Oleh: Jabrohim
Emha Ainun Nadjib, yang kemudian lebih dikenal sebagai Cak Nun, adalah salah satu sastrawan yang muncul dari Yogyakarta dan memiliki pengaruh besar dalam dunia sastra, budaya, dan pemikiran di Indonesia. Sebelum ia mencapai usia 40 tahun, dia sudah mulai dikenal luas oleh masyarakat. Karya-karyanya sudah banyak tersebar di media masa, namun banyak karya yang tidak didokumentasikan dengan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain di sekitarnya.
Dalam konteks dokumentasi karya, saya perhatikan bahwa dua sastrawan potensial dari Yogyakarta –yang dengan keduanya saya sangat dekat– banyak karyanya, memiliki pendekatan yang berbeda dalam menjaga hasil-hasil tulisan mereka. Ragil Suwarna Pragolapati (Mas Warna) adalah seorang dokumentator yang cermat. Selain itu, dokumen di kertas tak berukuran sama, oleh Mas Warna didokumentasikan dengan ditempel di kertas berukuran sama dengan dilem. Mas Warna sangat cermat dalam pemilihan kertas maupun lem untuk menempelkan dokumennya. Dia tahu mana kertas yang tahan lama dan apa lem yang dapat tahan lama dan tidak merusak kertas. Saya cukup terpengaruh dengan kebiasaannya Mas Warna dalam mendokumentasikan karya-karya sastra.
Sama-sama penulis yang produktif, Cak Nun berbeda dengan Mas Warna. Cak Nun tidak memiliki tradisi dokumentasi yang baik, apalagi sistematis. Cak Nun adalah sosok yang sangat produktif dalam menulis. Kapan pun ia merasa perlu menulis, ia akan segera melakukannya. Dalam berbagai kesempatan bersama, saya sering menyaksikan kebiasaannya ini. Cak Nun –yang selalu menyapa saya dengan sebutan Pak– kerap berkata, “Sebentar ya, Pak, saya nulis,” atau “Tunggu sebentar ya, Pak, saya selesaikan tulisan.” Itu terjadi karena saya sering ke rumahnya tidak pernah berpikir tentang waktu. Dari pagi hingga dini hari, saya dengan tanpa beban pikiran datang ke rumahnya. Rumah yang tidak pernah tutup pintu, apalagi dikunci. Sama halnya dengan Cak Nun, dia pun ke rumah saya tidak pernah pilih waktu. Larut malam, kalau ngajak begadang, Cak Nun mengetuk pintu rumah kami. Istri saya hafal betul dan sangat tahu siapa yang datang karena Cak Nun selalu mengetuk di tempat tertentu dan dengan ketukan yang khas dia saja. Beruntung istriku selalu tidak berkeberatan setiap kali saya diajak pergi Cak Nun.
Ketika Cak Nun menulis, proses menulisnya begitu spontan, kadang-kadang hanya memakan waktu sekitar 15 menit. Namun, yang menarik adalah bagaimana ia memperlakukan tulisannya. Banyak dari karya-karyanya yang setelah ditulis, ada yang langsung dikirim ke media masa dan ada pula yang tidak langsung dikirim ke media massa. Karya-karya yang tidak dikirim ke media masa ini tidak disimpan dengan rapi. Beberapa hanya dibiarkan begitu saja di meja, dan terlupakan.
Menyadari hal ini, saya kemudian meminta izin kepada Cak Nun untuk menyimpan tulisan-tulisannya yang tidak terurus. Ia pun setuju dan bahkan mengizinkan saya untuk mengambil berbagai barang-barang miliknya yang berupa dokumen seni budaya, seperti poster kegiatan sastra maupun drama serta materi lain yang ia bawa pulang dari berbagai kegiatan yang dia lakukan, termasuk saat perjalanan ke luar negeri. Dari sinilah saya mulai mengumpulkan banyak esai dan puisinya, yang kelak menjadi bagian penting dalam dokumentasi karyanya.
Sejumlah puisi yang berhasil saya kumpulkan kemudian saya terbitkan dan/atau saya pakai untuk berbagai keperluan, di antaranya lomba baca puisi, pembacaan puisi oleh Cak Nun sendiri saat di kampus tempat saya kerja ada acara sastra. Pernah juga dibacakan oleh Nungki Kusumastuti yang oleh Mas Chaerul Umam diajak ke acara yang kami selenggarakan di kampus. Aktris film dan penari yang pada awalnya tidak bersedia membaca puisi itu, lewat Mas Chaerul Umam saya beri puisi-puisi Cak Nun. Dengan memberikan puisi-puisi Cak Nun, Mas Chaerul Umam sebagai sutradara memberikan puisi pada artis filmnya (saat itu mereka sedang shooting film di Yogya) untuk membaca puisi. Mas Chaerul Umam meminta, agar Nungki belajar dulu pada Cak Nun yang kala itu datang ke kampus –dia sering datang ke kampus tempat saya bekerja.
Ada pula puisi-puisi Cak Nun yang saya ambil dari dokumen saya yang oleh Masyarakat Poetika Indonesia diterbitkan sebagai buku dengan judul Tahajjud Cinta. Sepuluh puisi dari buku tersebut dimusikalisasikan oleh Edy Widyanto dan Annie Laila di IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Puisi-puisi yang telah dimusikalisasi tersebut kami rekam di studio Misty, Yogyakarta. Rekaman selalu sore sampai malam hari. Sapto Rahardjo dan Cak Nun menunggui dan memberikan arahan. Selama 3 hari proses rekaman yang berlangsung hingga dinihari, Cak Nun dan Sapto Rahardjo selalu membersamai kami.
Dokumentasi sastra yang saya lakukan ini menjadi salah satu bentuk upaya saya dalam menjaga dan melestarikan karya-karya Cak Nun yang mungkin seiring waktu bisa saja hilang atau terlupakan. Pada akhirnya, puisi-puisi yang belum terbit sebagai buku saya jadikan satu dalam sebuah naskah buku. Naskah buku tersebut saya beri judul Sesobek Buku Harian Indonesia. Judul ini saya ambil dari salah satu puisi Cak Nun dalam kumpulan tersebut.
Bersama tiga buku kumpulan puisi Cak Nun, yakni “M” Ftrustasi, Sajak-Sajak Sepanjang Jalan, dan Nyanyian Gelandang akan diterbitkan Masyarakat Poetika Indonesia. Tiga buku dan satu naskah buku (berjudul Sesobek Buku Harian Indonesia) saya beri judul baru, sama dengan naskah buku yang saya kumpulkan itu: SESOBEK BUKU HARIAN INDONESIA.
Saya melakukan hal itu karena banyak yang ingin meminjam “M” Frustrasi, Sajak-Sajak Sepanjang Jalan, dan Nyanyian Gelandangan. Saya khawatir buku-buku itu akan hilang, dipinjam dan tidak dikembalikan. Sesobek Buku Harian Indonesia tidak jadi diterbitkan oleh Masyarakat Poetika Indonesia, tapi kemudian diterbitkan oleh Mas Buldanul Khuri.
Dokumentasi ini bukan hanya upaya pribadi untuk menjaga karya-karya Cak Nun, tetapi juga menjadi saksi perjalanan kreatifnya sebelum ia mencapai usia 40 tahun. Pada masa itu, ia belum menjadi selebriti seperti sekarang, dan masih sedikit orang yang menyebutnya Cak Nun, apalagi Mbah Nun. Teman-teman sezamannya, termasuk Linus Suryadi, lebih sering menyebutnya Ainun, sementara saya dan Pak Minto (yang saat itu tentu saja belum Prof. Dr. H. Suminto A. Sayuti) mengikuti cara adik-adiknya (Adil, Anang, Sariroh, Iin, dll) yang memanggilnya Cak Nun.
Karya-karya Cak Nun pada periode ini mencerminkan kegelisahan dan pemikiran tajamnya terhadap kondisi sosial dan budaya di Indonesia. Puisinya berbicara tentang ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan kritik terhadap berbagai aspek kehidupan. Namun, tanpa dokumentasi yang baik, banyak dari puisi-puisi ini bisa saja hilang atau tidak dikenal luas. Oleh karena itu, dokumentasi yang saya lakukan menjadi bagian dari upaya menjaga warisan sastra yang berharga ini.
Menjelang milad Cak Nun ke-40, berdua saya dengan Cak Nun tiduran di dipan (tempat tidur dari kayu dan bambu) di rumah kontrakannya di bilangan Patangpuluhan. Kepadanya saya bilang “Cak, Muhammad diangkat sebagai Nabi pada umur 40 tahun. Sebagai umat Muhammad, barangkali pada usia 40 tahun kamu akan diangkat derajatmu. Jadi Menteri Kebudayaan atau entah jadi apa. Aku yakin itu, Cak”. Dia mengaminkan kata-kata tersebut.
Seiring perjalanan waktu, nama Cak Nun semakin dikenal luas, dan ia tidak hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga sebagai budayawan, pemikir, dan penceramah. Cak Nun, Pak Minto, dan saya dulu banyak runtang-runtung dalam kegiatan sastra, termasuk dalam mengembankan tegur sapa budaya di IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Kesibukan masing-masing dari kami bertiga, sejak Cak Nun benar-benar diangkat derajatnya oleh Allah Swt membuat jarang sekali bertemu. Hanya kedekatan kami bertiga di dalam hati, kami selalu bertaut.
Untuk sahabat karibku, sebelum mencapai maqam seperti saat ini, saya telah mendokumentasikan karya-karyanya di masa awal. Itu sangat penting untuk memahami perjalanan kreatifnya. Banyak karya yang ia tulis di masa muda masih relevan hingga kini dan menjadi bagian dari perjalanan intelektual serta spiritual yang ia jalani. Saya belum bercerita bagaimana saya mengumpulkan karya-karya esainya, karena pembatasan dari editor.
Dengan dokumentasi ini, saya berharap bahwa generasi selanjutnya dapat mengenal lebih dalam bagaimana proses kreatif Cak Nun sebelum mencapai puncak ketenarannya. Karya-karyanya adalah cermin dari pergolakan pemikiran dan perjalanan spiritual yang terus berkembang, dan menjaga dokumentasi ini berarti turut menjaga sejarah sastra Indonesia.
Yogya, 2 April 2025
Baca juga:
Ketika Soeharto Membaca Bismillah (1)
Ketika Soeharto Membaca Bismillah (2)
Damardjati Supadjar: Menegakkan Rukun Ihsan