Oleh: Rohmatul Izad
Dalam pidato pelantikan Presiden Amerika Serikat pada Senin (20/01/2025), Donald Trump membuat keputusan resmi yang sangat kontroversial, yakni melarang adanya kelompok LGBT untuk hidup secara bebas di negara tersebut. Ini sekaligus menjadi kebijakan resmi pertama Amerika Serikat sejak Trump menaiki tahta tertingi di AS untuk yang kedua kalinya, di mana negara hanya mengakui dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Sontak, kebijakan ini menuai pro-kontra bagi segenap warga AS, terutama bagi kelompok minoritas LGBT di negara tersebut. Kebijakan ini boleh dibilang aneh dan mungkin patut dipertanyakan, misalnya, mengapa Amerika sebagai simbol negara liberal melarang orientasi seksual yang berbeda? Bukankah ini melanggar HAM yang menjadi prinsip utama bagi landasan kebebasan di negara tersebut?
Melalui kebijakan ini, kalangan LGBT mengamali tekanan mental yang luar biasa ekstrem. Mereka yang seringkali termarjinalkan di lingkungan kehidupan sosialnya menjadi merasa lebih tidak aman sejak adanya keputusan resmi tersebut.
Para pendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) berpendapat bahwa kebijakan ini akan sangat mempengaruhi ruang kebebasan mereka, yang selanjutnya akan mempengaruhi hak hukum dan makin memperparah diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.
Sesungguhnya, kebijakan Trump ini bukanlah sesuatu yang baru. Saat Trump pertama kali menjadi Presiden pada periode pertamanya di tahun 2016, ia sudah membuat cemas banyak kelompok LGBT. Sejak saat itu, Trump telah banyak membuat kebijakan resmi yang membatasi kebebasan kelompok LGBT di negara tersebut.
Misalnya, pada tahun 2017, pemerintah AS mengumumkan bahwa mereka tidak akan memasukkan pertanyaan tentang orientasi seksual, identitas gender dan mencabut pedoman siswa transgender yang mengharuskan sekolah untuk mengizinkan siswa transgender menggunakan ruang ganti dan kamar mandi secara berbeda.
Pada tahun 2019, pemerintah menerapkan larangan terhadap anggota layanan trangender, yang dimulai dari dengan serangkaian tweet Trump pada tahun 2017 yang mengumumkan bahwa “Pemerintah AS tidak akan menerima atau mengizinkan individu transgender untuk bertugas dalam kapasitas apapun di Militer AS”.
Di tahun yang sama, Trump juga menentang pengesahan Equality Act, sebuah rancangan Undang-undang yang akan menambahkan orientasi seksual dan identitas gender ke dalam hukum sipil untuk mencegah diskriminasi terhadap orang-orang LGBT.
Kebijakan LGBT Era Trump dan Pendahulunya
Pertama-tama perlu dicatat bahwa Trump bukanlah Presiden pertama yang menentang LGBT dan pernikahan sesama jenis atau mengesahkan UU anti-LGBT. Kebijakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT sudah dimulai jauh sebelum Trump menjabat.
Misalnya, baik Presiden George Bush maupun Presiden Bill Clinton menyatakan bahwa mereka menentang pernikahan sesama jenis: “Don’t ask, don’t tell”, melarang orang-orang yang secara terbuka menyatakan gay, lesbian, atau biseksual untuk mengikuti dinas militer.
Kebijakan itu mulai disuarakan pada tahun 1993 di bawah Pemerintahan Clinton dan Defense of Marriage Act, yang mendefinisikan pernikahan sebagai penyatuan seorang pria dan seorang wanita dan memungkinkan negara bagian untuk menolak mengakui pernikahan sesama jenis yang diberikan berdasarkan hukum negara bagian lain. Ini kemudian disahkan menjadi UU oleh Presiden Clinton pada tahun 1996.
Pada masa Presiden Obama, hak-hak LGBT sebagian besar dipulihkan melalui perubahan UU yang memungkinkan mereka mendapat kebebasan yang lebih baik. Namun demikian, sejak Trump pertama kali terpilih menjadi Presiden, isu anti-LGBT menyeruak lagi dan mulai dibuat aturan-aturan baru yang mempersulit gerak kelompok LGBT tersebut. Hingga akhirnya, tahun 2025 ini menjadi babak baru bagi mempertegas petarutan yang menolak kehadiran kelompok tersebut.
Apakah Pelarangan LGBT Melanggar HAM?
Bila merujuk pada konstitusi Amerika, jelas bahwa kebijakan LGBT melanggar prinsip HAM yang menjadi pegangan negara tersebut. Artinya, Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang meyakini dan mengimplementasikan universalitas HAM. Dari perspektif HAM ini, tidak ada alasan apapun untuk menolak LGBT.
Terlebih, Amerika adalah simbol negara liberal dan menjadi jantung bagi sistem politik demokrasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Ditambah, AS juga merupakan negara sekuler yang memisahkan agama dan politik, ini menegaskan bahwa larangan LGBT di atas juga tidak didorong oleh pemahaman agama.
Adanya larangan LGBT justru akan makin memperparah diskriminasi bagi kelompok minoritas LGBT yang seringkali kehadiran mereka juga tidak diterima oleh masyarakat. Negara seharusnya melindungi dan menjamin kebebasan mereka, bukan malah menjadi bagian dari aktor yang melakukan diskriminasi.
Terlepas apakah LGBT itu sah atau tidak, jelas bahwa pelarangan LGBT di AS patut disayangkan. Persoalannya bukan pada orientasi seksual mereka yang berbeda, tetapi bagaimana orientasi seksual yang berbeda itu dapat dihormasi dan dijamin kebebasannya. Bahkan, Uskup Katolik di Wasington juga cukup menyayangkan kebijakan Trump yang anti-LGBT tersebut. Menurutnya, Trump harus berbelas kasihan kepada mereka, terutama bagi kelompok minoritas yang rentan diskriminasi.
Bagaimana Pandangan Muslim Amerika tentang Kebijakan Anti-LGBT?
Secara umum, pandangan Muslim Amerika tentang kebijakan Trump yang anti-LGBT bisa sangat beragam. Artinya, Islam di Amerika pun tidak monolitik, mereka biasanya tidak melulu menjadikan agama sebagai pandangan hidup sepenuhnya, dan menjadi lebih sekuler sebagaimana orang Amerika pada umumnya.
Boleh jadi, kelompok Muslim konservatif akan sangat setuju dan senang dengan kebijakan tersebut, tetapi tentu itu tidak akan berpengaruh apa-apa bagi mereka. Sebab, kelompok Muslim yang paling konservatif pun sudah terbiasa berdampingan dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Mereka lebih menyukai pola hidup damai daripada harus berkonflik dengan perbedaan-perbedaan identitas sosial.
Namun demikian, bila melihat keputusan resmi dari perkumpulan ulama di Amerika, mereka dengan tegas mengatakan tidak akan menegosiasikan pandangan Islam mereka dengan LGBT. Artinya, tidak ada ruang bagi tafsir inklusif yang mengarah pada kebolehan LGBT dalam Islam. Hukum LGBT dalam Islam sangat tegas dan dilarang sepenuhnya.
Beberapa ulama yang ada di barisan ini misalnya; Imam Siraj Wahaj, Imam Suhaib Webb, Syekh Yasir Qadhi, Imam Omar Suleiman, dan Dewan Imam Kanada. Bagi para ulama ini, pandangan Islam tentang LGBT mutlak dilarang, sehingga tidak perlu ada tafsir baru atau re-interpretasi terhadap ayat-ayat anti-LGBT demi kebebasan.
Bagi ulama ini, kebijakan resmi AS yang anti-LGBT tidak berpengaruh apa-apa bagi kondisi dan identitas mereka. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam sepenuhnya sadar dengan ideologi liberal dan kebebasan yang menjadi keyakinan orang-orang AS, sehingga yang mereka butuhkan adalah kebebasan untuk mengekspresikan agama sesuai dengan keyakinan mereka tanpa diskriminasi dan, dapat hidup berdampingan secara damai dengan latarbelakang yang berbeda.