Tidarislam.co – Dalam diskusi “Beragama Maslahat: Arah Kebijakan Tata Kelola Agama dalam Pemerintahan Baru” yang diselenggarakan Pusat Riset Agama adan Kepercayaan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Peraih Habibie Prize tahun 2024 bidang ilmu Filsafat, Agama, dan Kebudayaan, M Amin Abdullah menyampaikan materi menarik terkait “Beragama Maslahat sebagai Landasan Filosofis Nation Building Indonesia” (30/10/2024). Menurutnya, diksi beragama maslahat yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 merupakan satu kebutuhan karena perubahan zaman dalam 150 tahun terakhir. Beragama maslahat bukan reaksi terhadap moderasi beragama.
Perubahan 150 tahun terakhir dalam ilmu sains terjadi seperti globalisasi, migrasi, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, penemuan arkeologis, evolusi genetika. Dalam ranah sosial humaniora muncul human dignity (martabat kemanusiaan), greating interfaith interaction (interaksi yang semakin dekat antar pengikut agama-agama dunia), equal citizenship (kesamaan warga negara), dan gender equality (kesetaraan gender). Perubahan tersebut menjadi akar kegelisahan akademik munculnya teori Maqasid al-Syariah. Tetapi, teori maslahat yang dimaksudkan adalah Maslahat Kontemporer (misalnya) sebagaimana digagas Ibn Asyur dan Jasser Auda, bukan maslahat klasik sebagaimana Imam Al-Ghazali atau Imam Asy-Syatibi.
Beragama Maslahat Vs Moderasi Beragama
Undang-undang Nomor 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 memuat istilah beragama maslahat. Meskipun diksi maslahat ada dalam kamus, namun sebagian besar masyarakat belum familiar terhadap istilah beragama maslahat. Misalnya, apa perbedaan beragama maslahat (BM) dengan moderasi beragama (MB)? Mana yang lebih luas, MB atau BM? Secara konseptual, persoalan ini masih menjadi perdebatan.
Dalam buku Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam, maslahat (mashlahah) merupakan bagian dari moderasi beragama. Moderasi beragama memiliki sembilan nilai, yaitu (1) Rahamutiyah, (2) Insaniyah, (3) Adliyyah, (4) Mubadalah, (5) Mashlahah, (6) Mu’ahadah Wathaniyah, (7) Dusturiyah, (8) Tasamuhiyah, dan (9) ’Urfiyah (Tim Penyusun Ditjen Bimas Islam, 2022). Dengan demikian, moderasi beragama lebih luas daripada beragama maslahat.
Sementara menurut Ahmad Najib Burhani (ANB), diskursus beragama maslahat dikaitkan dengan istilah Islam moderat, Islam Nusantara, dan Islam Berkemajuan serta moderasi beragama. Beragama maslahat mengacu pada sikap keagamaan yang di antaranya “mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, kemaslahatan umum (maslahah al-ammah, the common good, bonum commune), keadilan, keberimbangan, ketaatan pada konstitusi, dan kearifan lokal” (Burhani, opini kompas, 13/1/2024). Dengan definisi tersebut, menurut ANB beragama maslahat dimaknai sama dengan moderasi beragama.
Beragama maslahat merupakan cara beragama yang menghadirkan kebaikan bersama (common good, public interest, bonum commune). Lawan beragama maslahat adalah beragama mafsadat (causing damage, ruin), beragama yang menghadirkan kerusakan. Beragama maslahat melihat agama sebagai sesuatu yang positif, pemberi solusi, serta menjadi spirit kemajuan berbangsa.
Beragama maslahat ingin melihat agama pada sisi atau potensi positifnya. Bukan memandang agama sebagai sumber konflik, berpotensi membuat orang menjadi ekstremis atau radikalis, membenci dan memusuhi mereka yang berbeda agama, dan menjadi alat untuk memecah-belah atau polarisasi di masyarakat. Beragama maslahat ingin melihat agama berkontribusi terhadap ekonomi, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu yang bisa ditingkatkan adalah peran filantropi berbasis agama. Setiap agama dan kepercayaan memiliki istilah tersendiri untuk menyebut dana sosial keagamaan tersebut. Dalam komunitas Hindu dikenal istilah dana punia. Komunitas Buddha memiliki amisa dana, paricaya dana, abhaya dana dan dhamma dana. Dalam tradisi Katholik dikenal istilah kolekte, stipendium, dan iura stole. Dalam tradisi Kristen dikenal persepuluhan dan persembahan. Dalam Islam mainstream dikenal istilah zakat, infaq, sedekah, hibah dan wakaf. Dalam komunitas Syiah dikenal istilah khumus, sementara dalam Ahmadiyah dikenal istilah chandah. Dalam komunitas Baha’i dikenal dengan sebutan huququllah, sementara dalam salah satu penghayat kepercayaan dikenal istilah yang lain, reriungan.
Jika pengelolaan dana sosial keagamaan tersebut dikolaborasikan dengan program-program pemerintah, tentu menjadi kekuatan yang luar biasa. Program makan bergizi gratis yang menjadi salah satu program prioritas pemerintahan Prabowo bisa disupport dari dana sosial keagamaan. Bahkan, dana sosial keagamaan juga dapat membantu lebih intensif terhadap program-program pemerintah yang lain seperti pengurangan stunting, deradikalisasi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan program yang selaras dengan SDGs lainnya. Kuncinya, tentu saja adalah trust antara pengelola dana keagamaan tersebut dengan pemerintah. Inilah yang dimaksud dengan beragama maslahat.
Seandainya kita tidak setuju dengan diksi “maslahat”, kata Prof. Amin Abdullah, Indonesia memiliki khazanah sendiri yang indigenous, yakni murakabi tumraping liyan (bermanfaat untuk orang lain). Murakabi adalah istilah lain untuk maslahat, yang terselip sindiran agar pemerintah tidak hanya menguntungkan birokrasi, tetapi juga memberikan solusi atas masalah masyarakat. Wallahu’alam.
Jakarta, 22 November 2024
Aji Sofanudin, Senior Researcher pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, BRIN

2 thoughts on “Beragama Murakabi”