|
Tidarislam.co- Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak hanya diperjuangkan oleh kaum laki-laki saja. Tentunya ada peran perempuan yang turut menjadikan hari bersejarah tersebut dapat terlaksana. Salah satu dari perempuan itu ialah Fatmawati istri Presiden Soekarno, sebagai penjahit bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada saat peristiwa proklamasi 79 tahun lalu.
Perjalanan Hidup dan Pertemuan dengan Presiden Soekarno
Fatmawati merupakan putri dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah kelahiran Bengkulu pada Senin, 5 Februari 1923. Ia besar di lingkungan keluarga yang agamis, ibu dan ayahnya merupakan tokoh organisasi Islam besar di Indonesia, Muhammadiyah dan Aisyiah. Selain itu, Fatmawati juga memiliki garis keturunan bangsawan dari Kesultanan Indrapura Mukomuko, Pesisir selatan, Sumatera Barat.
Fatmawati dan Ir. Soekarno menikah pada 1 Juni 1943. Pertemuan awal keduanya sehingga menjadi sepasang kekasih, ternyata ada andil dari ayah Fatmawati. Kala itu, Ir. Soekarno dipindahkan dari tempat pengasingannya di daerah Flores, Nusa Tenggara Timur ke Kota Bengkulu. Pada momen itu, Fatmawati kecil diajak oleh ayahnya untuk bertemu dengan Ir. Soekarno.
Kesan pertama Fatmawati terhadap bakal suaminya, dikatakan bahwa Ir. Soekarno bukan seorang yang angkuh, memiliki mata yang berbinar, berbadan tegap dan tawanya lebar’. Ia menikah di usia yang masih terbilang muda. Dari pernikahan tersebut, Fatmawati dikaruniai lima anak, yaitu Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarno Putri, Rachmawati Soekarno Putri, Sukmawati Soekarno Putri, dan Guruh Soekarno Putra.
Selang setahun pernikahan Fatmawati dengan Ir. Soekarno, Jepang menjajikan kemerdekaan Indonesia. Fatmawati pun berfikir untuk menjahit bendera yang nantinya hendak dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan, meskipun dia sendiri juga belum tahu kapan hal itu akan terjadi.
Peran Fatmawati: Menjahit Bendera Kemerdekaan
Bondan Winarno dalam buku Berkibarlah Benderaku, menceritakan bahwa ketika Fatmawati menjahit bendera berukuran 2×3 meter itu, ia sembari menitikan air matanya. Bukan tanpa alasan, sebab Fatmawati tengah hamil tua, yang dalam kondisi rentan ia tetap memaksakan diri untuk menjahit bendera kebesaran tersebut. Diterangkan pula, Fatmawati menjahit menggunakan mesin jahit Singer hanya bisa digerakan menggunakan tangan saja. Karena mesin jahit dengan kaki tidak diperkenankan mengingat usia kehamilan Fatmawati yang sudah waktunya untuk melahirkan.
Hingga akhirnya bendera Merah Putih yang Fatmawati jahit berkibar dalam upacara proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Seperti telah diketahui, pada awalnya proklamasi hampir tidak terlaksanakan sesuai jadwal. Sebab Presiden Soekarno dan pejuang lain agaknya terlampau sibuk menyusun teks proklamasi hingga lupa menyediakan bendera Merah-Putih. Padahal, dalam proklamasi kemerdekaan, bendera negara sama pentingnya dengan teks proklamasi.
Sebagaimana diceritakan oleh Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno: “Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengar teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu.”
Berkat Fatmawi dengan bendera yang telah dijahitnya setahun lalu itu, proklamasi kemerdekaan dapat terlaksana dengan baik. Bendera Sang Saka Merah-Putih kemudian diberikan kepada pemudi bernama Chaerul Bisri. Lalu diserahkan kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan bersama dengan berkumandangnya lagu kebangsaan, Indonesa Raya.
Tidak hanya itu, Fatmawati bersama pejuang perempuan lainnya juga berperan dalam mengadakan dapur umum untuk memberi suplai makanan kepada ratusan masyarakat yang sukarela membentuk benteng manusia di sekeliling tempat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.
Atas jasanya terhadap Bangsa Indonesia terutama saat revolusi kemerdekaan, ia dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional melalui surat Keputusan Presiden RI Nomor 118/TK/2000. Fatmawati meninggal dunia di umur 57 tahun dalam perjalanannya pulang dari menunaikan ibadah Umroh pada tanggal 14 Mei 1980 dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta.
Mengambil Inisatif dan Terlibat dalam Ruang Kebaikan: Teladan Fatmawati
Sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang pertama, Fatmawati selalu setia mendampingi dan mendukung perjuangan Presiden Soekarno. Fatmawati memberikan keteladanan tentang pentingnya nasionalisme dan rasa cinta tanah air, serta selalu menekankan pentingnya menjaga semangat perjuangan, serta menjaga mimpi di tengah keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Hal tersebut selaras dengan ajaran Islam tentang nasionalisme, sebagaimana yang dicontohkan 14 abad yang lalu oleh Rasulullah saw. yang diisyaratkan dalam hadist:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَّةَ مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِيي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Rasulullah bersabda kepada kota Makkah, “Alangkah bagusnya dirimu wahai Makkah dan alangkah cintanya diriku terhadap dirimu, seandainya kaumku tidak mengeluarkanku darimu, niscaya saya tidak akan bertempat tinggal melainkan di selain tanahmu.” (HR Tirmidzi)
Teladan lain dari Fatmawati, yakni bagaimana kita dapat terlibat dalam setiap momen yang berpontesi membawa kebaikan besar bagi umat dan bangsa. Mendorong diri untuk menjadi bagian aktif dalam upaya kebaikan, sekecil apapun peran itu juga merupakan amanat dalam Islam. Dalam hadist, Rasul pernah bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْل لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang. Cabang paling utama adalah perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR Muslim)
Sabda Rasulullah di atas menyiratkan bahwa meskipun hal yang tampak sederhana, perjuangan dan amal kebaikan selalu bernilai di sisi Allah. Bahkan, sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan pun termasuk bagian dari iman.
Karenanya, sebagai generasi bangsa kita merayakan kemerdekaan ini dengan meneladani semangat perjuangan dari para tokoh pendahulu kita. Salah satunya, ialah Ibu Fatmawati dalam rasa nasionalisme, berani terlibat, dan berkontribusi dalam setiap ruang kebaikan untuk sesama, umat, dan bangsa.
Baca juga: Pandangan Kyai Said Aqil Siraj tentang Islam dan Negara Bangsa