Oleh: Salwa Aulya Hapitri & Salma Alifah, STIU Darul Qur’an Bogor
Amin Abdullah
Prof. H. Muhammad Amin Abdullah, M.A. atau biasa disapa Pak Amin lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 28 Juli 1953, Ia merupakan anak sulung dari delapan bersaudara yang dididik di pondok pesantren Dari delapan bersaudara, pria bernama lengkap Muhammad Amin Abdullah ini dianggap paling terkenal secara intelektual dan spiritual. Saat itu, ia menempuh pendidikan hanya dari HIM kemudian melanjutkan ke Mu’allimat Yogyakarta.
Pada tahun 1982, Ia memperoleh gelar sarjana dari IAIN Sunan Kaliyaga Yogyakarta. Ia kemudian berkesempatan melanjutkan studi magister dan doktornya di Departemen Filsafat, Fakultas Seni, dan Sains, Middle East Technical University, Ankara, Turki 1990 melalui program Ph.D Filsafat Islam. Selama bersekolah atau tinggal di Gontor, Amin tergolong siswa yang pekerja keras, kuat, dan aktif. Dalam kesibukanya di kegiatan pramuka, Amin ditugaskan sebagai koordinator kepala bidang pendidikan di angkatan pertama almamaternya.
Integrasi dan Interkoneksi Keilmuan Islam
Amin Abdullah menilai bahwasanya sampai saat ini dalam masyarakat luas masih banyak yang menganggap bahwa “ilmu agama” dan “ilmu umum” merupakan dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya memiliki wilayah masing-masing, terpisah antara satu sama lain, baik dari segi objek formal material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan, bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Menurut Ahmad Barizi, perbedaan itu terjadi dikarenakan selain sumber dan garapan yang berbeda, juga pada pangkal titik tolak. Jika ilmu agama berangkat dari sebuah keyakinan, maka ilmu umum berangkat dari sebuah keraguan.
Begitulah gambaran Amin Abdullah mengenai praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas, dengan ungkapan lain bahwa ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Sebelum Amin Abdullah merumuskan model integrasi-interkoneksi, beliau pada awalnya merumuskan model diadik dengan normativitas dan historisitas. Agama tidak bisa lepas dari dua dimensi yaitu historis dan normatif.
Baca juga: Menggugat Objektivitas Lewat Revolusi Paradigma ala Thomas Kuhn
Normatif dan historis memang sangat berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, karena normatif berisi tentang masalah ketuhanan dan historis berisi nilai kesejarahan. Di mana semua sejarah islam adalah kehendak Allah Swt. Inti dari keterkaitan antara normativitas dan historisitas adalah semua ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, bersumber dari al- Qur’an dan hadits. Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat kepada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalui pendekatan historis-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik, ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.
Amin Abdullah menawarkan visi baru program reintegrasi epistemologi keilmuan yang mana menurut pengakuannya merupakan lanjutan dari konsep yang pernah diusung Kuntowijoyo dan Habermas (seorang filsuf Barat kontemporer), visi baru reintegrasi keilmuan Amin Abdullah tersebut dalam bentuk integrasi-interkoneksi yang diilustrasikan dalam sebuah bagan jaring laba-laba keilmuan “teantroposentris integralistik” sebagaimana berikut ini.
Dalam kaitan ini, epistemologi pendidikan Islam memiliki beberapa metode yang dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Metode ini dipandang oleh para ilmuan Muslim penting, dan saling melengkapi, bukannya konflik atau saling menghalangi sehingga konsep inilah yang menjadi dasar dalam epistemologi pendidikan Islam.
- Metode Burhani
Al-Burhani berasal dari kosa kata bahasa Arab, diartikan secara etimologis sebagai argumen yang jelas dan tegas. Nalar burhani sepenuhnya bertumpu pada seperangkat intelektul manusia, baik berupa indera/pengalaman maupun daya rasional dalam upaya mendapatkan pengetahuan tentang alam semesta. Prinsip penting menjadi acuan epistemologi burhani yaitu, rasionalisme (al-aqlaniyyah), kausalitas (as-sababiyyah), dan esensialisme (al-mahiyyah), yang ditumbuh-kembangkan lewat metode utama deduksi dan induksi, karena pengetahuan kadang diperoleh melalui indra juga melalui rasio.
- Metode Bayani
Lahirnya Bayani terjadi pada periode tadwin (kodifikasi massif keilmuan) disinyalir babak baru transformasi episteme bayan dari wacana kebahasaan menuju wacana diskursif. Lebih luas lagi, episteme bayan telah menjadi semacam perspektif dan sistem yang melandasi pemikiran sistematis dalam menafsirkan wacana (fi tafsiral-kitab) dan memproduksi wacana (fi intaj al-kitab). Sementara dari leksikal etimologi, terma bayan mengandung ragam arti, yakni; 1. Kesinambungan (al-washl); 2. Keterampilan (al-fashl), 3. Jelas dan terang (azh-zhuhur wa al-wudhuh), dan 4. Kemampuan membuat terang dan jelas.
- Metode Irfani
Metode Irfani Dalam kaidah bahasa Arab, terma al-irfan mengandung arti pengetahuan (al-ma’rifah al-ilm). Lalu terma ini jadi populer di kalangan sufi untuk menunjukkan arti pengetahuan yang paling mulia yang dihujamkan ke lubuk hati melalui cara kashf (penyingkapan mata batin) atau ilham.
Baca juga: Memahami Lebih Dekat Gagasan Antropologi Agama Muhammad Arkoun
Mengatasi Dikotomi Keilmuan
Paradigma integrasi-interkoneksi yang ditawarkan oleh M. Amin Abdullah merupakan upaya nyata untuk mengatasi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Dikotomisasi yang selama ini memisahkan keduanya telah menimbulkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan masyarakat, baik dalam pendidikan maupun dalam perkembangan peradaban Islam. Dengan pendekatan integratif-holistik, Amin Abdullah menekankan bahwa ilmu agama dan ilmu umum bukan dua entitas yang saling bertentangan, melainkan dua sisi yang saling melengkapi dan memperkaya.
Melalui penggabungan aspek normativitas (wahyu) dan historisitas (realitas sosial), serta penggunaan metode bayani, burhani, dan irfani, paradigma integrasi-interkoneksi membuka ruang dialog antar-disiplin ilmu. Pendekatan ini tidak hanya menjaga keunikan masing-masing bidang, tetapi juga mendorong kerja sama, saling tegur sapa, dan saling melengkapi demi menjawab kompleksitas persoalan kehidupan modern. Dengan demikian, integrasi-interkoneksi menjadi dasar penting bagi pengembangan epistemologi pendidikan Islam sekaligus strategi kebangkitan peradaban Islam agar mampu bersaing di era global tanpa kehilangan nilai sakralitasnya.
Baca juga: Pemikiran Hasan Hanafi tentang Reaktualisasi Islam
Daftar Pustaka
- Huri, T. (2013, November 6). Integrasi-interkoneksi Amin Abdullah; Sebuah gagasan integrasi Islam dan sains. Lughotudho. https://lughotudhod.blogspot.com/2013/11/integrasi-interkoneksi-amin-abdullah.html
- Nusi, Arfan. 2020. “Dikotomi Pendidikan Islam dan Umum: Telaah Pemikiran Integrasi-Interkoneksi M. Amin Abdullah.” Jurnal Irfani, Vol. 16, No. 2, Desember 2020, hlm. 27–40. Diakses dari http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ir
- Tajuddin, T., & Awwaliyah, N. M. (2021). Paradigma integrasi-interkoneksi islamisasi ilmu dalam pandangan Amin Abdullah. Aksiologi: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, 1(2), 56–61. https://ksiologi.pubmedia.id
- Anam, Khoyrul. 2023. Dikotomi Ilmu Agama dan Ilmu Umum dalam Perspektif Pendidikan Islam: Studi Komparasi Pemikiran M. Amin Abdullah dan Imam Suprayogo. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo.
Salma Alifah, merupakan mahasiswi di STIU Darul Qur’an Bogor. Instagram: @salmalfhh. Salwa Aulya Hapitri, merupakan mahasiswi di STIU Darul Qur’an Bogor Instagram: @salwaaulyaaaa. Korespondensi: salmaalifah1025@gmail.com
