Tidarislam.co – Tulisan singkat ini diberi judul “Bisakah Tuhan Dibuktikan secara ilmiah?”, saya akan menjawab dengan tegas bahwa pertanyaan ini keliru dan tidak tepat. Pertanyaan yang benar adalah, mengapa Tuhan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah? Pertanyaan ini lebih masuk akal karena Tuhan bukanlah objek dari ilmu pengetahuan ilmiah. Sehingga untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu pahami dulu apa yang dimaksud metode ilmiah, apa syarat-syarat sesuatu disebut sebagai kebenaran ilmiah, dan mengapa Tuhan tidak mungkin didekati secara ilmiah.
Sebelum bicara panjang lebar, saya akan mengawali dengan satu pertanyaan epistemologis dari Immanuel Kant, seorang Filsuf mashur dari Jerman yang juga ahli di bidang logika dan metafisika. Dalam bukunya Prolegomena, Kant bertanya, apakah metafisika itu mungkin? Kant dengan tegas menjawab, tidak mungkin. Kenapa? Karena pengetahuan kita terbatas pada hal-hal yang memiliki akar indrawi.
Pandangan Kant ini dipertegas lagi dengan argumentasi bahwa pengetahuan manusia selalu saja berdimensi ruang dan waktu. Manusia bahkan cenderung tidak mampu memahami waktu tanpa berdimensi ruang, begitu pula sebaliknya. Ruang dan waktu adalah satu kesatuan utuh di mana manusia memahami segala realitas. Pertanyaan, apakah Tuhan ada di dalam ruang dan waktu? Di ruang dan waktu manakah keberadaan Tuhan bisa terdeteksi? Menurut Kant, di sinilah telak kebuntuan manusia dalam memahami Tuhan.
Penjelasan Kant di atas saya kira sudah cukup untuk menggambarkan mengapa Tuhan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah? Alasan sederhananya, karena pengetahuan kita terbatas pada pengalaman empiris yang ber-ruang dan ber-waktu. Maka pengetahuan tentang Tuhan yang metafisik (di luar dimensi ruang dan waktu) tidaklah mungkin.
Menurut Kant, kita harus bisa sejenak meletakkan akal untuk memberi tempat pada iman. Apa artinya? Bagi Kant, Tuhan ada di wilayah iman, ia tidak tersentuh oleh nalar empiris maupun pengetahuan rasional murni. Membuktikan Tuhan secara rasional dan empiris justru akan menjadi senjata makan tuan karena rasionalisme juga sama-sama bisa dipakai untuk membuktikan ketiadaan Tuhan.
Sekarang mari kita bahas apa itu metode ilmiah dan mengapa Tuhan tidak mungkin menjadi objek pengetahuan ilmiah.
Metode ilmiah adalah suatu proses yang dilakukan secara terus menerus untuk menguji kebenaran, melalui verifikasi dan falsifikasi. Tidak ada yang mutlak dalam ilmu pengetahuan ilmiah, kebenarannya selalu relatif, bersifat sementara dan terkenai hukum dialektika perubahan.
Yang mutlak dalam pengetahuan ilmiah adalah perubahan itu sendiri. Sebab, objek-objek pengetahuannya digali, diuji, diverifikasi, dan difalsifikasi secara terus menerus hingga akhirnya membentuk sebuah teori, dan teori itu akan gugur ketika lahir teori baru (tesis-antitesis-sintesis).
Baca juga: Makrifat dalam Pandangan Sufi
Metode ilmiah merupakan cara sistematis yang biasa digunakan oleh ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam suatu penelitian. Biasanya, langkah-langkah dalam metode ilmiah meliputi merumuskan masalah, hipotesis, eksperimen, menyimpulkan, lalu melaporkan hasil. Ini semua adalah prosedur yang wajib dilakukan dalam proses penggalian kebenaran ilmiah.
Jadi, pengetahuan ilmiah pada level yang paling sederhana merupakan suatu upaya untuk menggali dan memikirkan hal-hal yang ada di dunia ini dan mencari kebenaran di luar diri manusia, bukan di dalam diri manusia.
Di sini sudah agak tergambar mengapa Tuhan tidak mungkin diilmiahkan. Itu semata-mata karena kebenaran ilmiah bersifat faktual dan berubah-ubah (dunia, alam), sementara kebenaran Tuhan (diyakini) mutlak dan tetap. Eksperimen tentang Tuhan sulit dilakukan karena Tuhan sebagai objek tidak memenuhi syarat pengujian dalam metode ilmiah.
Sehingga doktrin agama, katakanlah Tuhan, tidak mungkin bisa didekati secara ilmiah karena tidak ada syarat-syarat yang memungkinkan bagi pengetahuan tentang Tuhan untuk dipahami secara ilmiah.
Misalnya, di antara syarat sesuatu bisa didekati secara ilmiah adalah objek kajiannya harus jelas; empiris, dan dapat dipikirkan secara rasional. Tuhan, dalam hal ini, tidak memenuhi syarat-syarat itu untuk diuji secara objektif-empiris, sehingga tidak mungkin argumentasi ilmiah dapat membuktikan kebenaran Tuhan.
Dengan kata lain, metode ilmiah bukanlah seperangkat metode yang hanya berbasis pada rasionalitas dan logika berpikir semata, tetapi ia juga harus berbasis pada data-data empiris. Sebab, data empiris itulah yang menjadi dasar utama untuk membangun pengetahuan ilmiah. Bukan hanya spekulasi pikiran yang dibangun melalui konsep-konsep yang abstrak.
Pada titik ini, kita digiring untuk memahami bahwa metode ilmiah sama sekali tidak membatasi diri pada pengalaman empiris, tetapi justru pengalaman empiris itu menjadi awal dari gerak ilmu pengetahuan ilmiah. Tanpa pengalaman empiris, mustahil pengetahuan ilmiah akan dirumuskan kebenarannya. Pertanyaannya, bagaimana metode ilmiah akan memulai penyelidikan tentang Tuhan?
Katakanlah penyelidikan itu dimulai melalui wahyu, tapi sekali lagi, menurut metode ilmiah, wahyu bukanlah data empiris yang dapat dijadikan dasar untuk membangun argumen ilmiah tentang Tuhan. Wahyu merupakan informasi yang dibenarkan hanya ketika seseorang beriman atau mengimaninya.
Sehingga Tuhan bukan saja tidak bisa dan tidak mungkin dibuktikan secara ilmiah, karena pembuktian itu sendiri memang tidak perlu. Kita tidak mungkin membangun kebenaran yang benar-benar objektif tentang Tuhan sehingga semua orang akan mengakui kebenaran itu. Begitu juga, kita tidak mungkin memaksa orang untuk menerima argumen teologis yang kita bangun. Karena kebenaran tentang Tuhan selalu saja bersifat subjektif.
Hal ini berbeda dengan metode ilmiah. Misalnya, seorang ilmuwan tidak peduli apakah penemuannya akan diterima atau ditolak oleh orang lain, ia hanya peduli bahwa penemuannya telah sesuai dengan prosedur metode ilmiah. Sehingga pada akhirnya orang-orang akan menerima begitu saja tanpa harus dipaksa. Bila ada yang tidak setuju dengan penemuan itu, ia bisa melakukan pengujian ulang sampai kebenaran datang kepadanya, dengan syarat ia juga harus menggunakan prosedur metode ilmiah.
Di sisi lain, agamawan seringkali memaksa orang untuk menerima kebenaran agamanya kendati tidak ada bukti-bukti empiris yang mendukungnya. Inilah salah satu perbedaan mendasar antara pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan ilmiah. Agama didasarkan pada doktrin, sedang ilmu pengetahuan didasarkan pada metode ilmiah dan eksperimen.
Pada ranah epistemologi, kita harus memahami bahwa tidak semua kebenaran harus diilmiahkan, atau, tidak semua kebenaran berbasis pada metode ilmiah. Kenapa? Karena kebenaran memiliki banyak model, dan ada banyak cara pula untuk memperoleh model kebenaran itu, tidak melulu dengan metode ilmiah. Artinya, metode ilmiah hanyalah salah satu metode saja untuk menempuh satu model kebenaran, yakni kebenaran yang berbasis pada data-data empiris, pada rasionalitas, dan gabungan antara pengalaman dan akal pikiran.
Akhirnya, kita harus menyadari dan menerima bahwa kebenaran Tuhan adalah kebenaran melangit yang gaib, sedang kebenaran ilmiah adalah kebenaran membumi yang empiris. Tuhan yang empiris dan ilmiah adalah Tuhan yang hanya ada dalam sejarah peradaban manusia dan dalam kesadaran umat manusia. Bukan Tuhan yang ada di atas sana. Persis seperti dituturkan Karen Armstrong dalam bukunya berjudul ‘Sejarah Tuhan’.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta