![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/67efefc83ee0b42cafd96b8fc5318f1b.jpg)
Salah satu pusat kegiatan keislaman berada di Masjid Bandaraya Sabah, yang termasuk di antara masjid terindah di Malaysia. Sumber: https://itc.gov.my
Tidarislam.co- Pada 20-22 Augustus 2023 yang lalu, penulis mendapatkan kesempatan menjadi salah satu pembicara inti dalam forum workshop internasional bertajuk Islam and Cultural Diversity in Southeast Asia. Forum ini bertujuan, antara lain, memahami dinamika Muslim di Asia Tenggara di tengah keragaman budaya yang ada. Kegiatan workshop tahunan yang diprakarsai oleh sebuah konsorsium riset berbasis di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) tahun 2023 ini dilaksanakan di Kota Kinabalu, sebuah ibukota negara bagian Sabah Malaysia. Selain bertemu dengan beberapa pemerhati Islam dari berbagai negara di Asia Tenggara dan Jepang, penulis menggunakan kesempatan ini untuk melihat dan merasakan langsung denyut “Islam Melayu” di salah satu kota paling indah di Malaysia ini.
Masyarakat Sabah membanggakan diri dengan keragaman budaya yang dimilikinya. Selain karena warisan sejarah, pengaruh kolonialisme, keragaman budaya terbentuk karena banyaknya imigran yang datang dari berbagai negara, seperti Indonesia, Cina, dan India, yang komposisinya mengisi hampir ¼ penduduk disana. Disini terdapat 33 kelompok pribumi, yang berkomunikasi dengan 50 bahasa daerah dan 80 dialek etnik. Namun mereka umumnya bertutur dengan satu dialek bahasa Melayu Sabah. Salah satu yang menjadi driver penulis, misalnya, adalah orang pendatang dari Bugis, yang hampir 30 tahun di Sabah; ia telah kawin dengan penduduk pribumi, dan kini menjadi warga negara Malaysia. Sehingga, selain migrasi penduduk, percampuran budaya terjadi melalui kekerbatan dan perkawinan.
Dalam soal keagamaan, hampir 70% masyarakat Sabah menganut agama Islam; sisanya terdiri dari pemeluk Kristen (25%) dari kalangan pribumi dan pendatang, dan Hindu dan Budha yang kebanyakan dianut para imigran Tionghoa dan India. Keragaman itu akan semakin terasa di pusat ibu kota Sabah, Kinabalu. Di tengah keragaman budaya dan agama itu, Islam merupakan agama mayoritas penduduk Sabahan (sebutan penduduk pribumi). Namun penduduk Muslim disana merasakan kebanggaan tersendiri dengan situasi kosmopolitan yang mereka rasakan sehari-hari. Sabah menjadi pusat pertemuan budaya. Selain itu, mereka juga merasakan toleransi keagamaan yang telah terjalin secara alamiah sejak lama sebagai warisan budaya nenek moyang; sebuah realitas budaya yang konon sulit dijumpai di Semenanjung Malaysia. Mereka merasa hampir tidak pernah terjadi konflik antar umat beragama, karena kehidupan beragama terjalin secara harmonis. Atas alasan itu pulalah mereka, misalnya, menolak RUU Syariah yang akan mengontrol dan membatasi umat non-Muslim. Masyarakat muslim Sabah relatif lebih menghargai prinsip kebebasan beragama sebagai realitas budaya.
Di tengah kultur Melayu yang metropolis semacam itu, nuansa “Islam Melayu” tradisional masih sangat terasa. Mayoritas Muslim bertutur dengan bahasa Melayu dialek Sabah. Di beberapa tempat publik, apalagi di tempat ibadah, kita bisa melihat Muslim dengan pakaian budaya Melayu yang memang kental dengan pengaruh Islam. Pakaian polos yang terkesan elegan dan sopan. Kaum laki-laki memakai gamis kain polos lengan panjang menutup pergelangan tangan, berkerah tinggi, berkancing, bertutup sarung kain songket, dan menggunakan peci atau songkok khas Melayu. Sementara kaum perempuan menggunakan pakaian tertutup, sebagian ada yang polos, ada juga yang bermotif dan berkerudung panjang.
Pada umumnya, masyarakat Muslim Melayu tak ubahnya masyarakat Muslim di Indonesia yang berfaham Sunni. Hanya saja, masyarakat Muslim di Sabah menjunjung tinggi budaya Islami yang ketat dan lebih konservatif dalam beragama, karena memang mereka menjadikan Islam sebagai agama resmi negara di Sabah. Kecenderungan formalisasi semacam ini tentu membuka peluang kontrol ketat negara terhadap agama. Kuatnya budaya Islam tampak di beberapa desa, dimana beberapa komunitas Muslim pedesaan masih menjaga ibadah dengan lebih disiplin dengan menjalankan, misalnya, sembahyang sunnah dengan cara berjamaah di luar sembahyang wajib. Hal ini ditujukan agar Muslim lebih disiplin dalam menjaga ibadah. Namun, berbeda dengan Indonesia yang memiliki organisasi keislaman yang beragam dan hampir-hampir mengental sebagai identitas budaya Muslim, masyarakat Muslim Melayu di Sabah rasanya tidak se-diverse Indonesia dari sisi organisasi keagamaan, yang tak jarang bersinggungan keras dengan elemen-elemen budaya lokal.
Salah satu yang menonjol dari Sabah adalah banyaknya jumlah masjid dan surau. Sabah memiliki masjid tak kurang dari 1.127 masjid dan 1.221 surau, jumlah terbesar dibanding daerah lainnya di Malaysia. Di beberapa masjid yang penulis amati masih menjalankan pendidikan diniyah klasik di sore hari bagi anak-anak. Mereka belajar tentang tata cara ibadah, membaca dan menghafal al-Quran, dan pelajaran keislaman lainnya yang dibimbing oleh seorang Ustadz. Imam dan Ustadz di banyak masjid di Sabah merupakan pekerja resmi yang mendapatkan gaji dari pemerintah.
Proses Islamisasi yang panjang sepertinya masih terus berlangsung di Sabah. Konon Islam masuk sejak abad ke 16, dibawa oleh para pendakwah Islam dari Brunei. Ada juga yang mengatakan dari Timur Tengah. Proses dakwah yang masih berlangsung sampai hari ini juga menghubungkan jaringan yang berlangsung lama antara Malaysia dan Indonesia, dengan banyaknya para pendakwah asal Indonesia yang menyebarkan agama Islam di Sabah sampai hari ini. Di antara satu tokoh Muslim yang paling populer dan digemari masyarakat Muslim disana adalah tokoh-tokoh Muslim dari Indonesia yang lebih muda dan populer, di antaranya Ustadz Abdul Somad. Selain karena latar belakang kultur Melayu dan bahasa dakwah yang dapat ditangkap dengan mudah oleh orang-orang Melayu di sana, mereka senang dengan gaya dakwah Ustadz dari dataran Sumatra itu yang dikenal humoris tetapi berilmu.
Selain tokoh-tokoh kontemporer, pengaruh pemikiran tokoh-tokoh besar Muslim Melayu klasik seperti Buya Hamka (Haji Abul Malik Karim Amrullah) juga merasuk dalam benak kehidupan mereka. Penulis sempat mengunjungi salah satu pusat kegiatan keislaman di Masjid Bandaraya, salah satu masjid terbesar di Kinabalu yang didesain dengan arsitektur Arab bergaya masjid Nabawi. Masjid megah ini juga konon merupakan salah satu masjid terindah di Malaysia dengan letaknya di pinggir pantai. Di sudut-sudut serambi masjid Bandaraya tersebut, kita bisa menjumpai beberapa petikan petuah-petuah Buya Hamka terpasang di dinding, mengingatkan tentang pentingnya menjaga keteguhan iman, disiplin ibadah, dan ketaatan kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa pengaruh tokoh Islam Melayu itu masih terasa hingga hari ini.
Kuatnya nuansa Islami di Sabah juga memberikan peluang tersendiri bagi pengembangan potensi wisata Islamic Tourism. Mereka ingin menjadikan Sabah sebagai salah satu tujuan wisata yang ramah bagi wisatawan Muslim, dengan produk-produk seperti pasar turis Muslim, makanan halal, dan lain sebagainya, yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata. Mereka ingin menjadikan Sabah sebagai destinasi wisata yang ramah Muslim seperti di Turki dan Indonesia.
Terlepas dari identitas Muslim Melayu di Sabah yang khas baik dari sisi busana khas Melayu, institusi pendidikan, tempat ibadah, dan cara bersembahyang, umat Muslim di Kinabalu masih menghadapi tantangan sosial dan politik. Semakin banyaknya pendatang yang enggan berasimilasi dan lebih banyak mengambil peran publik sedikit banyak menciptakan dominasi, gesekan dan resistensi yang meminggirkan peran masyarakat pribumi. Kuatnya islamisasi juga menciptakan konversi keagamaan yang mendapatkan penentangan dari beberapa komunitas adat tradisional. Hal ini ditambah lagi gejolak ekonomi-politik antara masyarakat di Sabah dan Serawak dengan masyarakat di Semenanjung Malaysia menjadi ancaman tersendiri bagi soal integrasi di negara tersebut.
Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN.
Pingback: Jaringan Ulama di Nusantara – Tidar Islam