Gambar ilustrasi: KH. Abdullah Syukri Zarkasyi sebagai salah satu tokoh penggerak organisasi mahasiswa dan pesantren.
Oleh: Abuzar Al Ghifari
Tidarislam.co- Beberapa hari lalu, saya diberi amanah oleh Pengurus Pesantren Mahasiswa Universitas Darunnajah untuk menyampaikan materi di acara pembekalan mahasiswa baru Pesantren mahasiswa tentang Pesantren dan Wakaf. Namun saya meminta kepada panitia untuk menyampaikan materi yang berbeda yaitu seputar “Organisasi dan Mahasiswa”. Materi ini saya anggap penting terutama disampaikan dihadapan mahasiswa baru yang “bermukim” di asrama selama 24 jam. Mahasiswa Universitas Darunnajah yang tinggal atau mukim di asrama dikenal dengan “Mahasiswa Pesma”. Mereka tinggal selama 24 jam berada di dalam komplek Pesantren Darunnajah. Boleh dikatakan para mahasiswa bermukim bersebelahan dengan santri. Oleh karena itu dikenal dengan sebutan mahasiswa “Pesma” atau Pesantren Mahasiswa.
Mahasiswa Pesma yang datang tahun ini berkisar 20 orang lebih sedikit. Mereka berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang berasal dari Aceh, Jambi, Bengkulu, Jabodetabek hingga Merauke Papua. Boleh dibilang keanekaragaman asal mahasiswa Pesma dari berbagai daerah menjadi daya tarik untuk “mengundang” calon mahasiswa di masa mendatang. Materi yang saya sampaikan saat acara terkait organisasi dan korelasinya kepada mahasiswa. Pertanyaan yang saya lontarkan kepada mahasiswa sebagai pemantik diskusi yaitu mengapa mahasiswa harus berorganisasi? Pertanyaan ini sengaja saya sampaikan untuk merenungi eksistensi mahasiswa di tengah umat Islam, bangsa dan negara. Mungkin masih banyak yang menyadari bahwa persoalan kampus hanya sekedar masuk kelas lalu pulang ke kosan mengerjakan tugas kuliah dan seterusnya. Sebenarnya masih banyak dari kalangan mahasiswa yang terjebak dengan paradigma demikian, meski saya sebagai penulis hendak menawarkan perspektif lain.
Di antara akan banyak manfaatnya berorganisasi bagi mahasiswa ialah sebagai berikut:
- Belajar mengatur waktu. Dahulu saat saya masih menjadi santri di Jawa Timur ada sesuatu yang membuat berkesan berupa nasehat dari guru, ia mengatakan “orang hebat ialah orang sibuk yang mampu membagi waktunya dengan baik”. Bagi penulis perkataan ini merupakan pesan mendalam bahwa tatkala seseorang banyak melakukan aktifitas dan mampu menatanya dengan baik itu merupakan tanda calon “orang hebat” di masa mendatang. Oleh karena itu saat mahasiswa aktif di organisasi maka sangat lumrah banyak waktu yang terpakai melakukan berbagai kegiatan. Namun di sisi lain hal ini dapat memberikan nilai positif baginya saat mampu menata waktu dengan baik.
- Mengasah kemampuan bersosialisasi. Saat berorganisasi pastinya kita akan banyak menemukan teman yang menjadi partner, demikian menjadi nilai positif bagi mahasiswa sehingga tidak “kaku” dalam berinteraksi dengan masyarakat luas.
- Melatih leadership. Pakar pendidikan telah berselisih pendapat terkait suatu kompetensi seperti mental memimpin apakah sudah ada sejak lahirnya manusia atau harus dikembangkan melalui latihan? Bagi penulis lebih cenderung kepada pendapat bahwa kompetensi maupun skill tertentu harus dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, semakin mahasiwa itu aktif berorganisasi maka akan bertambah potensinya dalam memimpin.
- Bertambah networking. Jaringan pertemanan kita saat ini sangat diperlukan terutama pada peningkatan karir. Tidak khayal jika saat ini ditemukan kesuksesan seseorang ternyata karena pertemanan dan ini menjadi salah satu kelebihan akan luasnya jaringan pertemanan. Saya pula menyampaikan kepada mahasiswa untuk tidak sungkan aktif berorganisasi demi meluasnya jaringan pertemanan. Jika demikian akan memudahkan untuk langkah berikutnya.
- Menambah pengalaman dan wawasan. Ini menjadi hal terpenting dari keaktifan beroraganisasi. Sudah tentu akan bertambah wawasan karena akan dipacu untuk berdialektika bersama partner organisasi. Begitu pula pengalaman akan semakin bertambah dengan aktif mengikuti organisasi.
- Menumbuhkan kedewasaan berfikir dan bertindak. Manfaat keenam menjadi pemicu akan manfaat berorganisasi. Mungkin sebagian orang belum menyadari manfaat yang keenam ini.
Keenam manfaat berorganisasi di atas merupakan pengalaman penulis baik saat menjadi santri, mahasiswa hingga saat ini. Meskipun pengalaman organisasi penulis belum sebanyak kawan maupun sahabat yang lainnya, namun perlu untuk disampaikan sabagai pesan dan motivasi bagi mahasiswa dan lainnya.
“Mahasiswa di Pesantren seyogyanya mampu mengintegrasikan potensi spiritual, intelektual, jasmani hingga keumatan. Mahasiswa jangan sampai baik pada potensi intelektual namun “kering” pada sisi spiritual. Begitu pun aktif terhadap kegiatan yang mengasah potensi jasmani namun lupa dirinya akan kebermanfaatan kepada masyarakat luas. Kegiatan yang dapat mengasah potensi spiritual, intelektual, jasmani, dan keumatan harus terintegrasi dengan baik. (Abuzar Al Ghifari)”
Penulis melihat banyak orang sukses di Indonesia terlahir dari perjalanan organisasinya baik bentuknya organisasi keagamaan, sosial, pendidikan hingga saat menjadi aktivis kampus. Contohnya dapat penulis sebutkan seperti almarhum KH. Abdullah Syukri Zarkasi, salah satu Pimpinan Ponpes Darussalam Gontor. Beliau saat lulus Gontor pergi ke Ciputat dan menjadi mahasiswa di kampus IAIN Jakarta yang sekarang berubah menjadi UIN. Saat itu beliau menjadi aktivis kampus dan aktif berorganisasi. Selesai kuliah di IAIN Jakarta, melanjutkan ke jenjang strata 2 di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Di Kairo beliau aktif di berbagai kegiatan organisasi mahasiswa. Pengalaman ini mengantarkannya menjadi sosok Kyai Gontor yang handal dalam bidang kepemimpinan.
Adapula sosok Nurcholish Madjid, jebolan Gontor dan IAIN Jakarta bahkan melanjutkan kuliah pasca sarjana ke Amerika. Ternyata beliau aktif berorganisasi saat di Ciputat. Kebanyakan dari kita mengenal Cak Nur sebagai intelektual yang kaya publikasinya. Namun di sisi lain keaktifan berorganisasinya tidak dapat dilupakan.
Baca juga: Perlunya Mahasiswa Memelihara Pemikiran Kritis
Selain itu ada sosok yang bernama Fadli Zon, Menteri Kebudayaan pemerintahan Prabowo-Gibran. Sosoknya tidak asing karena sering terlihat di layar televisi. Ia merupakan sosok politisi partai Gerindra banyak mengkritisi kebijakan pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Ternyata beliau adalah aktivis kampus saat menjadi mahasiswa. Masih banyak lagi tokoh bangsa yang belum disebutkan penulis. Namun yang menjadi catatan penting dari beberapa tokoh sebelumnya, selain mereka sosok aktivis namun produktif pula menghasilkan karya tulis seperti publikasi ilmiah dan karya nyata berupa lembaga pendidikan.
Selain tokoh intelektual maupun tokoh pendidikan Islam di atas, ada pula sosok pemimpin dunia yang menjadi presiden namun tidak lupa membaca buku. Penulis menganggap bahwa kelemahan kalangan aktivis terutama yang banyak bergerak di dunia “lapangan” lebih cenderung “minim” terhadap minat baca maupun literasi. Ini menjadi tugas berat kedepan menggabungkan 2 hal yaitu wawasan dan pengalaman.
Gambar: Mohammad Hatta, salah satu proklamator Indonesia, adalah aktivis yang gemar membaca buku. Selain aktif di organisasi pergerakan kemahasiswaan, Hatta menulis sekitar 800 karya tulis.
Penulis menyebut pengalaman termasuk kategori yang banyak dilakukan dalam dunia aktivis maupun organisatoris. Terkadang keduanya sukar untuk disatukan bagi kalangan tertentu, faktanya ada yang cenderung dengan dunia literasi atau keilmuwan namun “kurang” perhatian terhadap organisasi. Begitu pula sebaliknya, kecenderungan terhadap organisasi baik sebagai aktivis kampus dan lainnya, akan tetapi “sedikit” perhatian kepada dunia literasi.
Dapat kita lihat sosok Barack Obama, mantan orang no 1 di Amerika. Suatu saat penulis bertemu dengan mahaguru Prof. Abuddin Nata, guru besar UIN Jakarta. Ia menyampaikan bahwa Barack Obama memiliki waktu khusus untuk membaca buku. Biasanya berada di perpusatakaan pribadi selama 3 hari 3 malam untuk membaca buku. Sungguh ini sesuatu yang di luar dugaan akan kebiasaan sosok mantan Presiden Amerika Barack Obama. Sosok kedua dari pemimpin negeri yaitu Muhammad Hatta, wakil Presiden pertama Indonesia yang saat itu beliau sebagai wakil Presiden Soekarno.
Seperti yang ditulis oleh Silfia Hannani dan Ratna Sari berjudul “Bung Hatta dan Pendidikan Karakter”. Dikatakan pada buku tersebut bung Hatta sangat gemar membaca buku bahkan buku sudah menjadi teman sejatinya. Selama 11 tahun berada di Belanda untuk menuntut ilmu, ia memiliki 16 peti besar yang berisikan buku. Peti-peti tersebut dianggap harta yang berharga saat pulang ke Indonesia. Bahkan ada yang mengatakan koleksi bukunya mencapai 12.000 dan berada di perpustakaan pribadinya. Ini pertanda sosok bung Hatta yang gemar membaca dan menulis meskipun sebagai wakil Presiden pertama Indonesia yang saat itu kondisi politik dan ekonomi di Indonesia tidak mudah alias sangat sulit.
Beberapa saran saya terkait kemahasiswaan dalam hal ini mahasiswa baru Pesantren Mahasiswa agar mampu mengintegrasikan beberapa potensi spiritual, intelektual, jasmani hingga keumatan. Mahasiswa jangan sampai baik pada potensi intelektual namun “kering” pada sisi spiritual. Begitu pun aktif terhadap kegiatan yang mengasah potensi jasmani namun lupa dirinya akan kebermanfaatan kepada masyarakat luas. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengasah potensi spiritual, intelektual, jasmani dan keumatan harus terintegrasi dengan baik.
Mahasiswa aktif mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan shalat, puasa, dzikir, wirid,rajin membaca Al Quran namun disisi lain tidak lupa mengikuti kajian ilmiah, diskusi, seminar, me-refresh pikiran dengan olahraga hingga akhirnya mampu menjadi manusia yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Berbagai potensi tadi selalu diasah sebagai bekal saat terjun ke tengah masyarakat di waktu mendatang. Wallahu a’lam
Dr. Abuzar Al-Ghifari, Lc. M.A., merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Bogor dan dosen di Universitas Darunnajah Jakarta.
Baca juga: Menimbang Perlunya Menghapus Jurusan Filsafat di Indonesia