Catatan Melbourne

Oleh: Aji Sofanudin

Tidarislam.co- Hidup di negara orang tidak selamanya enak. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika berada di Melbourne, Australia 3-11 Juli 2025. Keadaan cuaca yang ekstrem dingin, harga makanan yang mahal, cari tempat ibadah (masjid) juga sulit. Pernah suatu saat, saya salat sambil duduk di taman. Tentu saja dengan tayamum, model salat ringkas jamak qoshor.

Banyak kenikmatan hidup di tanah air, terkadang dianggap biasa. Cuaca yang normal, tidak kita sadari sebagai sebuah anugerah. Kabarnya di Melbourne kalau musim panas, bisa panas banget, demikian juga kalau musim dingin seperti menusuk tulang (beruntung sy menggunakan long john, sehingga agak hangat).

Saya merasakan sulit cari tempat makanan yang bebas pork. Semuanya tercampur jadi satu sajian. Belum lagi, kalau cari nasi tentu lebih sulit lagi. Sebagai orang kampung, belum dianggap makan kalau belum ketemu nasi, meskipun sudah makan banyak roti. Beruntung sangu nasi porang, yang cukup dikasih air panas, bisa langsung dimakan.

Pengalaman Baru

Sebenarnya kedatangan saya ke Melbourne untuk sebuah konferensi dua tahunan bertajuk Indonesia Council Open Conference (ICOC 2025). Konferensi ini bertujuan untuk memfasilitasi presentasi karya inovatif tentang Indonesia oleh para akademisi.

Tahun 2025, ICOC diselenggarakan di University of Melbourne dengan tema Indonesia Now: 80 Years of Independence, 7-10 Juli 2025. Sebelumnya, tahun 2023 diselenggarakan di University of Sydney, dan tahun 2021 diselenggarakan di University of Quesland. ICOC kali pertama diselenggarakan tahun 2001, di University of Melbourne. Sejarah ICOC, bergilir dari satu kampus ke kampus lain di Australia.

Keynote speaker kegiatan disampaikan oleh Farwiza Farhan, if Leuser Could Speak: A Reflection on Power, Progress, and The Future of Indonesia’s Rainforest. Bagus sekali paparannya, yang menceritakan (kira-kira) terkait eksploitasi dan pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam. Wiza, panggilan akrab Ferwiza, mengajak untuk merenungkan kembali hubungan antara manusia dan alam. Tentu dengan kritik yang tajam, terhadap pemerintahan sejak zaman Soekarno, Soeharto, hingga era sekarang ini.

Saya sendiri berkesempatan untuk presentasi di hari kedua, https://icoc2025unimelb.arinex.one/schedule?day=2. Apa materinya? tentu seadanya, semampunya. Saya sendiri terjadwal untuk dua kali paparan, presentasi riset dan book launch.

Baca juga: Beragama Maslahat Arah Kebijakan Tata Kelola Agama Pemerintahan Baru 

Dari BRIN sendiri yang hadir tiga orang, dua kolega saya Bu Zakiyah dan Bu Yumasdaleni. Saya melihat, tokoh besar ”Indonesianis” yang hadir seperti Ariel Haryanto, Nadirsyah Hosen, Djayadi Hanan, dan banyak akademisi dari UGM, Unibraw, UIN Antasari, dan sebagainya. Terlihat juga banyak mahasiswa Indonesia di Australia yang hadir.

Apa hikmahnya? Bagi saya sendiri tentu pengalaman baru. Pertama, ada trem (alat transportasi publik) yang lewat setiap saat. Kita sangat mudah dari satu tempat ke tempat lain. Tentu perlu tahu jurusan (trayek), ada nomor trem atau bus shuttle untuk setiap jurusan. Cukup dengan kartu, kita bisa pergi ke mana kita suka dengan biaya yang terjangkau.

Kedua, budaya jalan kaki. Saya melihat, jalan kaki sebagai budaya. Di kita, termasuk saya, jarak sedikit saja biasanya menggunakan motor atau gojek. Di sini terpaksa jalan kaki, dan kebanyakan model jalannya cepat. Kalau pun alat transportasi, banyak menggunakan sepeda. Di sudut tempat publik, banyak disediakan alat parkir sepeda.

Ketiga, budaya tertib. Ini terlihat ketika menyeberang jalan, sangat tertib mengikuti rambu-rambu. Demikian juga, pengendara mobil juga tertib tidak ugal-ugalan dan berhenti ketika pejalan kaki lewat. Budaya tertib juga terlihat, ketika membayar trem, semua penuh ngetap (membayar dengan kartu) meskipun tidak ada knek (yang mengawasi).

Keempat, jam kerja terbatas. Jam kerja di warung makan atau kedai kopi, kebanyakan buka jam-jam tertentu, makan siang buka 2-3 jam, kemudian tutup lagi. Demikian juga, pasar Victoria street hari senin tutup.

Kelima, menghargai budaya. Di Melbourne ternyata ada Christmas in July Natal di bulan Juli. Biasanya Natal dilakukan di Desember. Di Melbourne, suasana Natal justru ada di bulan Juli. Kabarnya, karena Desember sangat panas, sehingga gereja menggelar ”budaya” Natal di bulan Juli. Ada juga, toko besar yang menyediakan aneka perlengkapan Natal, layaknya menyambut hari Natal.

Keenam, budaya baca tinggi. Di Australia sepertinya jumlah kampus tidak sebanyak di Indonesia. Gedung kampus Melbourne besar dan beberapa lokasi, terlihat di lapangan banyak yang belajar, berkegiatan, perpustakaan banyak ditemukan di tengah kota, town hall, serta banyak pengunjung. Orang baca buku, tidak hanya di kampus, termasuk di dalam trem.

Semua orang pasti punya masalah. Sebagai orang Indonesia, masalah saya adalah kenapa rupiah begitu “tak berdaya” dengan dollar Australia. Sehingga kalau makan, kemudian nilainya ”dirupiahkan”, menjadi sakit hati saya.

Dalam pikiran saya, andai saya berpenghasilan dolar, dengan pengeluaran rupiah. Tentu menyenangkan. Wallahu’alam.

Melbourne, July 9, 2025

Aji Sofanudin, merupakan peneliti agama dan kepala Pusat Riset Agama IPSH BRIN

Baca juga: Islam di Australia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *