Pesantren dan Kedudukannya di Mata Hukum Positif

Oleh: Abuzar Al Ghifari*

Posisi Pesantren di Mata Hukum Positif

Bagian terpenting dalam kajian Pesantren ialah kedudukannya dalam hukum positif. Sejak lama Pesantren menjadi lembaga atau institusi Islam di tanah Nusantara. Eksistensinya tidak dapat diragukan bagi kemajuan bangsa dan negara. Perjalanan historisnya di mulai sejak masuknya Islam di tanah Nusantara. Secara pasti menurut beberapa pakar pendidikan bahwa Pesantren belum dapat dipastikan awal berdirinya di Indonesia. Para peneliti belum menyepakati awal kemunculan dan berdirinya Pesantren, tetapi eksistensi Pesantren memiliki kultur kuat bagi masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, Pesantren oleh sebagian orang memiliki ciri khas dari kehidupannya yang tidak sama dengan lembaga pendidikan non Pesantren.[1]

Kehidupan keseharian di Pesantren penuh dengan nilai-nilai pendidikan. Orientasi Pesantren lebih kepada anti penjajahan, karena pada awalnya para Kyai berada pada posisi stratagis di kerajaan Islam. Kebanyakan dari kyai menjadi penasehat raja urusan keagamaan maka lahir istilah Syaikhul Islam. Selain sebagai penasehat raja urusan keagamaan khususnya Islam, kyai menjadi Qadhi kerajaaan yang mengurus seperti pernikahan, perceraian, pembagian warisan dan dikenal dengan istilah penghulu. Istilah Qadhi menjadi penghulu dikaitkan waktu saat ini dengan petugas penghulu KUA maupun Hakim Pengadilan Agama dan MUI.[2]

Keberadaan kerajaan Islam semenjak kaum penjajah masuk ke Nusantara lalu menghancurkan kerajaan Islam. Pada akhirnya eksistensi kyai tidak lagi berada di kerajaan melainkan “pergi” ke pelosok pedesaan membangun Pesantren. Hal ini menjadi alasan mengapa keberadaan Pesantren lebih banyak berada di pedalaman pedesaan. Selain lokasi yang aman tentram dan nyaman alamnya, saat itu kondisi sosial dimasa penjajahan tidak begitu baik bagi kalangan kyai. Jadi, keberadaan Ulama yang tadinya memiliki posisi strategis di kalangan raja, namun berjalannya waktu eksistensi kerajaan Islam mulai berjatuhan semenjak kedatangan kaum penjajah terutama perusahaan asing milik Belanda yang pada dasarnya bertujuan menjajah. Dari kondisi seperti itu, Ulama mulai bertransformasi menjadi tokoh pendidikan dan masyarakat karena mereka membangun lembaga pendidikan Pesantren di pedesaan.[3]

Keberadaan Pesantren dengan bukti sejarah yang otoritatif mengharuskan menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Namun menjadi pertanyaan besar apakah sistem pendidikan Pesantren masuk dalam sisdiknas? Pertanyaan ini kemungkinan menjadi renungan bagi masyarakat santri. Boleh jadi kalangan santri mulai bertanya-tanya, selama ini mereka belajar bertahun-tahun di Pesantren namun tidak diakui oleh sisdiknas. Ini menjadi sesuatu yang amat naif bagi kalangan santri. Padahal mereka meyakini bahwa Pesantren sangat memberikan andil besar bagi kemajuan Pendidikan di Indonesia.

Ada beberapa catatan sosok legislator dari partai Kebangkitan Bangsa atau PKB yang bernama Marwan Dasopang memberikan catatan kritisnya eksistensi Pesantren di mata hukum positif. Pertama, pemerintah menganggap Pesantren sebagai kategori pendidikan non Formal pada pasal 6 UU NO 20 Tahun 2003. Hal ini telah menafikan kontribusi Pesantren kepada bangsa dan Negara selama ini. selain itu pada pasal 30 ayat 4 UU No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa Pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Padahal Pesanttren memiliki fungsi selain pendidikan yaitu dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pesantren tidak memiliki kucuran APBN maupun APBD, karena dana tersebut hanya dikhususkan untuk jenjang TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Oleh karena itu peng-alokasian dana bukan pada Pesantren menjadi citra kurang baik akan pendidikan Pesantren. Ketiga, UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen belum mencakup guru pesantren karena aturannya ialah guru harus memiliki ijazah, adapun guru di Pesantren tanpa ijazah namun kualitasnya tidak kalah dengan yang ber-ijazah.[4] Catatan dari tokoh legislator tersebut menarik untuk dikaji selanjutnya. Bisa jadi catatan tersebut menjadi kegelisahan terhadap eksistensi Pesantren di mata hukum positif Indonesia.

Menurut penulis, lembaga pendidikan Pesantren sering kali menjadi objek “pendongkrak” lumbung suara salah satu pasangan calon presiden maupun pilkada dan legislatif.[5] Musim kampanye tokoh politik banyak berdatangan ke Pesantren untuk “silaturrahim politik”. [6]Sebenarnya tujuannya tiada lain mendongkrak elektoral salah satu paslon karena keberadaan kyai dan Pesantren menjadi penentu kemenangan kontestasi pemilu pilpres maupun pilkada dan legislatif. Menurut Imam Suprayogo fungsi Kyai selain sebagai pemimpin spiritual, pelayan masyarakat hingga aktivis politik. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW memiliki multi peran. Sehingga hal itu diikuti oleh kyai sebagai pewaris Nabi SAW.[7]

Maka tidak salah bahwa lembaga pendidikan menjadi tempat terbaik untuk penyampaian pesan-pesan politik. Hal tersebut dibungkus oleh yang namanya “kurikulum”. [8] Penyampaian pesan politik di lembaga pendidikan seperti Pesantren menjadi fenomena yang tidak asing. Masyarakat melihat fenomena tersebut sesuatu yang biasa. Masa kampanye politik tidak jarang politisi berdatangan ke lembaga Pesantren, bahkan secara otomatis berpakaian berubah pesat. Bagi poltisi kalangan wanita yang tidak berhijab, mendadak memakai pakaian islami saat “kampanye politik” di Pesantren.

Segelumit fenomena yang dijelaskan sebelumnya menandakan kepada kita bahwa lembaga Pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Keberadaannya sangat mengakar secara sosio-kultur. Maka tidak salah perjuangan aktivis Islam terutama di dunia parlemen menjadi bukti mengembalikan historis perjuangan Pesantren untuk pendidikan Nasional. Kita tidak boleh men-generalisir perilaku kalangan politisi dengan negatif karena alasan politik itu kotor. Sebenarnya politik bergantung kepada tujuannya. Jika tujuan yang hendak dicapai berupa kebaikan maka substansinya adalah kebaikan. Begitu pula dengan lahirnya UU No 18 tahun 2019 merupakan perjuangan panjang para politisi yang memperjuangkan agar Pesantren “diakui” pemerintah. Sehingga dengan lahirnya UU No 18 tahun 2019 boleh dikatakan hadiah terindah bagi Pesantren di Indonesia. Isi dari UU No 18 tahun 2019 menyatakan:

Pesantren terdiri dari: a) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengajian kitab kuning; b) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan Muallimin; c) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum. [9]

Undang-undang di atas menandakan Pesantren memiliki karakteristik dari pola pendidikannya. Tidak hanya mengajarkan ilmu keagamaan, melainkan didapati yang mampu menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Ini merupakan keistimewaan dari pendidikan Pesantren. Namun hadirnya Undang-undang Pesantren bukan sesuatu yang mudah, harus melewati perjuangan panjang yang membutuhkan perdebatan sengit di Parlemen. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Marwan Dasopang, legislator dari PKB yang menjadi ketua Panja RUU Pesantren.[10]

Oleh karena itu dengan hadirnya Undang-undang Pesantren No 18 tahun 2019, kalangan santri di Indonesia tidak perlu khawatir rekognisi atau pengakuan Pesantren di mata hukum positif. Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan telah ada semenjak pra kemerdekaan Indonesia. Kiprahnya dan sumbangan untuk bangsa dan Negara sudah tidak diragukan. Banyak lulusan pesantren menjadi tokoh pergerakan Nasional. Untuk itu keberadaan Pesantren sebagai anugerah terbesar dari Allah SWT untuk Indonesia. Orientasi pendidikan yang dikembangkan di Pesantren bertumpu kepada anti penjajahan. Perjalanan Pesantren dari sejak dahulu mengahadapi tantangan yang tidak mudah. Acapkali lembaga ini menjadi bayang-bayang kaum penjajah.

Relasi Pesantren dengan kalangan Jawiyyin di Mekkah patut menjadi perhatian kalangan kolonial. Maka saat itu muncul sebuah aturan berupa “ordonansi guru” untuk memperketat perjalanan kalangan santri menunaikan haji ke Mekkah yang dilanjutkan berinteraksi dengan Ulama dunia. [11] Hal ini mengakibatkan kemunculannya tokoh orientalis Belanda Snouck Horgranje pergi ke Mekkah dalam rangka mempelajari Islam sekaligus memantau kalangan Jawiyyin yang belajar.

Dengan lahirnya UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren merupakan anugerah terbesar akan keberadaannya di Indonesia. Kita patut bersyukur dengan hadirnya Undang-undang tersebut. Tentunya akan berdampak positif kedepannya. Sudah layak keberadaan Pesantren mendapat pengakuan di negeri ini baik dalam bentuk legal formal Undang-undang. Kontribusinya tidak diragukan bagi kemajuan bangsa dan Negara. Kontribusi memajukan bangsa melalui jalur pendidikan dapat dilihat para alumninya yang berkiprah di negeri ini. Prinsip pendidikan yang menjadi acuannya ialah anti penjajahan dan ikut andil mencerdaskan bangsa dan sangat Nasionalisme. Tudahan akhir-akhir ini kepada Pesantren sangat tidak substantif dan salah “sasaran”. Tidak mungkin keberadaan Pesantren pra kemerdekaan hingga ikut membebaskan bangsa dan Negara tidak mengajarkan Nasionalisme. Sebuah tuduhan yang tidak melihat jejak perjalanan Pesantren secara utuh.

Tipikal Pesantren di Indonesia

Kelompok pertama, yaitu kelompok Pesantren Salafiyah yang merupakan cikal bakal tumbuh dan berkembangnya Pesantren di Indonesia. Pondok Pesantren ini masih mempertahankan sistem klasik dengan mengajarkan kitab-kitab Arab klasik yang ditulis oleh para ulama pada abad ke-15. Pola pengajarannya masih menggunakan halaqah maupun sorogan[12] yang dilaksanakan di masjid maupun surau. Pesantren yang masih murni menjaga sistem tradisional menurut KH Muadz Thohir hanya ada beberapa saja di antaranya adalah Pesantren Lirboyo, pesantren Mathali’ Al Falah Kajen yang pernah dipimpin langsung oleh alm KH Sahal Mahfudz.[13] Pesantren Salafiyyah menggunakan asrama yang terkadang bernuansa sederhana, bahkan ada beberapa Pesantren Salafiyyah didapati asramanya masih menggunakan bambu maupun kayu.

Kelompok kedua, dapat kami sampaikan merupakan kelompok pesantren modern dengan berbasis sistem Kulliyatul Muallimin Al Islamiyah yang diprakarsai pertama kali oleh Pondok Modern Gontor tahun 1926.[14] Di beberapa Pesantren yang berkiblat ke Gontor didapatkan sistem “Tarbiyatul Muallimin Al Islamiyah” (TMI) kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki kesamaan substansi makna. KMI atau TMI merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah dengan masa belajar 6 tahun.

Kelompok ketiga, merupakan sebuah Pesantren yang memadukan sistem tradisional dan modern. Biasanya didapatkan pada Pesantren ini sebuah pengajaran kitab klasik yang tidak sedikit, maka dapat dilihat pola perpaduan sistem antara tradisional dan modern pada sebuah Pesantren, biasanya muatan kurikulum pelajarannya sangat banyak.

Kelompok keempat, merupakan fenomena baru pendidikan Indonesia saat ini dengan bermunculan sekolah-sekolah Islam unggulan. Menurut penelitian beberapa pakar pendidikan, sekolah Islam unggulan lebih banyak ditemukan di perkotaan.[15] Bermunculannya sekolah Islam unggulan salah satu faktornya karena umat Islam saat ini resah dengan kondisi generasi pemuda Islam yang tidak mengenal agamanya. Penyebabnya tiada lain karena minimnya pelajaran yang diajarkan pada sekolah formal. Salah satu solusi terhadap permasalahan ini, dengan memadukan antara pelajaran umum dan agama. Oleh karena itu, dengan adanya sekolah Islam unggulan saat ini, setidaknya harapan umat Islam terhadap generasi penerusnya, agar mereka dapat mempunyai wawasan pengetahuan luas baik dalam hal pengetahuan umum maupun agama dengan dibekali spirit religius pada dirinya dapat menjadi kenyataan.

Ada perbedaan mendasar pada pola pembelajaran di asrama pada sekolah-sekolah unggulan dengan pola pembelajaran di Pesantren. Sebelumnya perlu bagi kami sebagai penulis untuk menyampaikan beberapa karakteristik atau ciri-ciri pondok Pesantren. Menurut penulis, dari ciri-ciri tersebut mempengaruhi akan perbedaan mendasar terhadap pola pembelajaran Pesantren dengan sekolah unggulan yang menggunakan sistem boarding school. Karakteristik tersebut dapat kami ringkas sebagai berikut:

  1. masjid sebagai sentral kegiatan dalam dimensi ukhrawi dan duniawi.
  2. pondok atau asrama.
  3. kyai.
  4. santri
  5. pengajaran kitab-kitab Islam klasik

Dari uraian di atas, unsur keberadaan kyai sebagai pembeda dengan yang ada di sekolah Islam unggulan. Hampir secara umum ciri-ciri dan karakteristik pola pembelajaran pada sekolah unggulan yang memakai sistem asrama sama dengan yang ada di pesantren, hanya satu ciri saja yang tidak ada yaitu unsur keberadaan sosok kyai. Sehingga penulis melihatnya, nuansa ruh dan spirit pesantren tidak ditemukan pada sekolah yang menggunakan sistem boarding school. Walaupun nilai-nilai pendidikan yang diterapkan pada sebuah sekolah berasrama masih banyak ditemukan disiplin dan peraturan seperti yang ada di pesantren. Kyai di pesantren merupakan sentral figur dan keteladanan bagi santrinya,[16] walaupun penulis tidak menafikan keberadaan kepala sekolah maupun guru dibeberapa sekolah berasrama memberikan pengaruh khususnya ketauladanan.

Dari aspek kemandirian maupun kedisplinan siswa sekolah unggulan berasrama, masih terlihat sangat jauh dari pola kedisiplinan yang diterapkan pada beberapa pesantren. Terlihat dari aktivitas keseharian, meski nuansa pendidikan asrama diterapkan, tetapi penulis melihatnya sangat kurang signifikan dibanding dengan pendidikan pesantren. Secara keseluruhan, aktifitas siswa dimulai dari bangun tidur hingga tidur malam, terlihat menyerupai dengan kegiatan yang ada di Pesantren. Hanya dari aspek kedisiplinan, seperti peluang untuk bertemu antara siswa dan siswi sangat mudah terjadi. Mungkin salah satu penyebabnya karena ruang dan tata letak sekolah unggulan berasrama terbatas dengan luas tanah. Lain dengan Pesantren, sering kita temukan dibeberapa pesantren yang memiliki luas tanah berkisar 10-20 hektar hingga lebih. Keterbatasan tata ruang sangat mempengaruhi siswa terutama dalam hal pembelajaran.

Aspek kemandirian siswa sekolah unggulan berasrama, ada kemungkinan besar masih jauh dari harapan. Ruangan kamar, kelas, kantin, fasilitas olahraga, laboratorium, sangat jauh berbeda dengan kebanyakan Pesantren, meskipun ada beberapa kecil Pesantren yang memiliki fasilitas high class. Ruangan kamar hanya terbatas dengan jumlah sedikit berkisar 4-12 siswa. Keanekaragaman fasilitas dalam kamar sangat bergantung dengan biaya. Semakin nyaman dengan fasilitas, maka akan berbeda dengan biaya yang harus dibayar. Begitu juga dengan ruang kelas, sering ditemukan TV, proyektor, serta fasilitas lainnya.

Secara umum fasilitas yang terdapat pada sekolah umum berasrama lebih baik dengan beberapa Pesantren di Indonesia. Tetapi penulis melihat dengan biaya tinggi yang diterapkan oleh sekolah unggulan berasrama, hingga tersedianya fasilitas memadai, bukan sebagai tolak ukur terutama dalam hal keberhasilan sebuah lembaga mencetak alumninya. Penulis melihat pola pendidikan pada sekolah unggulan berasrama, mungkin salah satu strategi modernisasi pendidikan terhadap sekolah umum dengan diimbangi keimanan dan ketakwaan melalui pendidikan asrama selama 24 jam. Konsep ini memang baru muncul pada akhir-akhir ini, tetapi pola pendidikan asrama yang diterapkan oleh pesantren-pesantren Indonesia sebagai pemicu munculnya sekolah unggulan yang menggunakan sistem pendidikan asrama.

Catatan:

[1] Marwan Dasopang, Perjuangan Politik Menegakkan Eksistensi Pesantren, Depok: LP3ES, cet 1, 2023, hlm 3.

[2]  Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, cet 1, 2012, hlm 37.

[3] Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, cet 1, 2012, hlm 11.

[4]  Marwan Dasopang, Perjuangan Politik Menegakkan Eksistensi Pesantren, Depok: LP3ES, cet 1, 2023, hlm 9.

[5] Heri Purwosusanto, Vis A Vis Partai Islam dan Partai Nasionalis Strategi Komunikasi Politik Partai Berbasis Pengaderan, Tangerang Selatan: Lembaga Kajian Dialektika, cet 1, 2023, hlm 54.

[6] Hal ini menjadi godaaan terhadap calon pemimpin masa depan. Silaturrahim ke lembaga pendidikan seperti Pesantren harus diniatkan sebagai kebaikan bukan sekedar kunjungan yang ada maksud tertentu. Kita tidak menafikan bahwa Silaturrahim ini sangat berdampak signifikan terhadap perolehan suara. Apalagi Indonesia merupakan Negara mayoritas Islam dan terbesar di dunia. Lihat Deliar Noer, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, cet 1, 2003, hlm 207.

[7] Imam Suprayogo, Kyai dan Politik Membaca Citra Politik dan Kyai, Malang: UIN Maliki Press, cet 3, 2020, hlm 31.

[8] M. Sirozi, Politik Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet 3, 2010. Hlm 39.

[9]  Marwan Dasopang, Perjuangan Politik Menegakkan Eksistensi Pesantren, Depok: LP3ES, cet 1, 2023, hlm 35.

[10] Marwan Dasopang setelah terpilih menjadi ketua Panja UU Pesantren berkunjung ke KH. Said Aqil Siroj untuk menerima nasehat dan masukan. Salah satu masukan dari Kyai Aqil Siroj ialah UU Pesantren jangan sampai ada satu Undang-undang membuka pintu intevensi pemerintah ke Pesantren. Apalagi nantinya kepala Kanwil Kemenag mampu mengatur kyai. Ini yang harus dihindari menurut kyai Said Aqil Siroj kepada Marwan Dasopang. Lihat Marwan Dasopang, Perjuangan Politik Menegakkan Eksistensi Pesantren, Depok: LP3ES, cet 1, 2023, hlm 115.

[11]  Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, cet 1, 2012, hlm 107.

[12] Metode ini merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan di bawah bimbingan seorang ustadz maupun kyai. Tekhnik pengajiannya diselenggarakan di masjid atau di ruangan tertentu dengan disipkannya tempat duduk kyai atau ustadz, kemudian di depannya terdapat meja untuk meletakkan kitab bagi santri. Lihat Tim Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta: Kemenag, cet 1, 2003, hlm74.

[13] Penulis pernah berkunjung langsung ke kediaman KH Muadz Thohir di Kajen Pati pada tanggal 13 bulan Oktober 2014.

[14]PM Gontor didirkan pada tanggal 10 april 1926 di Ponorogo Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kyai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zaenuddin Fannani, KH Imam Zarkasy. Pada awalnya Gontor hanya membuka Tarbiyatul Athfal (setingkat taman kanak-kanak) lalu meningkat dengan mendirikan KMI yang setara dengan lulusan sekolah menengah. Pada saat itu Pesantren dianggap oleh masyarakat hanya mengajarkan ilmu agama tetapi buta dengan pengetahuan umum, maka saat itu para pendiri Gontor mendirikan dengan menggunakan sistem format baru yaitu mempertahankan sistem salaf dengan methode pengajaran sama dengan sistem sekolah umum berupa klasikal. Lihat Amie Primarni dan Khairunas, Pendidikan Holistik; Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter Paripurna, Jakarta: Al Mawardi Prima, cet 1, 2013, hlm143.

[15] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Indonesia Abad ke-20, Jakarta: Kencana Pranada Media, cet 1, 2012, hlm.320.

[16] Kyai santri mendedikasikan hidupnya untuk mendidik, membina, menata, membimbing dan melayani kehidupan pesantren yang Islamy, tarbawi, dan ma’hady. Lihat Ahmad Suharto, Menggali Mutiara Perjuangan Gontor, Mantingan: Darussalam Press, cet 1, 2014,hlm 74. Ridjaluddin, KH Imam Zarkasy Dan Modernisasi Pendidikan, Jakarta: Pusat Kajian Islam Uhamka; cet 1,hlm.209.

* Dr. Abuzar Al Ghifari, Lc., M.A., merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Parung Bogor, Pesantren Darunnajah Jakarta, Dosen di Universitas Darunnajah Jakarta, dan peneliti di Pusat Pengembangan Pesantren dan Wakaf Universitas Darunnajah.

 Baca juga: Pesantren: Sebuah Kajian Awal dan Analisis Historis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *