Beragama Maslahat: Arah Kebijakan Tata Kelola Agama dalam Pemerintahan Baru

Oleh: Aji Sofanudin

Undang-undang Nomor 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 memuat istilah “beragama maslahat”. Meskipun diksi maslahat ada dalam kamus, belum semua orang memahami arti beragama maslahat. Bahkan, sampai saat ini belum ada dokumen resmi, kajian kebijakan, policy brief, regulasi pemerintah atau sejenisnya terkait beragama maslahat. Pemerintah cq Kementerian Agama RI tidak/belum memiliki dokumen tersebut.

Hal ini berbeda dengan kebijakan moderasi beragama yang masuk dalam RPJMN 2020-2024. Sebelum masuk RPJMN, pemerintah cq Kementerian Agama RI telah menyusun buku putih moderasi beragama tahun 2019 sebagai “versi resmi” pemerintah. Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin,  dinobatkan sebagai “penemu” moderasi beragama. Meskipun sebagai sebuah ide, Menteri Agama periode 1993-1998, Tarmidzi Taher telah memperkenalkan konsep middle path atau jalan tengah atau moderasi sebagaimana dalam bukunya Aspiring for the Middle Path: Religious Harmony in Indonesia, tahun 1997.

Memahami Beragama Maslahat

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan beragama maslahat? Hemat penulis istilah beragama maslahat belum terkonsepsi secara jelas. Istilah beragama maslahat sudah ada, namun sebatas kajian masa lalu yang merupakan perdebatan fiqh Islam klasik.

Menurut Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syatibi, maslahat menyangkut lima aspek kehidupan atau prinsip umum (kulliyat al-khamsah) yaitu untuk melindungi (1) agama (hifz al-din); (2) jiwa (hifz al-nafs); 3) akal (hifz al-aql); (4) harta (hifz al-mal); dan (5) keturunan (hifz al-nasl). Ulama kontemporer, Yusuf al-Qardlawi menambahkan memelihara lingkungan (hifz al-bi’ah) sebagai bagian dari Maqasid al-Syariah.

Perbincangan maslahat, terbatas pada perdebatan fiqh klasik. Dalam konteks Indonesia, maslahat setidaknya ada pada Fatwa MUI Nomor: 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 tentang kriteria maslahat. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), kriteria maslahat meliputi: (1) maslahat/kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah (maqasid al-syariah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyyat al-khamsah) yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan; (2) maslahat yang dibenarkan oleh syariah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, maslahat tidak boleh bertentangan dengan nash; (3) yang berhak menentukan maslahat-tidaknya sesuatu menurut syara’ adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syariah dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.

Baca Juga: Beragama Maslahat

Dalam kajian kontemporer, sependek pengetahuan penulis, perbincangan beragama maslahat terdapat di tiga dokumen. Pertama, tulisan Ahmad Najib Burhani dalam Analisis Budaya Harian Kompas, 13 Januari 2024 berjudul “Beragama Maslahat”. Diskursus beragama maslahat dikaitkan dengan istilah Islam moderat, Islam Nusantara, dan Islam Berkemajuan serta moderasi beragama. Beragama maslahat menemukan urgensinya sebagai estafet moderasi beragama. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa beragama maslahat mengacu pada sikap keagamaan yang di antaranya “mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, kemaslahatan umum (maslahah al-ammah, the common good, bonum commune), keadilan, keberimbangan, ketaatan pada konstitusi, dan kearifan lokal” (Burhani, opini kompas, 13/1/2024).

Kedua, opini Ahmad Najib Burhani dalam media Indonesia “Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat” (Burhani, Media Indonesia, 26/5/2024). Tulisan tersebut menceritakan pentingnya agama sebagai solusi untuk mendorong pembangunan ekonomi dan kesejateraan masyarakat. Beragama maslahat ingin memperkuaa pada sisi atau potensi-potensi positifnya. Ini adalah lawan dari memandang agama sebagai sumber konflik, berpotensi membuat orang menjadi ekstremis atau radikalis, membenci dan memusuhi mereka yang berbeda agama, dan menjadi alat untuk memecah-belah atau polarisasi di masyarakat.

Sumber ilustrasi: Flyer Webiner Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, BRIN

Pengelolaan religious pilgrimage, religious tourism, wisata rohani, dan wisata ziarah lainnya akan menghadirkan manfaat ekonomi yang besar. Selain haji ke Mekkah dan Madinah yang dilakukan setahun sekali, umrah bisa berlangsung terus-menerus sepanjang tahun. Jika dikelola dengan baik, ini semua adalah peluang ekonomi yang besar bagi Indonesia. Dalam kondisi pengelolaan yang kurang baik pun, dana yang dikelola bisa mencapai ratusan triliun rupiah, apalagi jika ini dikelola dengan lebih baik lagi.

Demikian pula dengan ekonomi syariah dan industri halal. Bukan hanya negara Muslim yang melihat potensi bisnis dan ekonomi yang besar dari hal ini, negara seperti Thailand, Jepang, dan Australia juga melihatnya sebagai ceruk keuntungan. Industri halal ini bahkan masuk bukan hanya persoalan makanan, tapi juga kosmetik, obat-obatan, dan lainnya (Burhani, Media Indonesia, 26/5/2024).

Baca juga: Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Umat

Ketiga, beragama maslahat ada dalam materi Power Point Bappenas yang diantaranya disampaikan oleh Amich Alhumami, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan. Beberapa power point Beragama Maslahat “versi” Bappenas, diantaranya Asep Salahudin, Fajar Riza Ul Haq, dan Didik Darmanto.

Power point Asep Salahudin, Cendekiawan Muslim NU-staf ahli BPIP, memaparkan “Beragama Maslahat dan Berkebudayaan Maju” (8/6/2023) menjadi salah satu bahan diskusi di Bappenas. Mengawali kajian historis, pidato Soekarno 1 Juni 1945, Ketuhanan yang Berkebudayaan: politik yang berdaulat, ekonomi yang berdikari, dan kebudayaan yang berkepribadian. Negara perlu melakukan upaya transformatif: arah kebijakan sekaligus arah kebajikan.

Demikian pula, power point Fajar Riza Ul Haq, intelektual Muhammadiyah, membuat paparan: catatan atas rancangan awal RPJPN 2025-2045, bidang Agama dan Kebudayaan (8/6/2023) menjelaskan bahwa beragama maslahat mencakup sejumlah indikator: Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan Kebudayaan, Indeks Demokrasi, Indeks Perdamaian, Indeks Kerukunan Umat Beragama, dan Indeks Kerawanan Pangan.

Beragama maslahat dalam konteks keindonesiaan merupakan perwujudan kesepakatan kolektif dari proses dialogis ketiga sumber nilai utama berbangsa (baca: agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur) berdasarkan nilai-nilai universal (kulliyat) dan solidaritas kemanusiaan. Prinsip beragama maslahat adalah perlindungan (protection), pengakuan (recognition), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice) (Riza Ul Haq, 8/6/2023).

Power point dari Didik Darmanto, Direktur Agama, Pendidikan dan Kebudayaan Bappenas terkait sosialisasi Draf Rancangan Teknokratik RPJMN Bidang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan (27/11/2023). Di antara isu strategis beragama maslahat dan berkebudayaan maju adalah bahwa nilai agama belum optimal diejawantahkan menjadi kerja-kerja pembangunan yang membawa kebaikan bersama (Maslahah al-Ammah, the Common Good, Bonum Commune).

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa konsep beragama maslahat belum memiliki kejelasan atau kesepakatan, setidaknya dari sisi dimensi dan indikator. Masing-masing tokoh memiliki definisi dan pemaknaan yang beragam.

Dimensi dan Indikator Beragama Maslahat

Diksi beragama maslahat menjadi nomenklatur resmi negara setidaknya sejak 13 September 2024, ketika regulasi RPJPN tersebut diundangkan. Beragama maslahat merupakan salah satu arah (tujuan) pembangunan. Dalam RPJPN tersebut, indikator beragama maslahat hanya tunggal yakni Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB). Pertanyaannya, apakah indikator beragama maslahat hanya Indeks KUB? Hemat penulis, hal ini muncul karena belum kokohnya definisi beragama maslahat.

Berikut ini adalah contoh pengembangan makna maslahat yang diambil dari khazanah klasik yakni Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syatibi. Pendapat para imam dalam khazanah klasik tersebut dikombinasikan dengan pandangan pemikir kontemporer Jasser Auda dari Mesir.

Pertama, hifz al-nasl, memelihara keturunan. Memelihara keturunan termasuk juga perlindungan terhadap keluarga, kepedulian yang luas terhadap institusi keluarga. Kedua, hifz al-aql, memelihara akal. Memelihara akal termasuk juga mengembangkan pola pikir dan research ilmiah, mengutamakan mencari ilmu. Ketiga, hifz al-nafs, memelihara jiwa. Memelihara jiwa termasuk juga menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan, menjaga dan melindungi HAM secara universal. Keempat, hifz al-maal, memelihara harta. Memelihara harta termasuk juga mengembangkan kepedulian sosial, menghilangkan jurang antara miskin dan kaya. Kelima, hifz al-din, memelihara agama. Memelihara agama termasuk juga menjaga, melindungi, dan menghormati kebebasan beragama dan berkepercayaan seluruh umat manusia (Jasser Auda, Maqashid al Shariah as Philosophy of Islamic Law a Systems Approach; Inovasi dan Beragama Maslahat, 2024: 116).

Beragama maslahat adalah the ultimate goal, dan moderasi beragama menjadi salah satu strateginya. Diskusi awal terkait beragama maslahat, bisa dibaca pada buku berjudul “Inovasi dan Beragama Maslahat: Menuju Indonesia Emas 2045”. Buku tersebut bisa didownload secara gratis melalui laman sebagai berikut: https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/978

Semoga membawa maslahat.

Aji Sofanudin. Senior Researcher pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, BRIN

One thought on “Beragama Maslahat: Arah Kebijakan Tata Kelola Agama dalam Pemerintahan Baru

Comments are closed.