Tidarislam.co – Belum lama ini masyarakat Muslim Indonesia dikejutkan dengan sebuah siaran di stasiun televisi Trans7 yang memberitakan tentang aktivitas kehidupan di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur, tepatnya di Pesantren Lirboyo Kediri. Dalam siaran video tersebut tampak Kiai Anwar Mansur, selaku pengasuh Pondok Lirboyo sedang duduk di sebuah kursi laman rumah lalu para santri berbaris sambil berjongkok dan menyalami Kiai Anwar.
Narasi pemberitaan itu memberi keterangan yang bernada mengejek dan merendahkan tradisi pesantren. Sontak, para santri dan alumni pondok Lirboyo banyak yang tidak terima dengan isi pemberitaan tersebut yang seolah ingin memojokkan pesantren. Pasca penayangan itu, banyak alumni Lirboyo yang menggeruduk kantor Trans7 di Jakarta dan meminta klarifikasi serta permohonan maaf dari pijak stasiun televisi. Tidak hanya itu, santri di seluruh Indonesia juga banyak menyuarakan hal yang sama dan melakukan demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah.
Apa yang dilakukan oleh Trans7 bukan merupakan sebuah pemberitaan biasa, namun lebih merupakan ejekan dan serangan terhadap tradisi pesantren yang selama ini telah hidup lestari di lingkungan pendidikan Islam tradisional.
Memang, tradisi yang hidup di pesantren tidaklah sama dengan apa yang terjadi di lingkungan pendidikan umum. Misalnya, di lingkungan pendidikan umum biasanya hanya ada pengajaran moral dan ilmu pengetahuan. Sementara di pesantren, pendidikannya bersifat lengkap, mulai dari pendidikan keilmuan, akhlak, dan spiritualitas. Dalam konteks ini, pesantren jauh lebih lengkap dalam membimbing para murid dalam menimba ilmu.
Oleh sebab itu, agar kita bisa memahami secara lebih jernih dan objektif terkait tradisi pesantren, penulis akan sedikit menjabarkan hal ihwal tentang tradisi yang ada di pesantren. Hal ini penting dilakukan supaya kita tidak banyak prasangka negatif dan salah paham dengan pola kehidupan di lingkungan pesantren.
Konsep Barokah
Orang-orang yang tidak pernah hidup di pesantren barangkali sulit memahami tentang konsep barokah. Umumnya, barokah dipahami sebagai ‘bertambahnya kebaikan’, orang yang mendapat barokah hidupnya akan selalu lebih baik, begitu seterusnya. Karenanya, bila ada orang mengatakan ‘hari ini aku harus lebih baik daripada hari kemaren’, maka perkataan itu sebetulnya searah dengan konsep barokah, artinya orang itu sedang mengaharapkan barokah.
Di pesantren, para santri memiliki kesadaran yang utuh tentang arti penting barokah. Bagi mereka, santri yang tidak mengharap barokah, apalagi santri yang tidak mendapatkan barokah sama sekali, maka ilmunya seringkali dianggap tidak akan bermanfaat. Lebih dari itu, hidupnya tidak akan berjalan baik sesuai keinginannya.
Karenanya, konsep barokah ini sangat penting dalam tradisi kehidupan para santri. Pertanyaannya, dari mana santri memperoleh barokah? Barokah biasanya didapat oleh santri apabila mereka rajin belajar, yang salah satunya dibuktikan dengan penghormatan kepada guru. Para santri meyakini bahwa barokah tidak langsung datang dari langit, tetapi ia datang melalu perantara, bisa melalui perantara gurunya, giat belajarnya, atau giat pengabdiannya di pesantren.
Bila konsep barokah ini dipahami dalam konteks pendidikan modern, maka siapa yang giat, dialah yang akan menuai hasil. Meski pendidikan modern tidak pernah mengenal konsep barokah, sebetulnya pengamalannya sudah ada tanpa disadari. Demikianlah, konsep barokah bukanlah sesuatu yang benar-benar baru bagi kehidupan masyarakat modern.
Tradisi Cium Tangan
Salah satu tradisi yang terus hidup di lingkungan pesantren adalah mencium tangan kiai atau ustadz. Seorang santri akan dianggap sangat tidak sopan bila tidak mencium tangan kiai atau gurunya. Tradisi cium tangan merupakan salah satu bentuk penghormatan atau memuliakan guru, bukan sekedar memuliakan orang yang lebih tua.
Tradisi cium tangan ini sebetulnya bukan khas tradisi pesantren, tetapi merupakan tradisi yang hidup dan lestari di Nusantara. Sebab, dalam khazanah budaya sopan santun di Nusantara, kita biasanya diajarkan untuk mencium tangan orang tua atau orang yang lebih tua, ini cukup lumrah dalam masyarakat kita.
Namun demikian, bagi santri, mencium tangan guru tidak sekedar cara menghormati orang tua, lebih dari itu, mencium tangan guru merupakan salah satu bentuk menghormati dan memuliakan guru yang telah mengajarkan ilmu selama di pesantren. Para santri meyakini bahwa dengan mencium tangan kiai, mereka juga akan mendapatkan barokah atau keberkahan. Seorang santri akan sangat takut bila ia tidak mendapatkan barokah, sebab boleh jadi ilmunya nanti tidak akan bermanfaat bila keberkahan tidak didapatkan.
Tradisi Membungkuk
Banyak orang menilai bahwa tradisi membungkuk di hadapan guru adalah sisa-sisa peninggalan feodalisme. Tradisi ini dianggap merendahkan derajat dan martabat manusia karena seolah ada orang yang tinggi dan lebih rendah satu sama lain. Di sini, tidak ada kesetaraan, yang terjadi seolah penidasan terhadap martabat manusia.
Pandangan ini bukan hanya keliru, tapi juga salah alamat. Tradisi membungkuk memang basih banyak dilakukan di berbagai pesantren, namun banyak pesantren juga sudah tidak melakukannya, terutama pesantren-pesantren dengan sistem kurikulum modern. Namun intinya, tradisi membungkuk bukanlah bentuk penghinaan terhadap derajat manusia.
Para santri yang membungkuk di hadapan kiai atau guru biasanya bertujuan untuk menghormati dan memuliakan gurunya, bukan sekedar memuliakan ia sebagai manusia, tetapi juga memuliakan ilmu dan akhlak yang dimilikinya. Artinya, ini hanya masalah sopan santun dan tata karma, tidak ada hal-hal lainnya. Santri yang berdiri tegak sejajar dengan gurunya dianggap tidak sopan dan tidak memiliki adab.
Perlu ditegaskan juga bahwa dalam pemahaman para santri, adab jauh ada di atas ilmu. Bila seseorang berilmu tapi tidak beradab, maka habis sudah ilmunya, ia berilmu tapi seolah tidak berilmu. Beda dengan orang yang beradab, kendati ia kurang ilmu, ia akan dianggap mulia karena kemualiaan sopan santunnya. Di sini menjadi tampak bahwa ilmu harus searah dengan dengan akhlak atau sopan santun.
Tradisi Salam Tempel dan Amplop
Banyak orang mengira bahwa tradisi memberi amplop pada kiai merupakan salah satu sarana bagi kiai tersebut untuk memperkaya diri, sementara yang memberi amplop adalah orang biasa yang hidupnya pas-pasan. Pandangan ini bukan hanya keliru, tapi juga sangat tidak realistis dan tidak berdasar.
Memberi amplop pada kiai biasanya disebut dengan salam tempel, artinya salam disertai menempelkan amplop di tangan. Tradisi ini juga hidup lestari di kalangan pesantren. Namun demikian, salam tempel bukanlah sarana bagi kiai untuk memperkaya diri, sebab apa yang diperolah kiai tidak sebanding dengan apa yang diberikannya.
Misalnya, banyak pesantren yang memungut biaya bulanan sangat murah kepada para santri. Uang itu biasanya digunakan untuk biaya listrik, makan, pembangunan, dan sebagainya. Artinya semua dikembalikan pada santri. Namun, uang yang digelola pesantren tidaklah banyak, sehingga pesantren butuh biaya ekstra untuk pembangunan dan yang lainnya. Untuk menutupi kebutuhan itu, kiai biasanya punya usaha, baik itu warung, ladang, dan sebagainya. Usaha-usaha ini biasanya para santri yang menggarap.
Jadi, bila santri dipekerjakan oleh kiai, itu bukan bentuk eksploitasi, tetapi bentuk pengabdian kepada pesantren yang hasilnya dikembalikan kepada santri. Baik itu menggarap sawah di ladang, menjaga warung-warung pondok, membangun, dan sebagainya, semuanya diproyeksikan untuk khidmat, yakni pengabdian dan bentuk perjuangan para santri dalam menimba ilmu.
Jadi, sangat tidak masuk akal bila kiai memperkaya diri dengan mengskploitasi santri atau jamaah. Sebab, seluruh hidup kiai biasanya diberikan pada pesantren dan umat. Mereka seringkali tidak punya waktu luang untuk dirinya sendiri dan terlalu sibuk membimbing santri dan jamaah.
Tradisi Belajar-Mengajar
Berbeda dengan konsep pendidikan modern, pendidikan di pesantren bersifat komprehensip dan lengkap. Misalnya, santri tidak hanya diajarkan tentang pendidikan agama, akhlak, dan spiritualitas, santri juga diberi bekal hidup dengan banyak aktifitas-aktifitas lainnya yang bersifat membangun karakter.
Hal ini dilakukan agar santri memiliki bekal yang cukup ketika sudah boyong nanti. Dengan belajar di pesantren, mereka tidak gugup bila sudah berhadapan langsung dengan masyarakat. Pesantren tidak hanya tempat belajar agama, tetapi juga tempat untuk menempa hidup.
Pembelajaran yang komprehensif ini semata-mata dilakukan karena pesantren memang tempat bersemayamnya orang-orang berilmu yang nantinya akan dijadikan sarana untuk kaderisasi ulama. Tanpa pesantren dan majelis ilmu, sulit bagi kita membayangkan bagaimana agama ini dapat berkembang hingga saat ini.
Tradisi belajar-mengajarnya juga tidak bersifat monoton, pesantren saat ini telah banyak bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan pendidikan modern. Itulah sebabnya, banyak pesantren juga membuka sekolah-sekolah formal agar tidak ketinggalan dengan perkembangan keilmuan modern. Meskipun, banyak tradisi lama yang masih hidup, tetapi itu tidak menghalangi bagi pesantren untuk terus berkembang.
Meski demikian, pendidikan ala pesantren sejauh ini masih dianggap sebelah mata. Bahkan pemerintah sendiri kurang begitu memperhatikan pendidikan pesantren. Boleh jadi ini terjadi karena pesantren hanya dianggap sebagai tempat pendidikan agama. Padahal, lebih daripada itu, pesantren adalah tempat pendidikan khas ala Indonesia yang telah berkontribusi besar bagi pemajuan dan penjaga moral bangsa.
