Oleh: Vidya Desieva
Tidarislam.co- Di era digital yang sarat informasi ini, kita menghadapi paradoks: akses terhadap bacaan semakin mudah, namun pemahaman yang mendalam justru semakin langka. Kemampuan literasi kini lebih dari sekadar membaca dan menulis yang menuntut kejelian dalam memilah, memahami, dan mengolah informasi. Dalam konteks ini, Islam hadir dengan warisan literasi yang kaya dan mengakar kuat sejak turunnya wahyu pertama: “Iqra!” (bacalah).
Pendidikan literasi dalam Islam sejatinya bersumber dari nilai-nilai Qurani. Al-Qur’an bukan hanya kitab suci, tetapi juga teks literatur agung yang mengajarkan struktur berpikir logis, argumentatif, dan reflektif. Ketika Allah SWT menantang manusia untuk “berpikir”, “merenung”, dan “menggunakan akal”, ini adalah dorongan agar umat Islam menjadi manusia literat yang tak hanya membaca, tapi memahami dan mengambil hikmah. Dalam surat Ali-Imran ayat 190-191, misalnya, dijelaskan tentang pentingnya berpikir kritis terhadap ciptaan Allah sebagai bentuk ibadah intelektual.
Sayangnya, tradisi literasi ini mulai memudar, terutama di kalangan generasi muda Muslim. Banyak anak-anak yang bisa membaca huruf Arab, namun tidak memahami maknanya. Kita mendidik untuk melafalkan, tetapi belum cukup mengajarkan untuk merenungkan. Padahal dalam Surah Sad ayat 29, Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk “dita’ammul” (dipahami secara mendalam), bukan sekadar dibaca secara lisan.
Krisis literasi ini bukan hanya berdampak pada minimnya kemampuan analisis anak terhadap teks pelajaran, tetapi juga memperlemah ketahanan berpikir mereka terhadap arus informasi yang menyesatkan. Anak-anak mudah percaya pada hoaks, teori konspirasi, bahkan propaganda karena tidak dilatih untuk bertanya dan mencari bukti. Padahal Islam mengajarkan verifikasi melalui ayat seperti Al-Hujurat:6 yang menyuruh umat Muslim untuk memeriksa berita sebelum mempercayainya. Literasi Qurani dalam hal ini bukan hanya keahlian teknis, tetapi juga akhlak dalam bermedia.
Kita juga melihat fenomena di mana generasi muda lebih tertarik pada konten viral ketimbang bacaan bermutu. Ini menjadi tantangan besar bagi pendidikan literasi berbasis Islam. Padahal, dengan pendekatan yang kreatif, nilai-nilai Qurani bisa ditanamkan lewat medium yang digemari anak muda, seperti video pendek, podcast Islami, dan konten visual interaktif. Literasi digital dalam bingkai Islam menjadi langkah penting untuk menjangkau generasi yang tumbuh bersama teknologi. Bayangkan jika algoritma media sosial diarahkan untuk menyebarkan potongan tafsir inspiratif atau kisah hikmah dari sirah nabawiyah.
Baca juga: Tafsir Ilmi: Pendekatan Ilmiah Terhadap al-Quran
Dalam konteks pendidikan Islam, pesantren, madrasah, dan sekolah Islam harus mulai menanamkan kembali semangat literasi berbasis nilai Qurani. Ini bisa dilakukan dengan metode tafsir tematik yang mendorong siswa berdiskusi, membuat refleksi pribadi dari ayat-ayat, serta mengaitkan nilai-nilai Islam dengan isu-isu kontemporer. Misalnya, bagaimana Islam memandang keadilan sosial, lingkungan, atau teknologi. Dengan begitu, siswa tidak hanya hafal ayat, tetapi juga mengerti konteks dan relevansi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, orang tua dan guru juga perlu membangun lingkungan yang merangsang anak untuk membaca dan bertanya. Perpustakaan masjid, pojok baca Islami, atau halaqah literasi bisa menjadi ruang kreatif untuk menggabungkan kecintaan terhadap Al-Qur’an dengan kemampuan berpikir kritis. Diskusi keluarga yang melibatkan tafsir ayat-ayat atau kisah nabi juga menjadi metode sederhana tapi bermakna untuk menanamkan budaya literasi di rumah. Kegiatan seperti membaca sirah Nabawiyah sebelum tidur, menonton film bertema sejarah Islam, atau membuat jurnal tadabbur bisa menjadi cara efektif untuk mendekatkan anak pada literasi berbasis iman.
Literasi dalam Islam tidak berhenti pada teks. Ia melibatkan proses tadabbur (perenungan) dan tafaqquh (pendalaman ilmu). Literasi menjadi jembatan antara wahyu dan realitas.
Dalam sejarahnya, banyak ilmuwan Muslim besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd yang menjadikan literasi sebagai jalan menuju penguasaan pengetahuan secara multidisipliner. Mereka menulis, berdialog, dan meneliti yang semua berangkat dari panggilan iman untuk mencari ilmu. Bahkan lembaga-lembaga pendidikan Islam masa lalu seperti Bayt al-Hikmah dan Madrasah Nizamiyah menunjukkan bahwa tradisi membaca dan menulis sudah menjadi bagian integral dari kemajuan peradaban Islam.
Generasi terdahulu memiliki semangat belajar yang luar biasa. Mereka menyalin buku-buku dengan tangan, berjalan jauh demi menghadiri majelis ilmu, dan menghafal ribuan hadits. Kini, dengan kemudahan teknologi, seharusnya semangat itu tidak meredup, tapi justru menyala lebih terang. Literasi Qurani di era ini tidak lagi soal keterbatasan akses, tetapi soal kemauan dan kesadaran kolektif untuk kembali kepada esensi ilmu. Pendidikan Islam masa kini harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mempermudah akses terhadap literatur Islami, e-book, jurnal, bahkan tafsir digital yang bisa diakses oleh siapa pun, kapan pun.
Literasi Qurani yang hidup bukan sekadar rutinitas membaca ayat, melainkan proses membentuk cara pandang Qurani terhadap dunia.
Generasi muda Muslim harus diajak untuk melihat membaca sebagai bentuk ibadah, dan berpikir sebagai wujud syukur atas akal yang diberikan Allah. Dengan literasi yang terhubung pada nilai-nilai tauhid, mereka tak hanya siap menghadapi tantangan zaman, tapi juga menjadi pelita di tengah kegelapan informasi. Inilah generasi yang menulis untuk menebar manfaat, membaca untuk memahami makna, dan berpikir demi memperbaiki dunia. Karena di tangan mereka, harapan umat bertumbuh dan cahaya Islam kembali menyinari peradaban. Maka tugas kita hari ini bukan hanya mengajarkan huruf, tetapi menyalakan semangat untuk terus mencari ilmu, merenungi kebenaran, dan menghidupkan kembali budaya iqra’ dalam setiap napas kehidupan.
Ketika literasi dipadukan dengan nilai Islam, maka pendidikan tidak hanya menghasilkan siswa pintar, tapi juga manusia paripurna yang cerdas pikirannya, jernih hatinya, dan kokoh moralnya. Literasi bukan semata keterampilan teknis, melainkan bagian dari proses tazkiyah, penyucian jiwa melalui ilmu. Maka, mari bersama-sama membangun generasi yang tidak hanya gemar membaca, tetapi juga mampu memahami, merenungkan, dan mengamalkan isi bacaan dalam laku kehidupan. Karena sejatinya, dari literasi-lah peradaban Islam dahulu bangkit, dan melalui literasi pula ia akan kembali berjaya. Dunia menanti lahirnya generasi pecinta ilmu yang menulis dengan hikmah, berpikir dengan iman, bertindak dengan adab, dan membawa rahmat bagi semesta. Dalam genggaman pena dan cahaya wahyu, masa depan Islam dibentuk hari ini. Wallahua’lam.
Baca juga: Mengenal 8 Konsep Ekologi dalam al-Quran
*Vidya Desieva, merupakan mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Penulis memiliki ketertarikan pada bidang literasi, pendidikan, dan penguatan karakter generasi muda melalui nilai-nilai keislaman. Hal ini menjadikan kegiatan saya sebagai sarana untuk menuangkan pemikiran serta bentuk kepedulian terhadap isu-isu sosial dan spiritual di tengah masyarakat. Email: vydyeva131@gmail.com Instagram: @vydyevaa