![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/suaradotcommm-2.jpg)
Ilustrasi gambar: Suara.com
Tidarislam.co – Suku Baduy berasal dari kata “baduy” yang berarti tahan atau kuat. Orang Baduy memang terkenal kuat berjalan kaki. Sebagai contoh, mereka kuat jalan kaki dari kampungnya, Desa Kanekes, Leuwidamer, Lebak Banten sampai dengan BRIN Gatot Subroto No 10 Jakarta. Padahal jaraknya cukup jauh, ditempuh dengan mobil butuh waktu sekitar 3 sd 4 jam.
Kabarnya Kang Sapri, dkk orang Baduy butuh waktu 3 hari jalan kaki ketika ikut kegiatan pameran Refleksi Akhir Tahun OR IPSH di BRIN. Mereka membuka stand untuk menjual tas Koja, madu, Jarog, batik, dan hasil kerajian tangan lainnya dari suku Baduy. Ketika pulang ke rumahnya, mereka pun kembali berjalan kaki.
Orang Baduy dikenal memiliki tradisi yang unik, diantaranya tidak boleh naik kendaraan (motor atau mobil), tidak memakai listrik, tidak memakai internet, bahkan tidak memiliki KTP (kabarnya tidak didata oleh pemerintah desa), tidak ikut pemilu, tidak sekolah, dan seperti memiliki sistem pemerintahan tersendiri dengan Puun (pemimpin spiritual) sebagai pimpinan tertingginya. Selain itu ada Jaro, semacam kepala pemerintahan. Jika Jaro dipilih oleh masyarakat Baduy, maka Puun adalah turun-temurun.
Tulisan ini sekedar berbagi cerita, atas kunjungan kami ke Suku Baduy, 22-24 Desember 2024. Pada tanggal tersebut, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, BRIN mengadakan rapim terakhir tahun 2024. Kebetulan, saya ikut kegiatan tersebut. Di sela-sela kegiatan, kami berkunjung ke Baduy. Tulisan ini sekedar cerita perjalanan ke suku Baduy tersebut.
Ada Dua Baduy
Suku Baduy terbagi menjadi ada dua kelompok, yang dikenal dengan sebutan Baduy dalam dan Baduy luar. Secara umum, Baduy dalam adalah kelompok yang masih kuat memegang tradisi baduy, sementara Baduy luar adalah kelompok Baduy yang lebih terbuka terhadap pengaruh luar. Baduy dalam tinggal di pedalaman hutan, tepatnya di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sementara Baduy luar tinggal di pinggir hutan.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/1-1024x768.jpg)
Pos di kawasan Desa Kanekes menuju Cibeo dan Cikeusik.
Jumlah Baduy dalam lebih sedikit, hanya ada di tiga kampung yakni (1) Cibeo, yang merupakan kampung tertua dan terbesar di Baduy dalam; (2) Cikertawana, kampung kedua terbesar Baduy dalam; (3) Cikeusik, kampung yang terletak di pusat hutan. Masing-masing kampung memiliki Puun (ketua adat) sendiri. Rombongan BRIN dengan dipandu orang Baduy, berkesempatan masuk ke Cibeo, disambut langsung oleh Jaro (kepala pemerintahan/ Lurah kampung).
Dilihat dari pakaian yang dikenakan kita bisa mengidentifikasi apakah seseorang adalah Baduy dalam atau Baduy luar. Pertama, Baduy dalam identik dengan warna putih/hitam, baduy luar identik dengan warna hitam/biru tua dengan motif batik.
Kedua, untuk laki-laki Baduy dalam memakai ikat kepala (telekung) berwarna putih kecoklatan; pakaian atasan tidak berkancing berwarna putih/hitam (disebut Jamang Sangsang); pakaian bawahaan berupa kain sarung (disebut ares). Sementara Baduy luar memakai ikat kepala (lomar); pakaian atasan berkancing (disebut Jamang Komprang); pakaian bawahan berupa kain sarung atau celana koaamprang.
Ketiga, untuk wanita Baduy dalam, pakaian atasan berupa kemben sejenis selendang atau baju kaos; pakaian bawahan adalah lunas atau kain. Untuk Baduy luar, atasan serupa kebaya berwarna hitam; Pakaian bawahan dengaan kain sarung yang menutup lutut. Meskipun sekilas berbeda antara Baduy dalam dan Baduy luar, keduanya memegang nilai-nilai yang sama seperti kesederhanaan, kekeluargaan, kemandirian, dan kejujuran. Terkait kesederhanaan terlihat dari pakaian yang dikenakan. Terkait kekeluargaan, jelas dalam pengelolaan tanah, bahwa semua tanah milik adat (bukan perorangan). Semua orang Baduy boleh menanam tapi tidak boleh berladang. Terkait kejujuran, suku Baduy memiliki lumbung padi, tidak dijaga dan tidak ada yang mencuri lumbung-lumbung padi (Leuit Baduy) tersebut. Kalau pun ada yang menjaga lebih dari supaya tidak dimakan/dirusak oleh binatang.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/2.jpg)
Rumah Bambu orang Baduy. Sumber: dokumentasi pribadi.
Tradisi Baduy
Perjalanan sehari ke Baduy telah meninggalkan beberapa catatan. Pertama, sekiranya kita berniat wisata, ada baiknya tidak perlu ke Baduy dalam, cukuplah berjalan-jalan di luar Baduy. Perjalanannya cukup jauh, jalanan rusak, licin, apalagi kalau gerimis. Beberapa kolega kami, sempat beberapa kali jatuh. Kita akan lebih fokus pada jalanan (supaya selamat) dan kurang menikmati pemandangan alamnya. Sementara Baduy luar relatif lebih nyaman, banyak yang berjualan. Rumah baduy luar dan dalam juga relatif sama.
Kedua, sistem ketahanan pangan mandiri. Dalam hidupnya, suku Baduy sangat mengandalkan hidupnya dengan alam melalui pertanian. Mereka juga memiliki tempat penyimpanan padi yang disebut dengan Leuit atau Lenggang. Leuit memiliki bentuk seperti rumah panggung yang dilapisi bilik dengan anyaman bambu dan beratap daun sago kiral (semacam palem) yang ditopang oleh empat kayu penyangga dengan tinggi sekitar satu sampai dua meter dari atas tanah. Leugit dapat menampung padi dengan kapasitas penyimpanan hingga tiga ton padi.
Sistem ini menurut saya luar biasa, sebagai sistem ketahanan pangan/swasembada pangan. Dengan demikian, suku Baduy tidak tergantung pada luar karena mencukupi untuk kebutuhannya sendiri. Dalam konteks modern kita, barangkali fungsi ini sama dengan yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) pemerintah yang berfungsi menjaga kestabilan harga beras.
Ketiga, sistem pemerintahan sendiri. Suku Baduy memiliki pemimpin tertinggi yang disebut dengan istilah Puun. Puun adalah pemimpin spiritual, pemimpin tertinggi pada Suku Baduy. Puun tidak dipilih, tetapi diwariskan secara turun-temurun. Selain Puun, suku Baduy juga memiliki Jaro, semacam Lurah atau kepala pemerintahan. Jaro dipilih oleh masyarakat Baduy. Dialah yang mengatur tata cara pemerintahan.
Pada masyarakat Baduy dalam tidak mengikuti pemilu, karena memang juga tidak memiliki KTP, dan anak-anak mereka juga tidak ikut sekolah. Kuat dugaan, mereka memiliki fungsi-fungsi seperti sistem kesehatan, khitan, sistem pendidikan, dan sistem penanggalan tersendiri.
Orang Baduy boleh memelihara ayam, tetapi tidak boleh disembelih setiap saat. Penyembelihan dilakukan pada event-event tertentu seperti upacara perkawinan, upacara panen, sunatan, dan sebagainya. Orang yang bisa menyembelih ayam juga hanya tiga orang. Sementara orang bisa melukan sunat atau khitan sebanyak enam orang.
Keempat, sistem pertanahan Baduy berbeda dengan sistem pertanahan nasional. Orang Baduy tidak memiliki hak atas tanah, artinya tidak ada jual beli tanah. Semua tanah dan air adalah miliki pemerintah. Orang Baduy hanya memiliki hak untuk menanam dan tanaman tersebut adalah milik yang menanam. Meskipun demikian, orang Baduy dilarang bercocok tanam, tetapi harus berpindah-pindah. Artinya, tanaman padi hanya ditanam satu tahun sekali. Barangkali produksinya sedikit tetapi memiliki keunggulan untuk perbaikan unsur hara dalam tanah. Tidak ada ekspoloitasi atas tanah.
Kelima, sitem keyakinan. Orang Baduy memang sangat bergantung dengan alam dengan mengandalkan sistem pertanian. Oleh karena itu wajar bila orang Baduy sangat menghormati alam layaknya Ibu: menjaga, merawat, dan melindunginya.
Orang Suku Baduy sangat menghormati alam, karena memang hidupnya sangat tergantung dengan alam. Gunung, lembah, pepohonan adalah bagian dari hidupnya. Istilah Puun sendiri, dalam bahasa sunda artinya pohon. Suku Baduy sangat menghormati Puun nya, Buyut nu dititipkeun ka puun, Buyut yang titipkan ke puun. Mereka memiliki ajaran keyakinan: Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu meunang dirempak (artinya: gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar).
Beberapa larangan di Baduy adalah (1) tidak boleh memelihara hewan berkaki empat, seperti kambing, sapi, kerbau dan sebagainya kecuali anjing. Anjing boleh dipelihara. Demikian juga boleh memelihara ayam, tetapi tidak boleh sembarangan menyembelih ayamnya, ada waktu-waktu khusus (2) tidak boleh merusak alam, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung; (3) agama alam, penghormatan suku Baduy terhadap alam sangat tinggi, sehingga wajar disebut agama alam. Ada yang menyebut, suku Baduy penganut Sunda Wiwitan. Saya sendiri, tidak menemukan bahwa istilah itu bersifat emik. Sepertinya lebih penyebutan orang luar terhadap suku Baduy.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/3.jpg)
Tempat sampah dari anyaman bambu di sudut rumah-rumah Baduy. Sumber: dokumentasi pribadi.
What Next?
Ada yang bertanya, sampai kapan kira-kira Suku Baduy bisa bertahan. Hemat saya, tergantung dua hal. Pertama, faktor eksternal dalam arti sikap pemerintah terhadap suku Baduy. Apapun, yang terjadi di Baduy jelas bertentangan dengan tujuan pembangunan: untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya. Pola hidup Baduy tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan dan target-target SDGs: tidak ada sekolah, puskesmas, sanitasi yang baik, listrik, dan ciri pembangunan lainnya. Ketika politik pemerintah “menghilangkan” suku Baduy, tentu tidak sulit. Tentu saja ini bukan pilihan kebijakan yang tepat yang diambil pemerintah.
Dalam mengantisipasi ini, pembagian Baduy dalam dan luar menurut saya bentuk kecerdasan masyarakat Baduy. Mereka sebenarnya tidak dibagi dua, hanya berbagi peran saja. Baduy luar justru berperan memastikan bahwa Baduy dalam keadaan aman, tidak diganggu eksistensinya. Orang luar tidak bisa masuk ke Baduy dalam tanpa diantar oleh Baduy luar. Demikian juga, Baduy dalam tetap mengembangkan tradisi dengan mengenalkan konsep “Saba Budaya Baduy” yang bermakna ” “silaturahmi kebudayaan Baduy” sebagai manifestasi dalam menjaga kesakralan wilayahnya. Ada fungsi seperti dewan syuriah atau perumus kebijakan (Baduy dalam) dan dewan tanfiz atau pelaksana (Baduy luar).
Kedua, faktor internal. Seberapa kuat suku Baduy dapat bertahan tanpa ketergantungan dengan orang luar. Jiwa dagang suku Baduy dalam mengenalkan produk-produknya merupakan sesuatu yang perlu diapresiasi. Lebih penting juga, seberapa kuat sistem ketahanan pangan (swasembada pangan) yang diterapkan di Baduy bisa bertahan. Semakin suku Baduy tidak tergantung pihak luar semakin bagus. Jika ada ketidakharmonisan Baduy luar dan Baduy dalam, barangkali itu penyebab tanda-tanda kerusakan sistem pemerintahan suku Baduy.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/4-1024x768.jpg)
Penulis bersama rombongan dari Organisasi Riset Ilmu Sosial dan Humaniora BRIN di Kampung Baduy, Desa Kanekes Leuwidamer Lebak Banten.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/5-1024x768.jpg)
Penulis bersama tim IPSH di Rumah Restorative Justice dan Posko Keadilan Masyarakat Adat Baduy.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/6-1024x576.jpg)
Menelusuri jalan Kampung Baduy.
![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/7-1024x576.jpg)
Menenun adalah salah satu aktivitas sehari-hari perempuan Baduy.
Akhirnya, kita perlu banyak belajar dari Suku Baduy, di antaranya harmoni menjaga alam yang didorong oleh nilai-nilai keyakinan. Wallahu’alam.
Aji Sofanudin, merupakan Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan IPSH BRIN