Ahmadiyah di Manislor dan Refleksi Kasus Intoleransi Agama di Indonesia

Tidarislam.co – Fenomena pelarangan dan penolakan acara tahunan yang digelar oleh Komunitas Ahmadiyah di Manislor baru-baru ini merupakan satu dari sekian banyak catatan hitam kasus intoleransi agama di Indonesia. Pasalnya, negara yang seharusnya hadir dalam mengatasi berbagai masalah intoleransi justru malah menjadi aktor utama dalam memicu praktik intoleransi. Kasus Ahmadiyah di Manislor juga menjadi bukti bahwa negara kurang fokus dalam mengelola keragaman dan perbedaan.

Dilansir dari situs Amnesty Internasional, Jemaat Ahmadiyah seyogyanya mengadakan pertemuan tahunan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 6-8 Desember 2024, bertempat di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Namun demikian, acara ini gagal diselenggarakan karena adanya larangan resmi dari Pemkab Kuningan, dengan alasan menjaga ketertiban dan kondusifitas.

Berdasarkan surat yang ditandatangani secara elektronik oleh Pejabat Bupati Kuningan tertanggal 4 Desember 2024, acara tersebut tidak boleh dilaksanakan dengan alasan kegiatan itu dapat menganggu kondusifitas daerah setempat. Larangan itu juga ditegaskan dalam surat tertanggal 5 Desember 2024 yang ditandatangani secara elektronik oleh Pejabat Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan yang mengultimatum Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia untuk menghentikan kegiatan apapun terkait dengan pelaksanaan Kegiatan Jalsalah Salanah.

Tentu, adanya larangan tersebut patut disesalkan. Pelarangan ini merupakan bentuk pembatasan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah dijamin oleh konstitusi Indonesia dan menjadi catatan bahwa pihak pemerintah tidak boleh melakukan upaya mitigasi dan tindakan prevensif.

Seharusnya, sedari awal pemerintah melakukan komunikasi terlebih dahulu dengan komunitas tersebut, sehingga bila memang ada penolakan dari masyarakat bisa didialogkkan dulu, bukan malah melakukan intervensi sepihak. Dalam konteks ini, negara harus hadir untuk rakyat dan menjamin hak-hak rakyat dapat terpenuhi dengan baik.

Pelarangan dan upaya blokade jalan menuju acara tahunan Ahmadiyah ini jelas melanggar prinsip demokrasi dan pluralitas yang harus dijunjung tinggi di Indonesia. Untuk itu, pihak pemerintah dan kepolisian sudah seharusnya melakukan evaluasi terhadap sikap represi tersebut guna tidak terjadi lagi fenomena serupa.

Kasus pelarangan Ahmadiyah ini juga mempertegas bahwa antara pemerintah pusat dan daerah tampak tidak fokus dalam mengatasi berbagai masalah intoleransi. Misalnya, ketika pemerintah pusat gencar mengkampanyekan kerukunan dan toleransi, tetapi pada saat yang sama justru pemerintah daerah melanggar prinsip kerukunan dan toleransi itu.

Larangan tersebut merupakan bentuk ketidakpedulian terhadap keberagaman dan potensi konflik sosial yang bisa timbul akibat dari tindakan pelarangan tersebut. Dalam konteks kerukunan antar umat beragama, keputusan ini justru dapat memperburuk situasi dan menambah ketegangan di masyarakat. Misalnya, ketika kelompok lain menolak acara Ahmadiyah ini, mereka makin bersemangat karena pemerintah saja juga telah melarangnya.

Ilustrasi gambar: Peneliti BRIN, M.N. Prabowo Setyabudi, sedang berfoto di area Masjid An-Nur, tempat ibadah dan pusat kajian Komunitas Ahmadiyah Manislor, Kuningan

Sudah sepatutnya negara atau pemerintah dapat bersikap bijak dan adil dalam melihat perbedaan dan keragaman, sehingga mereka tidak mudah mendapat tekanan dari kelompok-kelompok tertentu. Apalagi tekanan dari kelompok mayoritas yang seringkali menjadikan masalah makin rumit. Ketidakberdayaan negara terhadap tekanan kelompok mayoritas akan semakin berpotensi menindas kelompok minoritas, dan ini bertentangan dengan konstitusi.

Upaya Mengatasi Masalah Intoleransi

Kasus Ahmadiyah di Manislor menjadi bukti bahwa praktik intoleransi agama masih menjadi PR besar bagi negara. Kendati pemerintahan telah berganti, sikap intoleransi dan diskriminasi negara terhadap komunitas Ahmadiyah masih belum berubah. Larangan dengan alasan ‘menjaga kondusifitas’ tentu tidak bisa diterima dan malah mencerminkan represi atas kemerdekaan untuk mengamalkan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing orang yang telah dijamin oleh Konstitusi.

Apa yang menimpa Ahmadiyah ini juga bukan kali pertama mereka mendapat intimidasi oleh negara. Dalam berbagai kesempatan, tindakan diskriminasi seperti pembubaran kegiatan keagamaan, intimidasi, pengusiran bahkan persekusi terhadap warga Ahmadiyah ini terus berulang. Ini semakin memperkukuh pola sistematis diskriminasi negara terhadap kelompok minoritas agama.

Dalam konteks upaya mengatasi masalah intoleransi ini, “Negara wajib segera mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 yang menjadi dasar diskriminasi dan represi terhadap warha Jemaah Ahmadiyah dan secara tegas menentang segala bentuk intoleransi maupun diskriminasi atas dasar alasan karakteristik manusia yang dilindungi oleh hukum internasional hak asasi manusia” (Amnesty.id).

Dalam catatan Amnesty Internasional Indonesia, setidaknya ada 122 kasus intoleransi antara Januari 2021 hingga September 2024, termasuk penolakan, penutupan, atau perusakan tempat ibadah dan serangan fisik. Pelaku diduga berasal dari berbagai latar belakang, antara lain pejabat pemerintah, warga, dan organisasi masyarakat sipil.

Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah menjamin hak seluruh individu memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Hak ini mencakup kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

Selain itu, di Indonesia juga telah ada Pasal 28E (1) dan Pasal 29 (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk  untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.

Dengan demikian, adanya UU ini seharusnya menjadi pijakan bersama baik oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk makin memperkuat toleransi dan kerukunan beragama, bukan malah menjadi aktor utama dalam menunjukkan sikap intoleransi dan represi. Untuk itu, penguatan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dan moderasi beragama sangat diperlukan agar amanah konstitusi ini tidak hanya sebagai konsep belaka, tetapi juga diwujudkan dalam membangun prospek kerukunan dan perdamaian di masyarakat.

Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2 thoughts on “Ahmadiyah di Manislor dan Refleksi Kasus Intoleransi Agama di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *