Sumber gambar: Varthana.com, artikel “Digital Literacy – 5 Skills That Will Serve You Well” (2023)
Oleh: Ilham Ependi
Tidarislam.co- Saat ini, kita telah hidup di dunia yang serba cepat. Segala bentuk apapun yang kita butuhkan bisa kita temukan hanya dengan satu kali klik. Media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya generasi muda. Hampir semua hal kini dapat diakses melalui media sosial, mulai dari hiburan, kabar berita, hingga isu-isu penting dunia.
Sayangnya, di balik semua kemudahan yang ada, terdapat masalah besar yang sering tidak disadari, yaitu rendahnya literasi dalam membaca. Banyak dari kita yang lebih sering scroll, like, atau share tanpa benar-benar membaca dan memahami isi dari apa yang kita lihat. Padahal, di tengah banjir informasi ini, kemampuan seseorang dalam membaca dengan baik menjadi suatu hal yang sangat penting. Sebab, jika tidak generasi muda akan rentan terjebak dalam informasi yang salah, mudah termakan oleh hoaks, bahkan kesulitan dalam berpikir kritis.
Banjir Informasi dan Budaya Scroll
Menurut sebuah laporan dari We Are Social & Hootsuite pada tahun 2024, rata-rata orang Indonesia menggunakan internet dengan rentang waktu sekitar 8-9 jam per hari. Dari kurun waktu tersebut, sekitar 3 jam lebih dihabiskan dalam bermedia sosial. Seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) yang kini menjadi platform favorit generasi muda.
Akan tetapi, kebiasaan berlama-lama di media sosial membuat cara kita dalam membaca ikut berubah. Kita lebih suka membaca sesuatu yang singkat-singkat atau ringkas. Kita cenderung melompat dari satu informasi ke informasi lain. Fenomena ini disebut sebagai “skim reading”, yang merupakan teknik membaca cepat untuk menangkap ide utama atau gambaran umum dari teks tanpa membaca secara detail. Akibatnya, kita sering tidak benar-benar memahami apa yang kita baca, apalagi memikirkannya lebih dalam.
Minim Literasi, Banyak Masalah
Masalah rendahnya literasi membaca ini bukan cuma sekedar perasaan kita saja, tapi terbukti melalui data tertulis. Dalam Survei Nasional Literasi Digital 2022 yang dilakukan oleh Kominfo dan Katadata Insight Center, skor literasi digital Indonesia berada di angka 3,54 dari skala 5. Artinya, masih di level sedang. Salah satu yang paling rendah adalah aspek literasi membaca. Bahkan dalam survei global seperti PISA (Programme for International Student Assessment) oleh OECD pada 2019, kemampuan membaca pelajar Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kita masih punya PR yang besar mengenai budaya membaca. Dengan dampak nyata pada masyarakat seperti:
- Mudah percaya hoaks, dengan data dari Kominfo pada tahun 2023 yang mencatat bahwa ada lebih dari 11.000 hoaks tersebar di media sosial sepanjang tahun.
- Diskusi di media sosial sering jadi ribut karena banyak yang tidak membaca sampai tuntas sebelum berkomentar.
- Berpikir dengan kritis menjadi lemah, banyak sekali yang hanya ikut-ikutan tanpa berpikir apakah informasi yang diperoleh itu benar atau salah.
Kenapa Budaya Literasi Membaca Generasi Muda Menjadi Lemah?
Terdapat beberapa alasan mengenai, apa yang menyebabkan rendahnya minat baca di kalangan generasi muda? seperti:
- Budaya hidup instan, yang mana kita lebih suka menonton video singkat atau membaca caption yang pendek daripada membaca artikel panjang.
- Kurangnya kebiasaan membaca sejak kecil, di Indonesia banyak keluarga yang belum membiasakan budaya membaca di lingkungan rumah.
- Algoritma konten media sosial yang sering menyuguhkan hiburan daripada konten edukatif.
- Literasi digital belum menjadi prioritas dalam berpendidikan, dapat kita lihat bahwa banyak sekolah yang belum serius dalam mengajarkan bagaimana cara membaca dan mencerna informasi secara kritis di internet.
Upaya Seperti Apa yang Dapat Kita Lakukan?
Meskipun memiliki tantangan yang besar dan sulit, akan tetapi bukan berarti tidak bisa kita perbaiki. Beberapa hal ini dapat kita jadikan sebagai solusi fenomena tersebut. seperti;
- Mengajak anak muda untuk membaca melalui cara yang mereka, misalnya, bisa lewat book club online, podcast buku, atau konten kreator yang membahas buku dengan cara yang menarik.
- Memasukkan literasi digital kedalam kurikulum di sekolah. Budaya literasi membaca harus diajarkan sedari dini, apalagi yang berkaitan dengan informasi digital.
- Mendorong kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan media sosial dengan tujuan memunculkan lebih banyak konten edukatif yang bermanfaat.
- Influencer dan content creator sebagai alat dalam membiasakan budaya membaca dan berpikir kritis.
Di era digital ini, membaca bukan hanya keterampilan, tapi tameng kita terhadap manipulasi informasi. Kemampuan dalam membaca dengan baik bukan lagi sekadar kebutuhan akademik saja, akan tetapi sebagai kebutuhan hidup. Tanpa adanya kemampuan dalam membaca yang baik, kita sebagai penerima informasi akan lebih mudah tertipu informasi dan akan sulit membedakan mana fakta mana hoaks. Sehingga, pada akhirnya hanya akan menjadi “penumpang” di tengah arus informasi.
Generasi muda Indonesia memiliki potensi yang besar dalam menjadi generasi yang cerdas dan kritis. Tapi itu hanya bisa terjadi apabila kita sebagai generasi penerus mau membaca lebih dalam, bukan hanya sekadar scroll selewat. Ingat, membaca itu bukan soal seberapa banyak yang kita baca, tapi seberapa dalam kita memahaminya.
Ilham Ependi, merupakan mahasiswa aktif di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.