Tidarislam.co – Artikel ini tidak secara khusus membincang jilbab dalam pengertian normatif, yakni ajaran dan perintah yang ada di dalam agama. Secara khusus, artikel ini ingin mengurai bagaimana jilbab dipahami secara fenomenologis dalam konteks budaya dan politik yang ada di Indonesia. Artinya, melihat jilbab sebagai femonena keagamaan dan bersinggungannya secara langsung dengan budaya dan politik.
Sejarah telah mencatat bahwa pakaian jilbab telah dipakai oleh orang-orang Nusantara sejak abad ke-17. Jilbab pertama kali dipakai oleh Muslimah Makassar, Sulawesi Selatan. Pada masa itu, Makassar merupakan pusat kerajaan Islam Gowa-Tallo yang berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara dan Timur Tengah. Penggunaan jilbab oleh Muslimah Makassar dipengaruhi oleh ajaran Syafi’i yang mengharuskan wanita menutup seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan.
Penggunaan jilbab di Nusantara tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh masuknya Islam di Nusantara, yang dalam catatan sejarah, Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 M melalui jalur perdangangan di Samudera Pasai, Aceh. Namun demikian, tidak ada bukti historis yang menunjukkan bahwa sejak masuknya Islam di negeri ini, penggunaan jilbab telah terjadi di wilayah Aceh.
Jadi, pemakaian jilbab di masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara belum merupakan sebentuk praktik kebudayaan Islam yang masif terjadi dalam komunitas Muslim, ia hanya dipakai sebagai tanggung jawab seorang Muslimah di mana menutup kepala merupakan bagian dari perintah agama. Sehingga penggunaan jilbab masih jarang dilakukan.
Mengutip sumber The Conversation, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jean Gelman Taylor, seorang professor di bidang sejarah dari Universitas New South Wales, Australia menemukan bahwa tidak ada gambar jilbab di foto-foto perempuan Aceh pada tahun 1880-an dan 1890-an. Hanya ada beberapa pahlawan perempuan Indonesia yang memakai jilbab di masa lalu, banyak di antara pahlawan Muslimah justru tidak memakainya. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian jilbab adalah sebuah pilihan personal.
Namun demikian, sejak awal 1990-an, jilbab mulai menjadi tren budaya perempuan Muslimah, terutama ketika organisasi perempuan Muslimah Aisiyah didirikan. Meskipun, pemakaian jilbab masih sangat terbatas, dan belum sepenuhnya menutup kepala sebagaimana yang terjadi sekarang. Kendati era-era ini telah menandai bagaimana budaya jilbab mulai digunakan oleh perempuan Muslimah seiring dengan lahirnya banyak organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Hingga era kemerdekaan Indonesia, jilbab secara perlahan mulai menjadi tren budaya Muslimah yang masif dilakukan. Meskipun jilbab yang dipakai di era itu sama sekali berbeda dengan yang terjadi sekarang. Dulu, jilbab hanya ala kadarnya saja, tidak terlalu ketat dan tidak menutup rapat-rapat dari kepala hingga dada, ini bisa dilihat dari foto-foto yang ada di tahun 1960-an, di mana banyak perempuan Muslimah yang berjilbab tetapi tidak menutup kepala dan dada secara keseluruhan.
Seiring dengan bergulirnya waktu, jilab ternyata tidak hanya sekedar menjadi tren budaya Islami, namun juga telah masuk dan bersentuhan ke ranah politik. Maksudnya, banyak situasi politik dan kebijakan politik yang berkiatan secara langsung dengan jilbab.
Misalnya, pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto pernah melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri. Pemerintah ketika itu secara ketat mengendalikan isu agama di area publik. Pemerintah menganggap bahwa jilbab adalah simbol politis yang pengarai membahayakan bagi pemerintahan Soeharto.
Soeharto menilai bila kekuatan Islam tumbuh subur, maka itu secara otomatis akan mengancam eksistensi kekuasaannya. Sehingga beberapa simbol Islam di ruang publik dibatasi agar mereka tidak leluasa bergerak.
Namun demikian, situasi ini berbalik pada tahun 1990-an di mana Soeharto mencabut larangan itu yang salah satu tujuannya adalah untuk mengandeng suara umat Islam. Suara umat Islam ini dipercaya Soehatro akan makin melegitimasi kekuatan politiknya dan tetap melanggengkan kekuasaanya di masa-masa mendatang.
Terhitung sejak tahun 1990-an, jilbab telah menjadi budaya Islami yang masif digunakan oleh perempuan Muslimah. Secara perlahan lebih dari separuh perempuan Muslimah telah mengenakan jilbab. Ini adalah tren yang belum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Padahal, era 1990-an ada titik balik di mana kebebasan dan demokrasi menguat seiring dengan lengsernya Soehatro.
Menguatnya kebebasan justru makin menguatkan budaya jilbab dan makin masif digunakan oleh mayoritas perempuan Muslimah.
Negara juga telah membuat keputusan bahwa sisw-siswi sekolah diberi kebebasan berpakaian sesuai dengan ekspresi keagamaanya, seperti memakai jilbab bagi siswi Muslimah. Meskipun, aturan ini kadang-kadang diselewengkan dengan memaksa memakai jilbab bagi siswi-siswi Muslimah yang sejak awal memang tidak memakainya.
Sejak tahun 2000-an, jilbab bukan hanya menjadi tren budaya Islami yang masif digunakan oleh perempuan Muslimah, tetapi ia juga mulai bersentuhan dengan area bisnis di mana tren-tren baru dalam pakaian jilbab telah berkembang pesat dan banyak inovasi-inovasi baru dalam model pakaian Muslimah ini memungkinkan adanya perkembangan bisnis pakaian Islami.
Tidak hanya itu, dalam satu dekade terakhir, ada tren baru dalam budaya Muslim perkotaan yang dikenal dengan istilah “hijrah”. Tren budaya hijrah banyak terjadi di lingkungan perkotaan dan para artis ibukota.
Tren hijrah ini secara langsung juga mempengaruhi fasion perempuan Muslimah. Jilbab, dengan demikian, bukan lagi hanya menjadi tren budaya Islami dan identitas politik keagamaan, tetapi juga memiliki nilai komoditas yang dapat dijual.
Misalnya, tren hijrah ini biasanya terkenal dengan model pakaian yang longgar-longgar, jilbab yang panjang, dan pakian yang menutup aurat secara keseluruhan. Model pakaian ini ternyata telah menjadi ladang bisnis di mana model-model pakaian kaum hijrah makin bervariasi dan berkembang pesat.