Oleh: Nida Nadhifah dan Nadia Marcella
Tidarislam.co– Pada hari, Jum’at, 03 Oktober 2025, telah dilaksanakan kegiatan Diskusi Publik yang menghadirkan narasumber Bapak Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, M.Phil, seorang Peneliti Agama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kegiatan ini berlangsung dengan penuh antusias dan dihadiri oleh para mahasiswa serta civitas akademika Universitas Darunnajah.
Dalam pemaparannya, Bapak Muhammad Nur Prabowo Setyabudi menjelaskan materi berdasarkan pengalaman pribadi beliau selama menempuh pendidikan di dunia pesantren. Beliau menyampaikan bahwa pesantren saat ini telah mengalami banyak perubahan dan dinamika yang pesat. Pesantren merupakan lembaga khas Nusantara yang menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan sekaligus membentuk karakter santri.
Beliau menuturkan pengalamannya selama lima tahun menempuh pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor dan beberapa pesantren di Yogyakarta. Salah satu pengalaman berharga beliau adalah ketika mendapat amanah dari Kiai Gontor untuk menerjemahkan buku tafsir Al-Qur’an tentang Nabi Isa. Hingga kini, terdapat lebih dari tiga puluh ribu pondok pesantren di Indonesia yang memiliki potensi besar dalam membangun karir dan peradaban bangsa.
Beliau juga berpesan agar para santri dan mahasantri Universitas Darunnajah dapat menjadi kebanggaan bangsa serta mampu membangun karir yang gemilang di masa depan. Menurut beliau, bahasa adalah mahkota bagi pondok, “al-lughah tajul ma’had”, yang menjadi kunci penting dalam membuka wawasan dan memperluas relasi. Pesantren juga merupakan taman ilmu dan jejaring, karena di dalamnya berkumpul para santri dari berbagai daerah dengan latar belakang yang beragam.
Lebih lanjut, beliau menceritakan pengalamannya menimba ilmu di Pondok Pesantren Baitul Hikmah di Yogyakarta, yang dikenal sebagai pusat pengembangan ilmu sosial dan agama. Di sana, para santri tidak hanya belajar kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab berbahasa Inggris. Pesantren tersebut menekankan pengembangan ilmu, bakat, dan kemampuan komunikasi, serta menjadikan filsafat sebagai bagian dari kurikulum inti, karena filsafat dipandang penting untuk mendasari dan memperkuat ilmu pengetahuan.
Baca juga: Pesantren: Sebuah Kajian Awal dan Analisis Historis
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki peran besar dalam membentuk karakter, moral, serta tradisi keilmuan umat Islam. Namun seiring perkembangan zaman, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat pengajaran kitab klasik, melainkan juga berkembang menjadi pusat pembelajaran modern yang terbuka terhadap perubahan. Salah satu bentuk perkembangan ini tampak pada pesantren-pesantren mahasiswa di Yogyakarta, seperti Pesantren Baitul Hikmah, yang menggabungkan tradisi keilmuan klasik dengan pendekatan ilmiah kontemporer.
Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan yang memiliki ratusan perguruan tinggi dan budaya literasi yang kuat. Kondisi ini mendorong munculnya pesantren mahasiswa yang menampung para mahasiswa sarjana maupun pascasarjana untuk memperdalam ilmu agama secara lebih serius. Pesantren-pesantren tersebut menjadi jembatan antara dunia kampus dan dunia keulamaan, menciptakan lingkungan yang memadukan nilai-nilai akademik dengan spiritualitas Islam.
Pesantren Baitul Hikmah Yogyakarta, yang diasuh oleh Prof. Dr.phil. Sahiron Syamsuddin di Krapyak Yogyakarta lahir sebagai respon terhadap kebutuhan mahasiswa akan ruang pengkajian keislaman yang lebih mendalam dan sistematis. Pesantren ini dikenal sebagai “Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman dan Sosial”, dengan kegiatan utama berupa pengajaran kitab klasik, diskusi ilmiah, penerjemahan, serta publikasi buku.
Selain mengajarkan kitab-kitab Arab klasik karya ulama seperti Imam Nawawi dan Al-Razi, pesantren ini juga membuka ruang kajian untuk literatur berbahasa Inggris yang berkaitan dengan hermeneutika dan filsafat Islam. Proses belajar dilakukan dengan metode sorogan dan bandongan, dipadukan dengan pembahasan ilmiah bergaya akademik.
Santri di Baitul Hikmah umumnya berasal dari kalangan mahasiswa, sehingga disebut mahasantri. Mereka tidak hanya belajar agama, tetapi juga didorong untuk menguasai metodologi penelitian dan berpikir kritis terhadap realitas sosial. Kegiatan belajar di sana juga diarahkan pada kemampuan menulis jurnal dan buku, serta menumbuhkan semangat berkarya melalui tulisan. Para santri dilatih untuk berpikir kritis, berdialog dengan dunia global, dan menguasai bahasa Arab serta Inggris sebagai bekal menghadapi tantangan zaman.
Baca juga: Pesantren dan Kedudukannya di Mata Hukum Positif
Dalam penutupannya, beliau menegaskan bahwa menjadi santri berarti memiliki daya spiritual yang kuat. Seorang santri harus memperbanyak membaca shalawat, berdzikir, dan menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Beliau berpesan dengan penuh makna,
“Kalau kita tidak serius dalam belajar, kita akan menyesal di akhir hayat. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu, karena penyesalan terbesar adalah ketika tidak sungguh-sungguh saat proses belajar.”
Kegiatan diskusi ini berlangsung dengan lancar, interaktif, dan penuh inspirasi. Semoga ilmu dan pesan yang disampaikan Bapak Muhammad Nur Prabowo Setyabudi dapat menjadi motivasi bagi seluruh peserta untuk terus belajar, berkarya, dan berkontribusi bagi kemajuan pesantren dan bangsa.
Setelah pemaparan materi, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh Insyira Wardani selaku moderator. Suasana diskusi berlangsung hangat dan interaktif. Para peserta dengan antusias menyampaikan berbagai pandangan dan refleksi, terutama terkait pengalaman menulis, metode pembelajaran di pesantren modern, serta peran teknologi dalam dunia pendidikan Islam.
Baca juga: Keulamaan sebagai Kompetensi Keilmuan
Beberapa peserta menyampaikan kegelisahan umum di kalangan mahasiswa, yaitu rasa takut untuk memulai menulis karena khawatir terhadap kritik atau kurang percaya diri dalam menuangkan ide. Menanggapi hal ini, Bapak Muhammad Nur Prabowo Setyabudi menekankan pentingnya keberanian untuk memulai, disertai dengan niat yang tulus dan kesadaran bahwa setiap orang memiliki cara berpikir dan pengalaman yang unik. Beliau menambahkan bahwa menulis harus dimulai dari hal-hal sederhana seperti pengalaman pribadi, dinikmati prosesnya, serta diiringi dengan doa agar tulisan membawa manfaat.
Selain itu, muncul pula pembahasan mengenai metode pembelajaran di Pondok Baitul Hikmah. Narasumber menjelaskan bahwa sistem yang digunakan adalah sorogan, yaitu proses belajar langsung antara guru dan santri untuk memperdalam pemahaman. Walaupun berpegang pada tradisi, pondok tersebut tetap terbuka terhadap perkembangan teknologi dan bahkan memanfaatkannya untuk memperluas akses ilmu pengetahuan. Pesantren juga mendorong pengembangan kemampuan menulis, komunikasi, dan kewirausahaan sebagai bekal menghadapi tantangan modern.
Pembahasan kemudian berkembang pada pentingnya menyeimbangkan nilai-nilai tradisional pesantren dengan kemajuan teknologi. Narasumber menegaskan bahwa teknologi tidak boleh dianggap sebagai penghalang, melainkan sebagai sarana untuk memperluas dakwah dan pengajaran. Dengan tetap menjaga adab, spiritualitas, dan nilai-nilai keilmuan, pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Sesi tanya jawab ini berjalan dengan penuh semangat dan memberikan wawasan yang berharga bagi seluruh peserta. Diskusi ini menjadi pengingat bahwa santri masa kini tidak hanya dituntut memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga kekuatan spiritual dan keberanian untuk berkarya, sehingga mampu berkontribusi secara nyata dalam dunia pendidikan dan masyarakat.
Nida Nadhifah dan Nadia Marcella, merupakan mahasiswi Universitas Darunnajah

Secara keseluruhan, seminar ini menjadi wadah penting untuk mempertemukan gagasan antara akademisi, praktisi pendidikan, dan masyarakat pesantren. Diharapkan hasil diskusi dapat memberikan rekomendasi konkret bagi pengembangan pesantren yang lebih progresif, inklusif, dan berdaya saing di tingkat nasional maupun global.