![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2025/01/nuonlineeeeeeeeeee.webp)
Sumber gambar: nu.or.id
Oleh: Francois de Blois
Diterjemahkan oleh Rohmatul Izad dari Artikel berjudul “Islam in its Arabian Context” dalam buku “The Qur’an in Context”
Pada dua sampai tiga dekade terakhir telah muncul madzhab baru dari pengkajian Islam di Barat, banyak pengikut dari madzhab ini menyebut diri mereka sebagai “revisionist”. Dorongan utama dari aliran ini adalah untuk menentang validitas dari catatan muslim tradisional tentang lokasi dan waktu asal muasal Islam dengan melakukan kajian pada wilayah utara Arab (seperti Babilonia dan padang gurun Syiria), dan pada kurun waktu yang lebih modern (mungkin akhir abad ke-8 atau abad ke-9). Dalam beberapa tahun terakhir pula, terdapat kecenderungan yang sangat kuat dari para revisionis ini untuk menentang validitas tekstual Al-Qur’an dan merekonstruksikan ke sebuah versi yang seharusnya lebih tua dari kitab suci umat Muslim.
Sejak awal, para tokoh “revisionist” ini menyatakan bahwa mereka menaruh perhatian pada kemapanan tradisi ‘historis kritis’ pada studi kitab suci Kristen yang muncul sejak sekitar awal abad kesembilan belas. Namun, menurut saya, ada perbedaan mendasar antara konteks sejarah pada studi Perjanjian Baru di satu sisi, dan pada studi Al-Qur’an di sisi yang lain.
Studi kritis-historis dari Perjanjian Baru menjadi fenomena penting dalam sejarah kekristenan, terutama Protestan. Hal ini karena studi kritis adalah kelanjutan logis dari Reformasi Kristen, sedangkan Reformasi ini dimulai dari penolakan terhadap komponen utama dari Kristen yang mengklaim Alkitab sebagai satu-satunya sumber doktrin Kristen. Akan tetapi, Luther (Marthin Luther, pendiri Kristen Protestant Lutheran, terj) dan para pendiri Protestantisme membedakan antara buku-buku yang mereka temukan pada salinan Alkitab, dengan kitab “kanonik” (kanonik: kitab otoritatif Kristen, terj) dan “deuterokanonika” (kitab tambahan pada Alkitab, terj) atau tulisan-tulisan “apokrif” (catatn yang ditemukan setelah kanonik, terj), dan bahkan mempertanyakan otoritas kitab yang dijadikan sebagai tulisan “kanonik”, khususnya pada Kitab Wahyu.
Oleh karenanya, adalah langkah logis ketika para Sarjana Kristen, sekitar akhir abad kedelapan belas, mulai menyelidiki berbagai macam sisi kemungkinan yang terdapat pada masing-masing kitab dari Perjanjian Baru. Tradisi kritik terhadap Perjanjian Baru adalah bagian dari sejarah kebudayaan Barat dan tradisi ‘historis kritis’ adalah bagian penting dalam manifestasi de-Kristenisasi masyarakat Eropa.
Sebaliknya, kritik dari para “revisionis” modern terhadap Al-Qur’an tidaklah muncul dari masyarakat Islam, akan tetapi dari para akademis Barat. Oleh karena pengkajian ini tidak muncul dari masyarakat muslim itu sendiri, maka di Timur masih dianggap (mungkin benar atau salah) sebagai bagian dari kajian Barat yang “Kristen”, bahkan dari para Muslim modern, kajian ini masih dianggap sebagai kelanjutan dari permusuhan Kristen dan Yahudi terhadap Islam yang telah berlangsung lama, dari Perang Salib sampai imperialisme Eropa.
Akan tetapi saya akan melakukan pendekatan dari pertanyaan ini dari sudut pandang yang berbeda, bukan dari konteks sosio-politik Al-Qur’an ala sarjana Barat, akan tetapi dari analisis kritis terhadap sejarah pengetahuan yang bersumber dari sejarah awal Kristen dan Islam.
Kristen muncul dalam konteks sejarah dan geografis yang terdefinisikan dan dikenal dengan sangat baik, yaitu di provinsi Romawi di wilayah Palestina pada abad pertama Masehi. Sejarah politik, sosial, dan budaya Palestina Romawi didokumentasikan dengan baik dalam berbagai tulisan kontemporer baik oleh penulis pagan, Yahudi, dan Kristen; Bahkan, wilayah ini menjadi objek kajian arkeologis yang diteliti secara intens dan mungkin tidak tertandingi oleh wilayah lain di belahan dunia.
Berbeda dengan Kristen, catatan sumber tentang wilayah asal Islam tidak memiliki informasi sejarah yang benar-benar fokus. Meskipun begitu, daerah pinggiran Utara dan Barat Daya dari Gurun Arab relatif terdokumentasikan dengan baik oleh sumber-sumber sejarah dan catatan arkeolog, akan tetapi kami tidak memiliki data yang baik tentang wilayah di tanah kelahiran Islam; yaitu Mekah, Madinah, dan Ḥijāz, selain dari sumber-sumber Islam itu sendiri. Begitu juga, belum pernah ada penggalian arkeologis di wilayah Mekah atau Madinah. Dari sudut pandang sejarawan, Ḥijāz kuno itu seperti tanah kosong dalam peta. Ini memberikan arti bahwa penyelidikan Al-Qur’an dan tradisi awal Islam terjadi dalam kekosongan sejarah.
Di sisi lain, ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengambaran Yesus dalam Perjanjian Baru dan penggambar Muhammad dalam Al-Qur’an dan dalam tradisi awal Muslim.
Maka saya akan mengulangi beberapa poin penting tentang Yesus dan Perjanjian Baru. Kitab-kitab Perjanjian Baru disusun pada waktu yang berbeda dan mengandung perbedaan yang mendasar baik dari segi konten naratif maupun konten teologisnya. Kanon Perjanjian Baru, yang kita kenal sekarang dengan keempat versi bukunya, sebagian sangat kontradiktif. Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat Paulus dan Paulus palsu (Paulus palsu atau yang dalam redaksi asli “pseudo Pauline” adalah istilah surat yang ditulis oleh murid murid Paulus namun dinisbatkan pada Paulus, terj), yang disebut sebagai Surat Katolik. Yang sangat jelas adalah Kitab Wahyu yang tidak muncul sebagai kanon resmi sampai menjelang akhir abad kedua.
Sekte Kristen paling kuno mengakui hanya ada satu versi Injil sebagai dasar otoritas, sedang Injil ini tidak sama dengan salah satu dari empat yang terkandung dalam Alkitab modern. Misalnya adalah kelompok yang disebut sebagai “Kristen Yahudi”, kelompok ini hanya menerima versi yang kita kenal sekarang sebagai Matius, kelompok Marcionites (pengikut Marsionisme, terj) menerima versi singkat dari kitab Lukas. Ada perbedaan tekstual yang sangat signifikan dalam manuskrip kuno Perjanjian Baru. Seluruh bagian bahkan hilang dalam beberapa salinan. Kitab Injil versi Markus memiliki dua varian akhir (keduanya memiliki kisah yang sangat berbeda tentang Kebangkitan), dan terdapat variasi perbedaan bacaan-bacaan yang signifikan di hampir setiap ayat Perjanjian Baru.
Bagian tertua dari Perjanjian Baru, sekitar separuh dari tumpukan surat-surat Paulus yang otentik, hampir tidak mengandung informasi biografis tentang Yesus selain memberikan informasi bahwa dia disalibkan dan dibangkitkan, dan memang Paulus sendiri menyatakan kesanksianya pada kesaksian para murid Yesus berkenaan dengan apa yang Yesus lakukan atau katakan ketika Yesus belum tersalibkan; Paulus mendeklarasikan bahwa satu-satunya Injil yang benar adalah yang dia sendiri terima dari Yesus Kristus yang dibangkitkan.[1]
Dalam bagian narasi dari empat Injil kanonik (otoritative, terj), Yesus secara ekslusif digambarkan sebagai mahluk adikodrati yang penuh dengan mukjizat dan sebagai konsekuensinya dia tidak dapat dianggap sebagai bagian dari sejarah (sosok mitologis, terj) atau tidak dianggap sebagai sosok biografis yang terdokumentasikan dalam pengertian yang sebenarnya. Sementara ajaran yang dituliskan dalam Injil-Injil dan dinisbatkan pada Yesus, secara teologis bergantung pada doktrin Paulus. Oleh karenanya, hal ini tidak dapat dilihat sebagai ajaran yang berasal dari Jesus, tetapi mencerminkan posisi Yesus yang ditentukan dalam sejarah Kristen.
Semenjak abad ke-19, banyak teolog yang berusaha mencari perbedaan antara sosok dan ajaran tentang “Yesus yang menyejarah” (Yesus yang menyejarah artinya, dia bagian dari manusia yang memiliki sisi historis, terj) dan dari tokoh Yesus yang sudah menjadi sosok mistis dari kitab Injil yang sudah kanonik, dari Yesus yang “Kristen” (yesus yang dimitoskan, terj). Tetapi masih ada keraguan apakah keduanya sebenarnya dapat dipisahkan, apakah kita benar benar memiliki cara untuk mengembalikan kemungkinan bahwa tokoh sejarah yang berada di balik mitos.
Julius Wellhausen, seorang teolog terkemuka yang dikenal sebagai sarjana pada bidang Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan pengkajian Islam, berkomentar pada awal abad ke dua puluh bahwa “Yesus yang menyejarah, dalam waktu yang lama, telah diangkat dan dimainkan untuk melawan kekristenan”.[2] Namun pada kenyataannya, kita hanya mampu membangun “dari fragmen yang tidak memuaskan tentang konsep dari ajaran Yesus.”[3] kita tidak memiliki gambaran tentang Yesus selain yang telah ditinggalkan oleh masyarakat Kristen. Tetapi kepribadiannya, “hanya muncul dalam refleksi, dan dibiaskan melalui media kepercayaan Kristen”.[4]
Sekarang, mari kita lihat Muhammad dan Al-Qur’an. Tidak seperti Perjanjian Baru, Al-Qur’an secara keseluruhan merupakan kitab yang konsisten baik gaya bahasa maupun konten teologisnya. Meskipun sekte Muslim yang masih bertahan (Syiah, Khawarij, dan mereka yang dikenal sebagai Sunni) seperti terpisah satu sama lain dalam satu dekade pasca kematian Muhammad, namun mereka semua setuju tentang isi aturan dari Al-Qur’an. Sebaliknya, sekte Kristen yang masih bertahan, semua sejak awal memisahkan diri dari Kekristenan kekaisaran Romawi, bahkan sebelum abad ke-4 Masehi, dan mereka memiliki versi kanon alkitab masing-masing; misalnya gereja Etiopia memiliki seluruh rangkaian kanon alkitab yang tidak terdapat pada Alkitab dari versi yang lain. Pada kanon Al-Qur’an, tidak ada perbedaan varian tekstual yang substantif.[5]
Perbedaan itu hanya seputar “varian bacaan” (qirāʾāt) yang telah tercatat dalam tulisan-tulisan abad pertengahan tentang Ilmu Al-Qur’an yang menjelaskan varian grafis yaitu perbedaan ejaan pada satu text yang sama. Bahkan perbedaan bacaan ini tidak pernah menyentuh perbedaan isi dari kitab Al-Qur’an. Hal ini sepenuhnya benar, bahkan dari potongan al-Qur’an kuno yang ditemukan di Sanʿāʾ, sejauh ini orang yang dipercaya untuk menganalisa potongan itu dua puluh tahun yang lalu sudah memperbolehkan potongan ini untuk diterbitkan daripada hanya diwacanakan dalam jurnalistik yang sensasional. Di manapun,[6] saya sudah menegaskan bahwa tidak adanya perbedaan tekstual yang signifikan dalam Al-Qur’an adalah hasil dari fakta bahwa Al-Qur’an ditransmisikan melalui tradisi oral kelisanan bukan melalui tradisi tulis.
Hal ini sangat mirip dengan Veda, yang disusun jauh lebih awal dari Perjanjian Baru maupun Al-Qur’an dan diwariskan secara ekslusif, turun-menurun dan berabad-abad melalui tradisi lisan. Veda sendiri sebenarnya tidak memiliki varian tekstual. Hal ini berarti bahwa metodologi kritik tekstual dan kritik sumber, seperti yang sukses diterapkan pada Perjanjian Baru, tidak bisa serta merta diterapkan pada Al-Qur’an. Perbedaan sumber membutuhkan perbedaan metodologi. Diterimanya tradisi lisan dalam pentransmisian Al-Quran juga berarti bahwa keinginan untuk penulisan ulang Al-Qur’an dengan mengubah tanda diakritik (tanda baca) tidak mungkin memberikan hasil yang bermanfaat. Saya sudah menekankan ini pada review saya tentang buku yang ditulis oleh penulis rahasia “Christoph Luxenberg.”[7]
Berbeda dengan cerita-cerita mukjizat yang secara kasat mata membentuk Injil Kristen, sīra (secara literal berarti perjalanan nabi, ex, sira nabawiyyah, terj) yang secara tradisional menjelaskan biografi Muhammad itu sangat “realistis”, dalam arti ia tidak memuat secara langsung dan terang-terangan tentang kemukjizatan nabi di depan publik, yaitu keajaiban yang disaksikan oleh khalayak ramai. Sīra, tentu saja, merekam kemukjizatan nabi Muhammad yang menerima Al-Qur’an dari malaikat. Tapi dari pandangan positivis dan dengan sudut pandang yang skeptis, hal ini masih memungkinkan untuk diterima bahwa hal imajinatif pada zaman pra-modern dipercayai sebagai pengetahuan yang bersumber dari Tuhan. Kita tidak ragu untuk percaya bahwa Joan of Arc (pahlawan revolusi perancis, terj) sepenuhnya percaya bahwa dia telah berbicara dengan malaikat atau William Blake (penyair, terj) sangat percaya bahwa dia melihat Nabi Yehezkiel duduk di bawah pohon di pedesaan Inggris. Oleh karenanya, kita tidak perlu ragu bahwa hal yang sama juga bisa terjadi pada Nabi Muhammad.
Saya menyebutkan ini sebelum seorang teolog besar dan pengkaji Islam Wellhausen menyebutkan hal yang sama. Ini bukanlah hal yang luar biasa bahwa Wellhausen juga memiliki pandangan yang sama; yaitu menolak Injil Kristen sebagai sumber informasi biografis yang dapat dipercaya tentang Yesus. Sedangkan kenapa dia tidak ragu untuk menerima sīra sebagai catatan realistis dari perjalanan karir Muhammad? Apakah Wellhausen benar-benar ragu tentang kitab suci agamanya sendiri dan pada saat yang sama menjadi naïf dan tertipu tentang sumber dari agama lain? Apakah ada perbedaan lain selain sīra, saya tidak mengatakan benar bahwa ini ada, tetapi setidaknya secara psikologis ini masuk akal, sementara Injil bukanlah manifestasi dari catatan biografis Yesus melainkan sebuah dokumen keimanan? Kesimpulan saya adalah bahwa Yesus adalah sosok yang sisi biografisnya tidak tersentuh meski berada dalam kontek dokumentasi sejarah yang baik. Sedangkan Muhammad secara biografis adalah sosok yang masuk akal meski berada dalam kekosongan sejarah.
Kekosongan ini tidak dapat diisi saat ini. Tetapi, ini masih berandai-andai, sambil menunggu untuk penemuan arkeologis atau epigrafi dari dari penggalian situs suci di Mekah dan Madinah, yang paling mungkin adalah mengekstrapolasi (memperluas data, terj) berbagai macam karakteristik masyarakat dan agama kuno di Arab tengah dari data budaya Semit lainnya, khususnya dari peradaban yang relatif terdokumentasi dengan baik di Barat daya Arabia dan pinggiran Utara gurun Arab, dan membandingkan data ini dengan data yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Dalam sebuah seri kontribusi selama dua belas tahun terakhir, saya telah berusaha untuk menafsirkan berbagai ayat dalam Al-Qur’an berkenaan dengan pembuktian yang sama dengan konteks Arabia. Oleh karenanya, dalam sebuah makalah tentang ṣābiʾūn dalam Al-Qur’an yang diseminarkan pada Arabian Studies (Pengkajian Arab) pada tahun 1992 ditemukan bahwa terma ini tidak merujuk pada salah satu kelompok keagamaan di daerah selatan Iraq, sebagaimana itu pernah diklaimkan. Tetapi apa yang disebut dalam sumber-sumber Muslim sebagai zanādiqa (pengikut Manicheanism) di antara orang Quraisy, adalah ternyata sanak saudara Nabi sendiri.[8] Kemudian pada makalah tentang istilah Al-Qur’an sijjīl (pada surat alfiil, terj), pada Seminar yang sama pada tahun 1995, terma ini tidak merujuk pada kata majemuk dalam bahasa Persia sang-gil yang berarti “batu yang menyerupai tanah liat” sebagaimana yang diterima oleh sebagian besar penafsir (mufassirūn), tetapi terma ini merujuk pada nama dewa di Utara Arab *šiggīl (Dalam bahasa Aram sebagai šngl’.).[9]
Selanjutnya, dalam makalah tentang Al-Qur’an pada Seminar Kajian Arab pada tahun 2002, istilah nasīʾ (secara bahasa artinya lupa atau bertambah, seperti istilah fiqih, riba nasi’ah atau riba karena pertambahan nilai, terj) dalam pengertian pelarangan penundaan ritual pada bulan yang berbeda dalam kalender kultus (dalam budaya Arab ada kalender kultus, diantaranya ada 4 bulan mulia yang dilarang perang dll, terj) memiliki arti yang sangat dekat dengan salah satu prasasti Arab selatan dari daerah Haram, di mana kata ini digunakan sebagai tawaran penebusan dosa mereka kepada dewa Ḥalfān karena mereka “menunda” (nashaʾaw) ritual tertentu selama dua bulan. Prasasti yang sama juga menyebutkan kata “haji” (ḥajj) ke daerah tertentu dalam waktu kalender yang ditentukan. Pada kedua poin ini, prasasti Haram memberi petunjuk pada kajian Al-Qur’an dan menggaris bawahi keberlangsungan ketaatan beragama pada masa pra-Islam dan pada masa Islam Arab.[10]
Haji di Mekah, mengelilingi Ka’bah, mencium hajar aswad, dan ritual yang berkaitan dengannya tidak memiliki kesesuaian dengan dasar pemikiran dogma monoteisme Islam; ritual-ritual ini secara nyata adalah manifestatsi dari sisa sisa ritual pagan pada masa lalu. Inti Ketidaksesuaian ini dalam konteks Islam diekspresikan dalam Hadits terkenal di mana khalifah ʿUmar menyapa Hajar Aswad dengan kata-kata: “Jika saya tidak melihat Nabi menciummu, maka aku tidak akan pernah menciummu”. Ini (sekali lagi, Wellhausen, menyetujuinya) “potongan tradisi paganisme” di jantung peradaban Islam[11] memperlihatkan keparipurnaan Islam, dan sisi kearaban pendahulunya, yaitu pada tempat-tempat suci yang tidak dapat lagi diubah. Hal ini sangat berbeda dengan situasi di Perjanjian Lama, di mana Yahweh dipuja di dalam tempat suci yang berpindah-pindah, yang kemudian pada akhirnya dibawa ke tempat akhir yang ditentukan oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem, tetapi tidak ditentukan oleh orang Samaria di Nablus. Tuhan orang Israel adalah Tuhan yang nomaden, akan tetapi Tuhan dari anak-cucu Ismael berdiam selamanya pada satu tempat yang disakralkan. Hal ini dikuatkan oleh orang Arab Selatan yang dengan tegas menentang upaya para “revisionis” untuk menempatkan asal-usul Islam di suatu tempat selain di Arab Tengah. Alkitab tidak “datang dari Arab,” tetapi Al-Qur’anlah “yang datang dari Arab”.
Tetapi bagaimana dengan manifestasi dari istilah yang jelas non-Arab, seperti Kristen dan Yahudi di awal Islam? Dalam makalah saya tentang Al-Qur’an, istilah naṣrānī, pertama kali dipresentasikan pada seminar Kajian Arab (Arabian Studies) pada tahun 1998, dan istilah ḥanīf, dipresentasikan pada seminar yang sama pada tahun 2000, makalah tentang keduanya kemudian diterbitkan dalam bentuk kajian akademik yang lebih luas.[12] Dalam makalah itu dijelaskan bahwa doktrin Al-Qur’an tentang terma naṣrānī berasal dari kata “Nazoreans”, akan tetapi ini tidak disetujui oleh komunitas Kristen arus utama di Suriah dan Irak dibandingkan dengan orang-orang dari sekte kuno “Kristen Yahudi”, lebih tepatnya adalah Kristen Katolik mempermasalahkan istilah “Nazorean”.
Pertanyaan tentang pengaruh “Kristen Yahudi” (dan juga paganisme Arab) pada awal Islam dikembangkan lebih lanjut pada makalah “Elchasai – Manes – Muḥammad,”[13] dalam mengembangkan pemikiran yang dipelopori oleh teolog Protestan yang terkenal yaitu Harnack pada paruh akhir abad kesembilan belas.[14] Mereka menolak pandangan yang selama ini diyakini bahwa “Kekristenan Yahudi” adalah sebuah fenomena yang secara eksklusif berasal dari Gereja Kuno dan saya bersikeras dengan buktinya pada para penulis Muslim bahwa setidaknya ada pengikut dari “Kristen Yahudi” yang berasal dari sekte (Elchasaites [sekte dari Kristen Yahudi pada abad ke-2 yang percaya bahwa Yesus meneruskan nubuwah Musa, terj]) yang masih “banyak” (seperti yang dikatakan an-Nadim), juga bahwa di daerah rawa selatan Iraq hingga abad kesepuluh masih terdapat sekte ini.
Bukti bahwa keberadaan sekte Elchasaisme di Irak sampai abad kesepuluh setidaknya memberikan gambaran tentang keberadaan sekte (“Nazorean”) di provinsi Arab tengah yang sebagian besar belum dipetakan secara historis pada tiga abad sebelumnya. Di samping ciri yang membedakaan, Islam memiliki keserupaan dengan Yudaisme dan sekte “Kristen Yahudi” (sunat, larangan makan daging babi dan bangkai, berdoa menghadap Jerusalem). Ada yang lebih penting lagi, yaitu pada poin yang memisahkan Islam dari Yudaisme dan dari Katolik Kristen, tetapi menghubungkan Islam dengan “Kekristenan Yahudi,” misalnya larangan anggur, tetapi kebanyakan yang secara signifikan menghubungkan adalah ciri kenabian yang menekankan ajaran Nabi sebelumnya dan yang menempatkan Yesus sebagai penerus hukum Musa, bukan sebagai penyangkal yang merevisi hukum Musa.
Dengan demikian, gambaran yang saya sampaikan terkait lanskap religius di Mekkah pada awal era Islam mencakup keberadaan masyarakat “Kristen Yahudi” (Nazorean), yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa peribadatanya,[15] mereka juga mempraktikkan sunat, menghindari konsumsi daging babi, berdoa ke arah Yerusalem, dan memuja “trinitas” yang terdiri tuhan Bapa Allah, putranya Yesus, dan seorang wanita Roh Kudus (ibu Yesus), dan yang memiliki kanon yang terdiri dari Taurat dan beberapa bentuk Injil, tetapi tidak memiliki buku-buku kenabian dari Perjanjian Lama (Nazoreans juga tampaknya tidak mengenal berbagai nabi yang diutus antara Musa dan Yesus).
Muhammad dibesarkan sebagai seorang yang kafir (sebagaimana disebutkan dalam sīra). Sebagai seorang pemuda yang memiliki kedekatan dengan Nazoreans di Mekah dan mengadopsi banyak pengetahuan dari mereka. Tetapi Muhammad juga mengetahui tentang Kristen Katolik (kemungkinan Melkit [dalam bahasa Arab Kristen Mamalik, terj]), dan kritik sekte Melkit terhadap Nazoreisme, di mana Melkit mengarah kepada triteisme (tritunggal), yang mana ajaran ini berasal dari Katolik. Pada tahap awal kenabiannya, Muhammad mengadopsi praktek Nazorean yang berdoa ke arah Yerusalem, tetapi setelah hubunganya putus dengan Nazorean, Muhammad kembali menghadap Kaʿba (tempat suci kaum pagan) sebagai rumah dari Tuhan yang satu, dan menafsirkan ulang Ka’ba sebagai tempat suci yang didirikan oleh Abraham dalam kapasitasnya sebagai paradigma keselamatan dari orang non-Yahudi.
Saya juga berharap untuk melanjutkan kajian ini dalam penelitian lebih lanjut, juga berkenaan dengan pertanyaan tentang monoteisme pada Arab Selatan kuno dan hal yang berkaitan dengan “Yahudi” (sunat, Sabat, dll.) di Kristen Ethiopia.
Bibliografi
[1] See Gal 1:6-12.
[2] Wellhausen, Einleitung, 104.
De Blois, François. “The ‘Sabians’ (Ṣābiʾūn) in Pre-Islamic Arabia.” Acta Orientalia 56 (1995): 39–61.
De Blois, François. “Ḥijāratun min sijjīl.” Acta Orientalia 60 (1999): 58–71.
De Blois, Francois. “Naṣrānī (Ναζωραῖος) and ḥanīf (ἐθνικός): Studies on the religious vocabulary of Christianity and of Islam.” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 65 (2002):1–30.
De Blois, François. Review of Die Syro-aramäische Lesart des Koran by Christoph Luxenberg. Journal of Qurʾānic Studies 5 (2003): 92–97.
De Blois, François. “Elchasai – Manes – Muḥammad.” Der Islam 81 (2004): 31–48.
De Blois, François. ‘‘Qurʾān 9:37 and CIH 547.” Proceedings of the Seminar for Arabian Studies 34 (2004): 101–104.
Harnack, Adolf von. Lehrbuch der Dogmengeschichte. 4th ed. Tübingen, 1909–10.
Pines, Shlomo. “Notes on Islam and on Arabic Christianity and Judaeo-Christianity.” Jerusalem Studies in Arabic and Islam 4 (1984): 135–152.
Wansbrough, John. Quranic Studies. Oxford, 1977.
Wellhausen, Julius. Reste arabischen Heidentums. 2nd ed. Berlin, 1897. Wellhausen, Julius. Einleitung in die drei ersten Evangelien. 2nd ed. Berlin, 1911.
[3] Ibid., 103.
[4] Ibid., 104.
[5] John Wansbrough, Qur’anic Studies, 203.
[6] Fancois de Blois, “Hijaratun min sijjil,” 65, n. 10.
[7] Review of Cristoph Luxenberg, Die syro-aramaische Lesart des Koran.
[8] De Blois, “Sabians.”
[9] De Blois, “Hijaratun min sijjil.”
[10] De Blois, “Qur’an 9:37”
[11] Wellhausen, Reste, 68-69.
[12] De Blois, “Religious Vocabulary.”
[13] De Blois, “Elchasai – Manes – Muhammad.”
[14] Lihat, “Der Islam” dalam Harnack, Lehrbuch der Dogmengeschichte, vol. 2, 529-538.
[15] De Blois, “Religious Vocabulary,” 12.