Search

Deliar Noer dan Sejarah Modernisasi Islam di Indonesia

Tidarislam.co – Tulisan ini merupakan ulasan, yang memuat intisari dan komentar singkat, atas buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan Muslim dan sejarahwan asal Sumatra Utara, Deliar Noer, berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh LP3ES (1980) dalam versi terjemahan dari buku asli The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 yang diterbitkan oleh Oxford University Press (1973).

Dengan buku hasil penelitian disertasinya di Cornel University ini, Deliar Noer hendak menjelaskan tentang dinamika pembaharuan Muslim dan modernisasi Islam di Indonesia dalam kurun waktu antara tahun 1900 hingga 1942. Secara lebih spesifik beliau menjelaskan tentang embrio dan pengaruh pemikiran modern Islam di Indonesia beserta implementasi pembaharuannya melalui gerakan modernisasi pendidikan dan politik; selain itu juga menjelaskan beberapa hal yang dianggap sebagai hambatan eksternal dan internal bagi gerakan pembaharuan tersebut.

Prof. Dr. Deliar Noer, M.A.

Embrio Gerakan Modernisme Islam di Indonesia

Menurut Deliar Noer, gerakan modernisasi Islam di Indonesia, yang secara spesifik dimulai dari sejak tahun 1900 hingga tahun 1942, diawali dari beberapa hal penting sebagai embrio utama. Pertama adalah adanya gerakan dari para tokoh dan pemuka Islam di bidang pendidikan dan sosial, terutama di daerah Minangkabau. Mereka membangun lembaga-lembaga pendidikan dan melakukan gerakan-gerakan sosial. Adanya pengaruh eksternal dari masyarakat Arab yang kemudian  membentuk organisasi-organisasi keislaman seperti Jamiatul Khair dan al-Irsyad juga menjadi salah satu gerakan sosial tersebut. Sementara itu, di Jawa sendiri, muncul persyarikatan-persyarikatan organisasi, yakni Persyarikatan Ulama oleh Haji Abdul Halim dan Hayatul Qulub, persyarikatan Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan, dan Persatuan Islam oleh tokoh-tokoh di Bandung.

Embrio yang kedua adalah gerakan politik yang dikembangkan melalui Partai Syarikat Islam oleh Haji Samanhoedi, Partai Penyadar oleh Haji Agus Salim, Komite Pertahanan Kebenaran oleh Kartosuwirjo, Partai Persatuan Muslimin Indonesia dan Partai Islam Indonesia . Perlu ditekankan bahwa seluruh reaksi dan gerakan keislaman ini, baik dalam bidang pendidikan maupun intelektual, adalah bentuk reaksi atas fenomena pendidikan dan sosial dalam imperialisme.

Baca juga: https://tidarislam.co/muhammad-abduh-sang-pembaharu-islam-dari-mesir/

Gerakan pendidikan dan sosial (1910-1930)

Gerakan pembaharuan modern yang pertama banyak dilakukan melalui bidang sosial dan pendidikan. Gerakan ini banyak dipengaruhi oleh para tokoh kaum Muslim yang banyak mengenyam pendidikan di Makkah.

Pengaruh tokoh Minangkabau

Pelopor gerakan pembaharuan di Mingkabau di antaranya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Ulama ini menggali ilmunya di Makkah, dan sangat terkenal terutama karena ia merupakan tokoh yang keras memegang paham Syafi’i dan memerangi tarekat-tarekat di Minangkabau, terutama Naqsyabandiah. Tokoh yang berpengaruh lainnya adalah Syaikh Thaher Djalaluddin. Ia juga mengenyam pendidikan di Makkah, kemudian di Indonesia mendirikan sekolah yang terkenal bernama Al-Iqbal al-Islamiyah dan menerbitkan majalah Islam bernama al-Imam. Tokoh selanjutnya adalah Syaikh Muhammad Djamil Djambek. Ia juga menimba ilmu di Mekkah, kemudian di Indonesia mencurahkan perhatian pada aktivitas tabligh, ceramah-ceramah, dan pengajaran. Ia juga mendirikan organisasi sosial bernama Tsamaratul Ikhwan.

Tokoh yang lain adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan Haji Rasul. Ia menimba ilmu di Makkah.  Sepulang di Indonesia aktif berdakwah dan turut menyebarkan pemikiran Muhammadiyah di Sumatra. Surau tempat pembelajarannya akhirnya menjadi sekolah bernama Sumatra Thawalib. Haji Abdullah Ahmad, tokoh Minangkabau yang lain, adalah alumni Makkah.  Ia mendirikan perkumpulan bernama Jama’ah Adabiyah dan mendirikan penerbitan al-Munir. Zainuddin Labai al-Junusi mewakili tokoh muda. Ia tidak belajar di Mekkah, hanya berguru pada tokoh-tokoh yang lebih senior. Ia mendirikan perkumpulan Pelajar Diniah di Padang Panjang.

Dengan demikian, ada beberapa lembaga dan organisasi pembaharu yang diciptakan oleh para tokoh yang bisa dikatakan sangat berpengaruh pada masa pembaharuan, di antaranya adalah: Sekolah Adabiyah, sekolah ini menyamai kualitas sekolah Belanda HIS, tapi lebih ditambah dengan pengatahuan al-Qur’an;  Sekolah Thawalib, yang disebut juga dengan Surau Jembatan Besi, yang melahirkan salah satu alumni yang terkenal Buya Hamka; Sekolah Thawalib mengalami pembaharuan metode yang lebih modern dan menjelma menjadi Sumatra Thawalib.

Tahun 1929, para alumni dan guru-guru Thawalib kemudian mendirikan organisasi sekaligus partai bernama Persatuan Muslimin Indonesia atau PERMI. Ini adalah salah satu bentuk gerakan dari gerakan-gerakan yang lain yang banyak sekali yang dilakukan oleh para alumni Thawalib di daerah-daerah; Sekolah Diniyah atau al-Madrasah al-Diniyah nya Zainuddin Labai juga cukup berpengaruh dan merupakan pengembangan dari sekolah Thawalib, dan pelajarnya berasal dari banyak daerah di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa Minangkabau menjadi salah satu pusat pendidikan Islam di Indonesia pada waktu itu.

Pergerakan masyarakat Arab di Indonesia

Pengaruh masyarakat Arab dari Hadramaut dan orang Arab Indo di Indonesia tahun 20 an, yang dikenal dengan identitas para Habib, Sayyid dan Sayidah, Syarif dan Syarifah, sangat terasa. Mereka bahkan pada tahun 30 an mendirikan Partai Arab Indonesia. Kebanyakan mereka bersikap konsevatif dan arabistik, mengunggulkan manasib, menolak bentuk-bentuk inovasi religius dan intelektual. Tapi, kaum Arab-Indo progresif, terutama dari Bani al-Yahya dan al-Syihab, justru sangat menekankan pentingnya pengembangan bidang pendidikan. Bahkan sejak 1905 mereka pertama kali mendirikan organisasi Arab dan lembaga pendidikan, meski tidak diskriminatif dan terbuka bagi kalangan pribumi, yang bernama Jamiatul Khair.

Sempalan dari lembaga ini adalah gerakan al-Irsyad yang didirikan oleh keturunan Arab bernama Ahmad Surkati. Awalnya gerakan ini fokus pada pendidikan, tapi kemudian lambat laun menjadi persyarikatan tingkat nasional yang memiliki banyak cabang di daerah-daerah. Mereka mendirikan banyak sekolah-sekolah di berbagai daerah dan banyak mengirimkan dan membiayai lulusannya ke Timur Tengah. Namun sayangnya, seiring waktu, kalangan al-Irsyad terus saja bercekcok dengan kalangan Jamiatul Khair.

Persyarikatan Ulama

Sementara di Minangkabau berkembang sedemikian rupa, di Majalengka Jawa Barat juga muncul Persyarikatan Ulama tahun 1911 yang didirikan oleh Haji Abul Halim dan Hayatul Qulub, keduanya juga pernah menimba ilmu di Makkah. Tahun 1916 gerakan ini juga membangun lembaga pendidikan modern yang bernama Jami’at al-I’anat al-Muta’allimin, yang bersinergi secara cukup harmonis dengan Jam’iatul Khair maupun al-Irsyad. Lembaga ini menjunjung paham al-Syafi’I yang moderat dan menonjolkan keseimbangan kepentingan duniawi dan ukhrawi. Secara metodis banyak mengambil inspirasi dari lembaga Shantiniketan di India yang didirikan Rabendranath Tagore.

Muhammadiyah

Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912 di Kauman Yogyakarta. Atas inisiatifnya dan atas saran dari beberapa tokoh Budi Utomo Muhammadiyah pun juga mendirikan lembaga pendidikan. Tahun 20 an, Muhammadiyah banyak mendirikan perluasan lembaga pendidikan ke luar Jawa. Pertama kali didirikan adalah di Minangkabau, yang didukung kuat oleh peran Haji Rasul. Kemudian diikuti di daerah-daerah lain, di Bengkulu, Banjarmasin, Aceh, Makasar, dan lain sebagainya.  

Organisasi ini juga mendirikan PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) pada tahun 1918 yang bergerak di bidang medis dan kesehatan. Pada tahun yang sama juga didirikan organisasi sayap yang menaungi gerakan wanita yang diberi nama ‘Aisyiyah. Selain itu, dibentuk juga gerakan kepanduan yang disebut Hizbul Wathan. Tahun 1927 di bentuk Majelis Tarjih Muhammadiah yang menaungi urusan pemfatwaan umat Islam. Walhasil, penyebaran Muhammadiyah sangat berkembang pesat di Indonesia, dimana hingga tahun 25 an sudah mendirikan berpuluh-puluh sekolah pendidikan dan ratusan cabang gerakan di daerah.

Persatuan Islam (Persis)

Organisasi Persis berdiri di Bandung pada tahun 1920-an oleh Zam-Zam, tokoh yang sempat menggali ilmu di Mekkah, beserta beberapa rekannya, di antaranya Haji Muhammad Yunus. Organisasi ini banyak bergerak dalam bidang penyebaran pemikiran Islam. Dua tokoh besar yang turut berpartisipasi dan mengembangkan organisasi ini adalah Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir, keduanya adalah tokoh nasional.

Pemikiran-pemikiran tokoh Persis ini dituangkan melalui majalah yang mereka publikasikan bernama Pembela Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Tahun 30 an, atas prakarsa Natsir, Persis mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang kemudian berkembang cukup besar mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Sedangkan Ahmad Hassan, lebih memberikan pengaruh pada pendirian pesantren di bawah Persis. Mereka juga menunjukkan kemandirian dalam hal publikasi pemikiran dengan membangun percetakan sendiri bernama Al-Fatwa.

Baca juga: https://tidarislam.co/k-h-ahmad-dahlan/

Seluruh gerakan dan pemikiran Muslim pada masa itu juga mendapatkan pengaruh internasional, khususnya dari modernisme Islam yang telah muncul di Mesir oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Selain itu, pengaruh paham komunisme, dalam pengertian yang luas, juga menimbulkan reaksi dan perpecahan yang membuat perkembangan pembaharuan semakin dinamis.

Gerakan politik Sarikat Islam (1911-1942)

Di samping gerakan pendidikan dan sosial, embrio pembaharuan Islam di Indonesia juga dilaksanakan melalui gerakan politik, yang dalam hal ini dipelopori oleh Sarekat Islam dan nantinya menjelma menjadi partai politik cukup besar yaitu Partai Sarikat Islam Indonesia. Gerakan partai ini bisa dikatakan sebagai representasi perkembangan gerakan politik Islam pada masa itu.

Partai ini cikal bakalnya adalah Sarikat Dagang Islam yang didirikan tahun 1905 oleh Kyai Haji Samanhoedi, mendahului organisasi Budi Utomo tahun 1908, dan pada tahun 1912 menjadi sebuah organisasi bernama Sarikat Islam dan sejak itu pula menunjukkan corak sebagai partai politik Islam. Pusat organisasi ini ada di Surakarta. Perkembangan Sarikat ini terbagi menjadi empat fase.

Fase pertama Serikat Islam (SI) adalah dari tahun 1911-1916-an, dimana pada fase ini yang lebih diperhatikan adalah seputar masalah organisasi, seperti kepemimpinan, anggaran dasar, dan lain sebagainya. Sejak fase inilah muncul tokoh-tokoh besar di partai ini, seperti H.O.S Cokroaminoto, yang kemudian terpilih sebagai ketua. Sejak tahun 1912 ia memimpin organisasi partai ini dan terus ia pertahankan sampai meninggal tahun 1934. Tokoh lainnnya yang memperkuat gerakan ini adalah Gunawan, Abdul Muis, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, Haji Agus Salim. Pada fase ini, karakter sesungguhnya dari perhimpunan ini belum terlalu terlihat.

Fase kedua Sarikat Islam adalah sejak 1916-1921-an. Pada fase ini Sarikat Islam lebih banyak memberikan perhatiannya pada masalah politik dan agama. Sejak saat ini pulalah Cokroaminoto melontarkan wacana-wacana yang keras tentang perlunya perjuangan kemerdekaan, nasionalisme, dan perwujudan pemerintahan yang mandiri. SI gencar memperjuangkan hak-hak Volksraad (dewan rakyat), penghapusan kerja paksa, dan peraturan-peraturan diskriminatif. Mereka berjuang melalui Volksraad. Terkait cara perjuangan mereka di dalam Volksraad ini, memantik perpecahan dan konflik internal dalam tubuh partai antara yang mendukung metode perjuangan ini (kalangan tua, seperti Cokroaminoto dkk) dan yang menolak karena menanggap Volksraad hanyalah boneka semata (kalangan muda yang memiliki kecenderungan terpenetrasi oleh komunisme dalam tubuh partai seperti Semaun dkk).

Fase ketiga SI adalah sejak 1921-1927. Pada fase ini terjadi ketegangan akibat perdebatan yang fundamental terkait “Asas Keislaman” organisasi, dan perselisihan dengan PKI. Semua ini menyulut hubungan yang tidak harmonis SI dengan pemerintah kolonial. Hal ini diperparah dengan ditahannya ketua organisasi Cokroaminoto. Tahun 23 berdasarkan konggres nasional diputuskan organisasi SI menjadi partai politik berhaluan baru. SI bertransformasi dengan gaya baru menjadi Partai Sarikat Islam yang memiliki struktur baru. Akan tetapi, ini harus dibayar dengan hilangnya tokoh-tokoh penting partai ini, seperti Abdul Muis, sementara tokoh yang lain menjadi lebih populer, seperti H. Agus Salim.

Fase ke empat sejak 1927-1942 adalah fase pasca strukturalisasi partai. Pada fase ini muncul partai pesaing PSI yang didirikan oleh Sukarno, PNI. Muncul pula partai Islam baru bernama Partai Islam Indonesia, yang notabene dulu adalah para simpatisan PSI. Selain itu, ditambah pula dengan pecahnya sayap-sayap PSI, diantaranya adalah Penyadar oleh Agus Salim dan Komite Kebenaran PSII oleh Kartosuwirjo. Pada tahun 1934, partai Islam ini goyah dengan meninggalnya pemimpin besar yang dimilikinya, Cokroaminoto, dan naiknya Abikusno, saudara Cokroaminoto. Agus Salim dan Karto Suwirjo adalah korban politik dari kepemimpinan yang baru ini sehingga mereka berdua mendirikan gerakan mereka masing-masing.

Pada fase ini, diskursus tentang dasar-dasar keislaman dalam partai menjadi berkembang. Tahun 30 an, sebelum meninggal, Cokroaminoto mengeluarkan “Tafsir Program Asas dan Tandzim Partai Sarikat Islam Indonesia” yang pada intinya menekankan pandangan bahwa:  meskipun al-Qur’an dipakai sebagai pedoman hidup untuk mencapai “kemerdekaan umat”, “kebahagiaan”, dan “kemuliaan”, tapi tetap saja toh diperlukan usaha-usaha kongkrit yang keras. Ia mengutip beberapa ayat yang ada dalam al-Qur’an mengenai janji-janji (wa’id) Allah, dan beberapa kisah tentang perjuangan Nabi Muhammad. “Program Tandzim” yang dipakai ini dijadikan dasar bagi Partai dalam perjuangan politiknya melawan pemerintah kolonial waktu itu.

Selain itu, pada fase akhir-akhir ini dikenalkan pula kebijakan politik partai yang dinamai dengan kebijakan politik “hijrah”. Politik hijrah merupakan ekspresi sikap non-kooperatif partai terhadap pemerintah. Politik ini banyak mengambil inspirasi dari sikap politik Gandhi dengan swadhesi nya. Agus Salim memberikan penegasan mengenai arti sikap politik ini, yang menurutnya bukan berarti “sikap pasif” ala Gandhi, melainkan sikap “aktif”, bekerja non-kooperatif dengan pemerintah sembari berkonsentrasi pada persatuan bangsa dan pengembangan bidang sosial, politik, dan agama. Tetapi, akibat konflik pribadi dalam tubuh partai, maka perpecahan tokoh-tokoh partai pun terjadi, dan akhirnya mengakibatkan keluarnya Agus Salim dan Kartosuwirjo dari barisan partai dan membentuk faksi dan gerakan mereka masing-masing.

Dua partai Islam lainnya yang juga lahir pada masa ini (1930) adalah Persatuan Muslimin Indonesia atau PERMI di Minangkabau yang didirikan oleh Haji Ilyas Yakub  dan Haji Muchtar Luthfi. Partai ini juga menjalankan politik “non-kooperasi” , dan menjalin hubungan erat dengan PNI. Selain kegiatan politik, partai ini bahkan aktif dalam pengembangan pendidikan dengan membangun Islamic College di Padang.

Beberapa tokoh pecahan dari PSII, diantaranya Sukiman dkk, mendirikan Partai Islam Indonesia di Yogyakarta yang mengambil dasar perjuangannya yaitu Islam, Nasionalisme, dan Swadaya. Partai ini didirikan pada tahun 1938 yang diketuai Raden Wiwoho. Partai ini banyak mendapat dukungan dari kalangan Muhammadiyah yang sempat tertolak dari dalam tubuh PSII. Partai ini banyak menyuarakan aspirasi mengenai pembentukan pemerintahan yang demokratis, lembaga perwakilan rakyat, pemilihan umum, pemberian akses yang terbuka bagi bangsa Indonesia, penjaminan hak-hak politik individual seperti hak berbicara, berpendapat, dan penyaluran aspirasi. Namun karena kebijakan politik pemerintah kolonial yang keras waktu itu, banyak tokoh-tokoh partai ini yang ditangkap, seperti misalnya Haji Abdul Kahar Muzakkir.

Demikianlah gerakan politik dalam pembaharuan Islam dipelopori oleh Partai Sarikat Islam, yang kemudian melahirkan pecahan-pecahan partai-partai yang baru lainnya.  

Baca juga: https://tidarislam.co/nurcholish-madjid-cak-nur-tokoh-pembaharu-islam-indonesia/

Beberapa Kendala yang Dihadapi Gerakan Pembaharuan Islam

Secara umum proses modernisasi dan pembaharuan kaum Muslim pada masa pergerakan ini mengalami dua kendala yang paling utama, yaitu kendala eksternal dan kendala internal. Kendala eksternal adalah dari pemerintah kolonial, sedangkan kendala internal berasal dari barisan umat Islam itu sendiri.

Kendala eksternal yang dihadapi oleh gerakan modernisasi dan pembaharuan Islam adalah adanya reaksi berupa pengawasan dan pembatasan-pembatasan pemerintah kolonial Belanda terhadap tokoh-tokoh gerakan pembaharuan Islam itu sendiri. Sikap pemerintah kolonial cenderung diskriminatif terhadap tokoh-tokoh Muslim. Pemerintah kolonial lebih dekat dan lebih menyokong kepada pengembang misi kekristenan sehingga muncullah misionaris terkenal seperti Snouc Hurgronje dan L.W.J Van den Bergh. Upaya-upaya pengawasan dan pembatasan dilakukan terus-menerus oleh pemerintah kolonial terhadap guru-guru Islam.

Salah satu bentuk pembatasannya adalah dibentuknya aturan-aturan yang membatasi kurikulum dalam pendidikan. Pengawasan dan pembatasan juga dilakukan terhadap ibadah Haji ke Makkah. Hal ini ditujukan untuk mengurangi akses umat Islam ke pusat pertemuan Islam sedunia itu dan pusat belajar keIslaman yang banyak melahirkan tokoh-tokoh pembaharu. Adapun secara politik, gerakan politik banyak sekali dibenturkan dengan politik etis yang diterapkan pemerintah kolonial dan juga politik adu domba.

Adapun secara internal, beberapa kendala muncul dari dalam tubuh umat muslim Indonesia sendiri, yakni kaum tradisionis di Minangkabau dan di Jawa, yang juga mengklaim mendasarkan kegiatan mereka pada Islam; beberapa pertikaian yang muncul di kalangan kaum pembaharu; dan kaum nasionalis yang meskipun agamanya Islam tetapi mereka cenderung bersikap netral terhadap agama, untuk tidak mengatakannya memusuhi agama.

Kaum tradisionis Minangkabau

Di Minangkabau, tokoh yang menentang keras pembaharuan Islam adalah pembela adat yang bernama Datuk Sutan Maharadja. Ia menentang dominasi pemikiran dan gerakan yang berasal dari Syaikh Ahmad Khatib. Gerakan tandingan dibentuk untuk membendung pengaruh pembaharuan ulama, yaitu Sarikat Adat Alam Minangkabau. Hal yang menjadi permasalahan adat versus pembaharu adalah seputar hak waris.

Selain itu, pertentangan yang tak kalah hebat terhadap pembaharuan pemikiran ulama dari Makkah adalah dari kalangan ahli tarekat karena pemahaman ini dilarang oleh para ulama pembaharu itu. Para ahli tarekat itu di antaranya adalah Syaikh Muhammad Saad bin Tanta’ dan Syaikh Haji Muhammad Ali bin Abdul Muthallib. Dengan pertentangan itu, banyak terjadi perdebatan antara ulama pembaharu dan ulama tarekat. Hal yang menjadi perdebatan antar ulama ini adalah seputar ushalli, talqin, ru’yah, ijtihad, talqin.

Kaum tradisionis di Jawa

Kaum tradisionis Islam di Jawa yang menentang pembaharuan adalah melalui ulama-ulama yang disebut “Komite Hijaz”, yang keluar dari “Komite Khilafat”, sehingga pada tahun 1926 melahirkan gabungan kelompok ulama-ulama tua (Kaum Tua) dan menjadi sebuah organisasi yang disebut Nahdlatul Ulama, kebangkitan para ulama. Mereka adalah antitesa dari dominasi ulama pembaharuan yang cenderung wahabistik, dan mendapat sokongan dari Ibnu Saud.

Seiring dengan gerakan pembaharuan yang purifikatif, para pembela tradisi ini menuntut agar para ulama pembaharu baik di Hijaz Saudi Arabia maupun di Indonesia sendiri tidak semena-mena terhadap tradisi. Masalah-masalah yang menjadi kontroversi antar mereka adalah seputar: ziarah kubur, membangun kuburan, pembacaan-pembacaan dzikir, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh yang menjadi founding fathers pendirian NU in di antaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH. Bisri (Denanyar).

Pertikaian di kalangan pembaharu

Kendala pembaharuan yang lain yang bersifat internal adalah munculnya pertikaian antar sesama kaum pembaharu sendiri, yakni antara kelompok Sarikat Islam dan kelompok Muhammadiyah yang muncul sejak 1926. Pertikaian ini konon disebabkan karena kekacewaan beberapa elit Muhammadiyah terhadap praktik peribadatan sehari-hari pemimpin besar Sarikat Islam Cokroaminoto yang dianggap kurang disiplin, dan masalah-masalah lainnya soal administrasi selama haji dan kongres Islam di Makkah. Masalah ini menyebabkan pertikaian yang lebih besar lagi antara kedua organisasi tersebut dan tak membutuhkan waktu lama untuk menjalarnya konflik itu sampai tingkat bawah.

Namun demikian, banyak yang mengetahui bahwa sesungguhnya pertikaian antar kedua kelompok ini sudah muncul jauh-jauh hari sejak tahun 20 an. Pasca pertikaian itu, organisasi Muhammadiyah justru semakin besar, disamping karena politik “kooperatifnya” dengan pemerintah, sementara Sarikat Islam sebagai partai mulai semakin redup, ditambah karena politik “hijrah” atau “nonkooperasi” nya dengan pemerintah.

Dari konflik itu, persisnya sejak tahun 1927, Partai Serikat Islam mulai terkucil dan resisten terhadap partai-parti Islam yang lain. PSI terlibat koflik juga dengan Persatuan Islam dan Persis, utamanya karena soal-soal khilafiah dalam masalah keislaman.  Tetapi sejak tahun 30-35an, pertikaian itu pun semakin mereda, dan masing-masing menyadari ikhwal “pertikaian politik” di satu sisi dan “kepentingan agama” di sisi yang lain untuk tidak mempersoalkan hal-hal furu’iyah dan melihat kesamaan dalam hal ushuliah. Selain itu, ditambah lagi kesadaran mereka akan perlunya perjuangan yang lebih besar lagi yakni terhadap pemerintah kolonial.

Namun sejak tahun 35 an, sikap kompromistis mulai ditunjukkan kaum pembaharu dan kaum tradisionis Islam dan menghasilkan berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang disepakati oleh kalangan dari Muhammadiyah, NU, dan SI. Wadah baru ini akan dijadikan tempat untuk melakukan permusyawaratan, kemufakatan, dan konsolidasi antar sesama partai dan organisasi Islam. Organisasi ini diresmikan melalui statuta yang disetujui pada 14-15 Desember 1940 dan menekankan perlunya persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia. Organisasi Tinggi ini sempat beberapa kali bersidang di berbagai daerah, dan cukup berhasil meredam pertikaian yang sempat terjadi sejak tahun 20 an antara Sarikat Islam dengan organisasi-oganisasi dan partai-partai Islam. Hadirnya organisasi ini cukup bermanfaat, setidaknya bagi kalangan-kalangan Muslim sesama pembaharu itu sendiri.

Kaum nasionalis

Pertentangan yang kemudian muncul adalah antara kaum ‘Islamis’ di tubuh Sarekat Islam dengan kaum Muslim lain yang memilih untuk tidak bergerak dalam tubuh SI, melainkan bergerak melalui gerakan nasionalisme sendiri dengan tokoh-tokohnya seperti Sukarno, Wedyodiningrat, Singgih, Iskak, dan Sutomo (pendiri Budi Utomo). Sukarno dan beberapa tokoh lainnya aktif dalam gerakan bernama Algemene Studie Club di Bandung, sebelum akhirnya nanti mendirikan PNI. Sempat dibentuk federasi yang menanungi partai-partai politik di Indonesia oleh Sukarno yang disebut PPPKI dan menaungi, salah satunya, SI, namun akhirnya pecah kongsi.

Namun yang lebih menguntungkan adalah munculnya kesadaran bersama akan perjuangan untuk kemerdekaan. Pertentangan yang muncul antara kaum Islamis SI (Salim, Tjokroaminoto, dkk) dan kalangan Islam nasionalis (Sukarno, Wedyodiningrat, Sutomo, dkk) lebih kepada bagaimana menerjemahkan semangat nasionalisme. Pembicaraan yang seringkali muncul adalah hubungan antara konsepsi nasionalisme dan tauhid, dalam arti luas, dan negara dan agama. Sering terjadi kritik antara dua kubu tentang pandangan mereka masing-masing, antara yang mendahulukan kebangsaan daripada tauhid, dan tauhid daripada kebangsaan.

Sukarno mengajukan konsepsinya mengenai nasionalisme ala budaya Timur, bukan budaya Barat. Menurutnya, inilah yang juga mengilhami perjuangan pemimpin-pemimpin di Asia seperti Gandhi, Sun Yat Sen, Mustafa Kamil, dan lain sebagainya, yang lebih memaknai nasionalisme sebagai “roh”, atau sebagai, dalam bahasa sukarno, “perkakasnya Tuhan”. Sementara kaum Islamis seperti Salim melihat semangat ini cenderung kepada semangat pemberhalaan tanah air atau pembudakan pada benda. Singkatnya, semangat Salim dkk lebih kepada semangat “pan-Islamisme”, “Arabistik”, sementara Sukarno kepada “nasionalisme religius”, “Islam Kebangsaan”.

Selain itu, dua tokoh lagi dari Persis yang aktif menyuarakan pandangan keislaman adalah Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir. Keduanya memiliki pandangan yang, bisa dikatakan, segaris dengan pandangan Islamis seperti Salim dkk terhadap “nasionalisme” kaum nasionalis yang mereka anggap sebagai sikap ‘ashabiyah.  Ketegangan ini terus berlangsung hampir lama sejak tahun 30 an.

Perseturuan yang seringkali muncul melalui artikel-artikel publik adalah antara tokoh muda PNI Sukarno dan tokoh muda Persis Muhammad Natsir. Tetapi Natsir menyadari sepenuhnya, berdasarkan artikel-artikelnya, bahwa  perbedaan kaum Islamis dengan kaum nasionalis adalah hanya dalam tataran “implementasi konsep cinta tanah air” (hubul watan). Perbedaan corak ideologi menjadikan kedua golongan susah menecapai titik temu. Kaum nasionalis religius seperti Sukarno lebih mengajak kepada “keterbukaan penafsiran dan pemahaman mengenai Islam”, menghendaki “yang esensiil”, mendukung pemisahan negara dan agama, sementara orang seperti Natsir dan kalangan Persis lebih cenderung kepada sikap yang sebaliknya.

Perdebatan tentang hukum Islam dan masalah-masalah keislaman juga mewarnai sesi-sesi konflik antara Sukarno dan Natsir. Bagi Sukarno, yang kelak menciptakan Demokrasi Terpimpin, penyelesaian terbaik bagi kepentingan bersama adalah demokrasi modern, yang merupakan asal pemerintahan Islam yang sejati, asas pemerintahyang diidam-idamkan oleh sebuah ideologi modern.

Penutup

Kita telah menyimak penjelasan historis Deliar Noer tentang sejarah modernisasi Islam di Indonesia, yang dianggap sebagai salah satu penjelasan paling awal dan otoritatif dalam melacak sejarah pembaharuan Islam di Indonesia. Pembahasannya dalam buku ini dapat disimpulkan bahwa sebagai sejarahwan, Deliar Noer menjelaskan tentang sejarah pembaharauan Islam terjadi sejak awal abad 20 an dengan melacak genealogis dan hubungan aksi dan reaksi.

Gerakan pembaharuan Islam, menurutnya, utamanya adalah pembaharuan pendidikan yang diprakarsai oleh ulama-ulama alumni Timur Tengah, dan gerakan politik terutama yang diprakarsai oleh partai Sarekat Islam, yang kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari eksternal maupun internal.

Reaksi pokok berasal dari pemerintah kolonial, dan dari kalangan tradisi sendiri (kaum pembela adat). Pembaharuan Islam identik dengan gerakan purifikatif, atau gerakan yang memurnikan agama dari pengaruh budaya. Selain itu, penentangan terjadi dari kalangan tradisionalis dan kaum nasionalis yang, meskipun mereka sesama Muslim, tetapi karena perbedaan pemahaman dan penafsiran, memilih gerakan yang menurut mereka lebih moderat. Namun demikian, terhadap kelompok di luar Islam, khususnya Kristen, penulis buku ini terkesan masih menempatkan agama Kristen pada salah satu hambatan pokok yang disokong oleh pemerintah kolonial dan mereduksi kekristenan menjadi satu hambatan bagi gerakan keislaman. Wallahua’lam.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN

1 thought on “Deliar Noer dan Sejarah Modernisasi Islam di Indonesia”

  1. Pingback: Oemar Said Tjokroaminoto: Islam dan Negara-Bangsa - Tidar Islam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top