Dugderan: Ekspresi Warga Semarang Sambut Ramadan

Oleh: Hamidulloh Ibda

Tidarislam.co – Saya perlu tanya dulu, apa tradisi sambut Ramadan di daerahmu? Jangan-jangan tidak punya. Hehehe. Padahal di Jawa dan DIY terdapat banyak: ada Nyadran, Dugderan, Dandangan, Megengan, Padusan, Tabuh Bedug, dan lainnya, Bosku. Selain di Jawa, catatan Harahap (2025) Isneni (2023) terdapat Meugang (Aceh), Malamang (Sumbar), Marpangir (Sumut), Bebantai (Jambi), Pacu Jalur (Riau), Belangiran (Lampung), Ziarah Kubor (Sumsel), Papajar (Jabar), Nyorog (Jakarta), Mattunu Solong (Sulbar), dan lainnya.

Di belahan dunia juga banyak ditemukan tradisi menyabut Ramadan. Catatan Harahap (2025) terdapat tradisi Fanous (Mesir), Tabuhan Gendang (Turki), Tembakan Meriam (Lebanon), Seheriwalas (India), Kanon Ramadan (UEA), Garangao (Qatar), Tedaru (Brunei Darusalam), Bazar Ramadan (Malaysia), Qatayef (Yaman), dan lainnya.

Tradisi-tradisi di atas living, membumi, dan bagi saya ini adalah bentuk dari desa mawa cara, negara mawa tata (desa mempunyai adat sendiri, negara mempunyai hukum sendiri). Bukankah demikian?

Di tempat tinggal penulis saat ini, Kota Semarang, memiliki tradisi Dugderan. Khas Kota Semarang lah. Sebab, tidak ada tempat lain yang tradisinya bernama Dugderan kecuali Kota Semarang. Semarang, kota yang kaya akan sejarah dan budaya, memiliki tradisi unik yang sudah berlangsung lama untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan, yakni Dugderan.

Dugderan bukan sekadar festival atau perayaan, tetapi merupakan simbol ekspresi kegembiraan, kebersamaan, dan spiritualitas warga Semarang. Setiap tahun menjelang Ramadan, Dugderan diadakan untuk memeriahkan bulan suci yang penuh berkah tersebut, dan menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh lapisan masyarakat, bahkan bagi nonmuslim.

Sejarah dan Asal Usul Dugderan

Saya mencari literatur, terdapat beragam versi tentang sejarah Dugderan. Pertama menyebut Dugderan berawal pada masa kolonial Belanda, sekitar abad ke-19. Tradisi ini dimulai dengan sebuah prosesi yang melibatkan suara terompet dan meriam sebagai tanda bahwa bulan Ramadan akan segera dimulai. Kata “Dugderan” sendiri berasal dari suara yang dihasilkan oleh terompet (dug) dan meriam (der) yang dipukul atau diledakkan pada saat-saat tertentu. Meriam ini biasanya diletakkan di kawasan Kota Lama Semarang, sementara suara terompet didengungkan dari beberapa titik strategis di kota kala itu.

Pada masa itu, acara Dugderan dimaksudkan untuk memberi tahu masyarakat bahwa Ramadan sudah dekat. Selain itu, Dugderan juga menjadi simbol penanda dimulainya waktu berpuasa bagi umat Islam, dan merupakan kesempatan untuk mempererat hubungan sosial antarwarga yang berbeda latar belakang.

Dugderan, sebagai tradisi yang telah melekat kuat di Semarang, memiliki akar sejarah yang menarik. Versi kedua menurut Afandi (2025), Dugderan ini dimulai pada tahun 1881, ketika Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat, memimpin kota tersebut. Pada masa itu, masyarakat Semarang menghadapi kesulitan dalam menentukan awal bulan Ramadan. Oleh karena itu, sang Bupati menciptakan sebuah cara yang sederhana namun efektif untuk mengumumkan datangnya bulan suci ini.

Merujuk arsip Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Dugderan pertama kali digelar sekitar 1862-1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat (kala itu belum ada pemecahan Kota Semarang dan Kabupaten Semarang). Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat menghelat upacara dengan membunyikan suara bedug (dengan bunyi dug) sebagai puncak “awal bulan puasa” sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (dengan bunyi der) sebanyak 7 kali (Budiman, 2023; Cahyono dkk, 2019).

Lambat laun, tradisi ini membudaya menjadi Dugderan, sebuah upacara yang digagas dengan melibatkan dua elemen suara yang khas: bedug Masjid Agung dan meriam bambu yang dibunyikan masing-masing tiga kali. Sebelum kedua bunyi tersebut terdengar, sebuah upacara di halaman kabupaten terlebih dahulu dilaksanakan. Dengan cara ini, masyarakat Semarang tidak lagi bingung atau terpecah dalam menentukan awal Ramadan, dan tradisi tersebut pun perlahan berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya lokal.

Dugderan menjadi tradisi masyarakat Semarang untuk menyambut bulan Ramadan dan sekaligus menjadi perayaan yang meriah. Tradisi ini memiliki sejarah panjang. Dalam buku 100 Tradisi Unik di Indonesia karya Fatiharifah (2017:43), Dugderan pertama kali diselenggarakan pada tahun 1881 oleh Bupati Semarang, Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Beliau mencetuskan sebuah acara untuk menandai dimulainya puasa, yang dilakukan dengan membunyikan beduk 17 kali dan meriam tujuh kali. Nama ‘dugderan’ berasal dari bunyi beduk dan meriam tersebut.

Keunikan dari tradisi ini adalah adanya ikon yang diarak, yaitu Warak Ngendog. Warak Ngendog adalah makhluk mitologi yang memiliki tubuh kambing, kepala naga, dan sisik berwarna-warni. Warak Ngendog melambangkan warak yang sedang bertelur.

Seiring berjalannya waktu, perayaan Dugderan semakin meriah. Tradisi ini tidak hanya diawali dengan pemukulan bedug, tetapi juga diakhiri dengan dentuman mercon dan gemerlap kembang api. Bedug, dalam konteks ini, memiliki makna yang sangat simbolis—menjadi penanda yang menegaskan bahwa bulan puasa telah tiba. Dugderan bukan sekadar ritual, tetapi juga sebuah cerminan dari kebersamaan dan semangat masyarakat Semarang dalam menyambut Ramadan, yang terus hidup dan berkembang sebagai warisan budaya yang penuh makna.

Perayaan Dugderan di Masa Kini

Seiring berjalannya waktu, Dugderan tidak hanya mempertahankan unsur tradisionalnya, tetapi juga berkembang menjadi sebuah festival budaya yang lebih meriah. Setiap tahunnya, acara ini diisi dengan berbagai kegiatan yang menarik dan penuh warna. Berbagai atraksi seni dan budaya, seperti pertunjukan musik, tari, hingga pasar rakyat, turut meramaikan suasana. Salah satu bagian yang paling ditunggu-tunggu adalah prosesi arak-arakan yang melibatkan warga yang berjalan kaki mengenakan pakaian adat, sambil membawa obor dan peralatan tradisional.

Namun, yang paling khas dan menjadi daya tarik utama Dugderan adalah suara bedug yang menandai awal dimulainya acara. Suara keras ini menggema di seluruh penjuru kota, mengundang perhatian warga Semarang untuk bergabung dalam perayaan dan menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh suka cita.

Dugderan Ramadan 1446 H

Pada Ramadan 1446 H tahun 2025 ini, Pemerintah Kota Semarang mengadakan event Dugderan yang dibuka sejak Senin, 17 Februari 2025 dengan beragam kegiatan. Pertama, Pasar Dugderan Semarang 2025 buka sejak Senin, 17 Februari 2025 dan tutup hingga pada Rabu, 26 Februari 2025 di komplek Pasar Johar Semarang.

Kedua, Kirab Dugder atau Dugderan dalam rangka menyambut bulan Ramadan di Kota Semarang diadakan pada Jumat, 28 Februari 2025. Selama acara berlangsung, ada perubahan arus lalu lintas di beberapa lokasi. Kirab budaya ini dimulai pukul 13.00 WIB dari Balai Kota Semarang. Pawai budaya melewati Jalan Pemuda menuju Masjid Agung Semarang di kawasan Kauman, dan kemudian dilanjutkan ke Masjid Agung Jawa Tengah di Jalan Gajah. Kirab Budaya Dugder merupakan tradisi tahunan Kota Semarang yang digelar menjelang bulan Ramadan. Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti berperan sebagai Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum dan memimpin prosesi serta membacakan Suhuf Halaqah.

Puncak dari tradisi Dugder berlangsung di Masjid Agung Semarang, di mana suara bedug dan meriam akan terdengar sebagai tanda masuknya bulan Ramadan. Bunyi “Dug-dug-der” tersebut menjadi asal mula nama Dugderan. Acara ini juga akan dimeriahkan dengan pembagian kue ganjel rel dan air khataman Al-Qur’an.

Selain kedua event inti di atas, ada juga Gebyuran Bustaman, yaitu acara tahunan yang diadakan secara rutin di Kampung Bustaman, Purwodinatan, Kota Semarang. Seperti namanya, Gebyuran Bustaman merupakan upacara perang air yang bertujuan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa sebelum menjalankan ibadah puasa.

Tradisi ini pertama kali dimulai pada tahun 1742 oleh Kiai Bustam. Meskipun sempat terhenti, acara ini kembali digelar pada tahun 2012. Pada Hari Bustaman, tokoh masyarakat setempat menyampaikan bahwa warga Kampung Bustaman kini sangat bersemangat untuk menghidupkan kembali tradisi Gebyuran Bustaman. Meski bukan rangkaian Dugderan, namun menjadi bagian dari tradisi di Kota Semarang dalam menyambut Ramadan.

Dugderan: Refleksi Keharmonisan Sosial

Dugderan bukan hanya tentang kemeriahan dan hiburan semata. Acara ini juga menjadi momen refleksi bagi umat Islam untuk mempersiapkan diri menyambut Ramadan dengan penuh kesadaran dan kebersamaan. Di tengah kemajuan zaman yang serba modern, tradisi ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur kebersamaan, kerukunan, dan saling menghormati antarwarga kota.

Bagi warga Semarang, Dugderan adalah sarana untuk menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Selain itu, ini juga menjadi momen untuk berbagi kebahagiaan dengan sesama, baik di lingkungan keluarga, tetangga, maupun komunitas. Berbagai kegiatan sosial, seperti pembagian takjil dan bantuan kepada yang membutuhkan, sering kali diadakan pada saat Dugderan sebagai wujud dari semangat gotong-royong dan saling membantu.

Seiring berkembangnya kota Semarang sebagai pusat ekonomi, pariwisata, dan budaya, Dugderan menjadi salah satu atraksi yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Pemerintah kota Semarang pun semakin mendukung acara ini sebagai bagian dari promosi budaya daerah. Setiap tahun, Dugderan menarik ribuan pengunjung yang ingin merasakan langsung suasana kehangatan masyarakat Semarang dalam menyambut Ramadan.

Dugderan turut memperkaya kekayaan budaya Indonesia, khususnya dalam hal tradisi lokal yang tidak hanya berfokus pada aspek agama, tetapi juga mencerminkan keberagaman dan kekayaan budaya bangsa. Perayaan ini mengajarkan kita tentang pentingnya melestarikan tradisi dan memperkenalkan kebudayaan lokal kepada generasi muda agar tetap relevan di masa depan.

Dugderan menjadi simbol kegembiraan dan semangat umat Islam di Semarang dalam menyambut bulan suci Ramadan. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya lokal, tetapi juga menjadi wujud dari kebersamaan dan keharmonisan sosial di tengah masyarakat. Sebagai salah satu acara yang paling dinanti, Dugderan terus berkembang menjadi ajang untuk merayakan keberagaman dan menciptakan kedamaian antarwarga, sambil mempererat hubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitar. Dengan begitu, Dugderan bukan sekadar sebuah perayaan, tetapi juga warisan budaya yang patut dilestarikan dan dijaga. Begitu!

Hamidulloh Ibda. Dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung, Koordinator Bidang Literasi, Numerasi, dan Pendidikan Inklusi Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah.

2 thoughts on “Dugderan: Ekspresi Warga Semarang Sambut Ramadan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *