Tidarislam.co- Buku ini berjudul Fort De Kock dan Depresi Ekonomi, dengan judul kecil “Catatan Suksesnya Kongres XIX Muhammadiyah di Bawah Empasan Badai Malaise”. Buku ini merupakan publikasi hasil riset terbaru dari seorang sejarahwan muda Muhammadiyah, Fikrul Hanif Sufyan.
Dalam kajian tentang Muhammadiyah (Muhammadiyah Studies), riset sejarah ini menawarkan suatu penggalan sejarah Muhammadiyah di era kolonial. Masa itu adalah masa-masa ketika cabang-cabang Muhammadiyah berkembang secara nasional, sehingga menjadi momentum penting dalam sejarah Muhammadiyah.
Penulis mencatat kisah sukses Muhammadiyah lokal Minangkabau dalam menyelenggarakan kongres dan mengumpulkan kader-kadernya secara nasional, dikenal sebagai Kongres Minangkabau, di tengah situasi ekonomi yang cukup sulit.
Fort de Kock adalah nama yang disematkan pada Bukittinggi pada masa kolonial. Keindahan alamnya yang eksotis, ditambah lubang karabao (Karbauwengat)—penamaan di masa kolonial Belanda untuk Ngarai Sianok—yang memukau tiap-tiap mata yang memandang, membuat Fort de Kock booming, terutama di kalangan para pelancong.
Namun, siapa yang pernah menduga, di masa depresi ekonomi melanda dunia, ranah kelahiran Bung Hatta ini menjadi tuan rumah perhelatan akbarnya Muhammadiyah.
Penunjukan Fort de Kock selaku tuan rumah Kongres ke-19 Muhammadiyah adalah kali pertama di luar Jawa. Di Kongres ke-18 di Solo, Kiai Fachrodin meminta pada utusan asal Minangkabau agar bersedia menjadi tuan rumah berikutnya untuk menyelenggarakan acara besar di luar tanah Jawa.
Pengalamannya dua kali kunjungan ke Sumatra Westkust dan menyaksikan semaraknya Islam modernis yang bergerak bersama Muhammadiyah menjadi satu dari sekian sebab Kiai Fachrodin terpesona dengan pesatnya persyarikatan di ranah Minang.
Kongres yang diadakan pada tahun 1930 merupakan sebuah kegiatan besar yang diadakan di tengah-tengah krisis ekonomi yang lazim disebut molaise, sesuatu yang tak pernah diduga sebelumnya oleh para pengurus Muhammadiyah Cabang Bukittinggi yang ditunjuk menjadi tuan rumah.
Meski secara umum kondisinya tidak begitu baik, ternyata pelaksanaan Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, yang sering disebut sebagai Kongres Muhammadiyah Minangkabau, yang diselenggarakan pada 14-21 Maret 1930 berjalan amat sukses.
Hasil riset yang terdokumentasi dalam buku ini semakin menegaskan hubungan tak terpisahkan antara Muhammadiyah dengan Minangkabau, baik melalui jaringan keulamaan, pendidikan dan transmisi keilmuan, maupun peristiwa-peristiwa historis dan politik yang tak terlupakan.
Buku ini akan segera dirilis oleh UGM Press dan dilaunching oleh Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Baca juga: Filosofi “Islam Berkebudayaan” Masyarakat Minangkabau