![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2025/01/suaradotcommmm.jpg)
Sumber gambar: suara.com
Tidarislam.co – Belum lama ini publik Indonesia dikejutkan dengan putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk beragama. Jika ada seorang warga tidak beragama, maka ia tidak akan tercatat dalam administrasi kependudukan (adminduk). Sontak, putusan ini banyak menuai polemik pro-kontra di tengah masyarakat.
Pasalnya, putusan MK ini telah dianggap sebagai langkah mundur dalam mengimplementasikan prinsip hak asasi manusia (HAM), khususnya terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Terkait masalah ini, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan; misalnya, apakah ateisme memang dilarang di Indonesia? Lalu bagaimana implementasi Undang-undang tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan?
Pancasila dan Ateisme
Mengenai pertanyaan pertama, kita dapat merujuk pada pasal 156a KUHP yang menyebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan kepada suatu agama yang dianut di Indonesia, b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Poin pertama pasal di atas jelas bahwa seseorang tak boleh melakukan penghinaan atau penodaan terhadap agama dan keyakinan tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dan kegaduhan secara luas di masyarakat. Munculnya pasal ini untuk memastikan agar setiap penganut agama tertentu dapat mengekspresikan keyakinannya dengan penuh hikmat tanpa ada gangguan dari penganut agama lainnya.
Mari kita perhatikan poin kedua pasal ini, yakni adanya larangan untuk mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan yang bermaksud agar seseorang tidak menganut agama apapun, sesuai dengan sikap berketuhanan pada sila pertama. Pasal ini mengindikasikan bahwa setiap warga negara tak boleh menyebarluaskan secara sengaja paham-paham yang masuk kategori ateisme.
Baca juga: Beragama Murakabi
Butir-butir Pancasila pada dasarnya tidak selalu mencerminkan sikap warga negara secara langsung, terbukti tidak semua agama yang disahkan oleh Undang-undang menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi sebagai ideologi pemersatu, Pancasila dimaksudkan untuk menghimpun dan mempersatukan segala jenis perbedaan dan bahkan pertentangan dalam masyarakat.
Sebagai ideologi, Pancasila tidak akan pernah menjadi suatu ketetapan yang baku sampai ada Undang-undang yang mengatur secara jelas dan tegas tentang implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-undang pada prinsipnya adalah kepanjangan dan tafsir implementatif dari ideologi pemersatu.
Kembali ke soal awal, apakah ateisme memang dilarang di Indonesia? Pertanyaan ini terasa sulit dan menjadi kontroversial ketika dihadapkan pada butir pertama Pancasila dan sebuah penafsiran dari Notonagoro bahwa Pancasila itu bersifat hierarkis, yakni urutan bertingkat-tingkat di mana setiap butir memberi nafas dan mengiringi butir-butir lainnya, sehingga Pancasila dipahami secara tunggal dan tak terpisah-pisah, maka ateisme adalah ketidakmungkinan.
Namun secara tidak langsung, bentuk normatif dari pasal 156a justru menyatakan sebaliknya, bahwa setiap individu bebas menganut agama dan keyakinan tertentu bahkan ia bebas untuk tidak menganut agama apapun selama ia tidak menganggu umat lain berupa menyebarkan paham yang tidak meyakini agama apapun seperti ateisme.
Mahfud MD pernah mengatakan bahwa tidak ada satu pasal pun yang melarang seseorang menganut paham ateis, bahkan ia menambahkan bahwa orang yang mengaku sebagai ateis atau bahkan komunis tidak pernah bisa dipidanakan. Itu artinya seseorang bebas untuk bertuhan sekaligus tidak bertuhan selama ia tak menganggu kebebasan orang lain dalam beragama.
Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa paham ateisme bukanlah sesuatu yang di larang di negeri ini, artinya orang bebas menjadi ateis selama ia tidak mengajak orang lain untuk menjadi ateis. Ini sekaligus menegaskan bahwa putusan MK tentang larangan warga negara untuk tidak beragama menjadi tidak mungkin dan tidak masuk akal.
Beragama adalah Hak dan bukan Kewajiban
Bagian ini akan menjawab pertanyaan, bagaimana implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia? Dalam pasal 28E ayat (1) ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”, sementara pasal 29 ayat (2) memastikan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.
Kedua pasal di atas secara khusus dapat dipahami sebagai kebebasan setiap warga negara untuk memeluk satu agama dan bebas mengekspresikan agamanya sesuai dengan keyakinan yang ia pilih. Bila diperhatikan, poin kuncinya ada pada “hak” dan “kemerdekaan”, bahwa setiap warga negara berhak dan merdeka untuk mengekspresikan keyakinannya.
Dalam konteks perundang-undangan, diksi “hak” dan “kewajiban” memiliki arti dan implikasi yang jauh berbeda. Hak adalah segala sesuatu yang melekat pada setiap individu dan, setiap orang juga boleh untuk tidak mengimplementasikan haknya. Misalnya, beragama adalah hak, setiap individu berhak beragama dan sekaligus berhak untuk tidak beragama. Pilihan-pilihan itu bersifat bebas atau merdeka, sehingga setiap individu memiliki kewenangan penuh untuk memilih apakah ia mau beragama atau tidak.
Baca juga: https://tidarislam.co/beragama-maslahat-arah-kebijakan-tata-kelola-agama-dalam-pemerintahan-baru/
Berbeda dengan kewajiban, ia adalah beban tanggung jawab yang melekat pada setiap warga negara dan tidak ada seorang pun yang boleh melanggarnya. Sebagai contoh, bila membayar pajak adalah kewajiban, maka setiap warga negara wajib membayar pajak sesuai kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Dalam konteks di atas, tentu masalah beragama dan pajak adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama lebih merupakan hak, dan yang kedua adalah kewajiban. Artinya, selama tidak ada UU tentang larangan untuk tidak beragama, maka negara – dalam konteks ini adalah MK – tidak boleh secara sepihak membuat kebijakan larangan untuk tidak beragama dan mempersulit bagi orang yang tidak beragama.
Fenomena yang terjadi dalam konteks putusan MK menandakan bahwa tafsir Pancasila dan UU tentang hak beragama masih carut-marut di Indonesia. Artinya, negara seringkali membuat kebijakan aneh dan berlawanan dengan UU itu sendiri. Dalam hal ini, yang sering terdampak adalah kelompok minoritas yang tidak mengikuti salah satu agama resmi.
Negara seolah memaksa setiap warganya untuk mengikuti satu agama kendati bertentangan dengan keyakinan individu warganya. Praktik pemaksaan untuk mengikuti satu agama kiranya telah melanggar prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah diamanahkan oleh konstitusi.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta