Assia Djebar: Sastrawan Muslimah dan Pejuang Kesetaraan dari Timur

Oleh: Rasyida Rifa’ati Husna

Tidarislam.co- Assia Djebar yang memiliki nama asli Fatma Zohra Imalhayene, merupakan seorang professor, sastrawan feminis, novelis, dan pembuat film Aljazair, yang berfokus pada tema perempuan dan masyarakat Aljazair.

Ia lahir pada tanggal 30 Juni 1936, dari pasangan Tahar Imalhayène dan Bahia Sahraoui di kota Cherchell, Aljazair. Ayahnya adalah seorang pendidik satu-satunya yang dapat mengajarkan bahasa Prancis di Mouzaïaville dans la Mitidja, sebuah sekolah dasar dimana ia menuntut ilmu.

Pendidikan dan Karir

Kemudian, Assia Djebar melanjutkan pendidikannya ke sekolah badan swasta Quranik di Blida. Ia menempuh pendidikan di Collège de Blida, sebuah sekolah tinggi di Algiers, dimana ia merupakan satu-satunya seorang muslim di kelasnya.

Ayah Djebar sangat mendorong dan mendukung pendidikan putrinya itu, sehingga ia melanjutkan studi ke Prancis. Assia Djebar menjadi siswa Aljazair pertama dan perempuan muslim pertama yang diterima di Ecole Normale Superieure, salah satu sekolah elit Prancis.

Pada tahun 1956 ia lulus sarjana dari Universitas Sorbonne dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1999 di Paul Valéry University of Montpellier III. Djebar kemudian pindah ke Amerika Serikat tahun 1995 dan mengajar di Pusat Studi Prancis dan Francophone, Louisiana State University dan kemudian di NYU. Pada tahun 2005, Assia Djebar menjadi penulis pertama dari Afrika Utara yang terpilih sebagai anggota Academie Française.

Karya Sastra dan Film

Karirnya sebagai novelis dimulai pada tahun 1957 dengan publikasi novel pertamanya, “La Soif” atau, dalam edisi yang diterbitkan oleh Simon & Schuster, berjudul “The Mischief.” Ceritanya berpusat pada seorang perempuan muda dari keluarga Prancis-Aljazair. Ia menggunakan nama pena Assia Djebar, sebab awalnya ayah Djebar tidak menyetujui hal tersebut.

Berkat karyanya, Assia Djebar mendapat pengakuan luas di publik, termasuk dalam ulasan The New York Times, menyebutkan novel pertama dari seorang perempuan Aljazair yang diterbitkan di luar negaranya sendiri.

Assia Djebar telah menulis lebih dari 15 buku, termasuk novel, drama, dan puisi yang diterjemahkan ke dalam 23 bahasa. Di antaranya adalah novel “Les Alouettes Naïves”, (The Naive Larks), kisah Feminisme Aljazair dan menggambarkan kontribusi perempuan Aljazair dalam perang untuk kemerdekaan (1954-1962).

Selain itu, novel yang berjudul “Vaste est la prison” (So Vast the Prison) tentang subordinasi perempuan dalam masyarakat Arab, dan “Algerian White,” sebuah meditasi yang menceritakan kisah pribadinya dengan menciptakan kembali kehidupan teman-teman yang hilang akibat kekerasan agama.

Baca juga: Gus Dur dan Kasusastraan Pesantren

Assia Djebar menghabiskan sebagian besar tahun perang di luar Aljazair. Namun setelah itu, ia pulang ke negaranya dan mengajar sejarah, sastra Prancis, dan sinema di Aljir University, serta menjadi kepala departemen Bagian Perancis di universitas.

Ia menyutradarai beberapa film di Aljazair, termasuk salah satunya film “Nouba des femmes du mont Chenoua”, kisah seorang insinyur perempuan dari Aljazair yang kembali ke Aljazair setelah pengasingan panjang di Barat. Djebar kemudian memutuskan kembali ke Prancis, karena sebagaimana tersebut dalam surat kabar Le Monde, ia mengatakan, “Hanya ada laki-laki di jalanan Aljazair.” Saat itu, ia memulai kehidupan bolak-balik antara Prancis dan Aljazair.

Beberapa penghargaan yang ia dapatkan, ia memenangkan Penghargaan Internasional Neustadt di tahun 1996 untuk Sastra yang prestisius karena kontribusinya pada dunia sastra. Pada tahun berikutnya, ia mengambil rumah Penghargaan Yourcenar.

Ia juga meraih Penghargaan Kritikus Internasional di Festival Film Venesia untuk film “La Nouba des Femmes du Mont Chenoua”. Dan pada 2000, ia memenangkan Penghargaan Perdamaian Perdagangan Buku Jerman.

Pejuang Kesetaraan

Melalui film-filmnya, Assia Djebar mengeksplorasi isu-isu perempuan dan berbagai bentuk eksploitasi yang dialami perempuan di Aljazair dan bagaimana mereka menghadapi tantangan dalam masyarakat patriarki.

Dengan menggunakan karya sastra dan sinematografi, ia menjadikan platform untuk memberikan suara kepada perempuan dan mengangkat isu-isu penting terkait hak-hak mereka, emansipasi, dan peran mereka dalam masyarakat.

Seperti salah satunya, dalam karya yang berjudul “Ombre Sultane”, Philippe Barbé, seorang direktor, penulis dialog, dan kritikus asal Prancis menulis bahwa Ombre Sultane adalah karya sentral karena Djebar tidak puas untuk menggambarkan dan mencela tawanan perempuan Muslim. Sebaliknya, ia mengatakan bahwa, “novel ini menunjukkan serangkaian taktik yang dapat digunakan tawanan perempuan dalam pencarian mereka untuk emansipasi.” Wallah a’lam bisshawwab.[]

Rasyida Rifa’ati Husna, Long-life learner.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *