuk membangun sistem politik demokrasi yang baik dan sehat. Tanpa membangun kultur demokrasi di tingkat masyarakat sipil, penerapan sistem kekuasaan yang demokratis akan menjadi sia-sia dan terkesan dipaksakan.

Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

One thought on “Globalisasi, Demokrasi, dan Otoritarianisme di Dunia Arab-Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *