Oleh: Shava Rosalia Efendi
Tidarislam.co- Indonesia merupakan negara yang memiliki enam negara yang diakui dan banyak kepercayaan lokal yang tersebar di wilayahnya. Penduduk beragama terbesar di Indonesia adalah umat islam dengan jumlah lebih dari 229 juta jiwa atau setara dengan 13% penduduk muslim di dunia. Keberagaman dan ketimpangan jumlah pemeluk agama ini sering menjadi potensi konflik agama di Indonesia.
Dalam lingkungan masyarakat multikultural seperti Indonesia, keberagaman dan dinamika sosial menjadi tantangan dan juga sebagai peluang untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Dengan adanya perbedaan dari latar belakang agama, budaya, etnis, dan tradisi yang sering membuat kerusuhan, terutama ketika nilai-nilai syariah berhadapan dengan berbagai pandangan sosial yang berbeda-beda.
Problem Sosial
Sudah diketahui secara luas bahwa kehidupan sosial di tengah keberagaman masyarakat Indonesia tidak selalu berjalan dengan mulus. Selalu ada permasalahan yang muncul karena adanya sentimen antar kelompok atau perbedaan pendapat. Terciptanya perdamaian di tengah keberagaman yang diusung oleh Pancasila akan semakin sulit diwujudkan apabila melihat kondisi intoleransi antarumat beragama di Indonesia.
Mengapa intoleransi itu bisa terjadi? Lalu bagaimana relevansi pesan syariah Islam bagi masyarakat multicultural? Syariah sejatinya merupakan ajaran dalam agama Islam yang lurus dan menjadi pedoman hidup bagi umat muslim. Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (yang benar), fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah itu, kecuali agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Syariah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah (ajaran dan praktik hidup Nabi Muhammad SAW), sejatinya memiliki tujuan untuk menciptakan perdamaian, kerukunan antar umat beragama, dan menghindari intoleransi dalam lingkungan sosial keagamaan.
Namun intoleransi berbasis agama seringkali muncul akibat kesalahpahaman dan pemahaman ekstrim dan literer terhadap syariah. Dalam hal ini adalah pemahaman tekstualis terhadap syariah, pemahaman yang sempit, yang mengabaikan prinsip-prinsip moderasi dalam Islam. Pemahaman keagamaan yang tidak seimbang bisa berujung pada polarisasi sosial dan konflik horizontal yang mengancam kerukunan masyarakat.
I’tidal sebagai Bentuk Sikap Moderat di Tengah Masyarakat Multikultural
Islam memiliki ajaran etika tentang i’tidal, yang berarti sikap adil dan seimbang dalam menghadapi macam hal. Dengan kata lain, ini adalah bentuk sikap moderat. Konsep etis ini sesungguhnya sangat relevan. Sebagai prinsip moral dan etika dalam Islam, i’tidal tidak hanya membentuk cara pandang umat yang moderat terhadap hukum dan norma agama, tetapi juga menjadi fondasi dalam membangun sikap inklusif dan toleran terhadap perbedaan. Sikap ini penting untuk menghadapi berbagai problem sosial, seperti toleransi, diskriminasi atas nama agama. I’tidal berperan sebagai jembatan yang menyeimbangkan antara prinsip dan realitas sosial.
Pentingnya pendekatan seimbang dan moderat dalam beragama juga harus tercemin melalui pendidikan agama yang diberikan di lingkungan sekolah. Di sekolah para siswa bisa diperkenalkan pada nilai-nilai keagamaan, tetapi juga perlu diajarkan untuk menghormati dan memahami agama lain. Dengan itu dapat membantu untuk menciptakan budaya yang inklusif dan saling pengertian yang lebih baik di antara generasi muda.
Baca juga: Kuliah Umum Rektor Al-Azhar tentang Moderasi Beragama dan Tantangan Global
Setiap daerah pasti memiliki keunikan budaya dan individu-individu dengan ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Ciri khas tersebut tampak dari sisi acuan nilai, norma, dan identitas agama anggota masyarakat itu sendiri. Menurut Hasan Shadiri, “Masyarakat adalah sekelompok orang, besar atau kecil, yang secara bersama-sama atau sendiri-sendiri menjadi anggota kelompok dan saling memberikah pengaruh spiritual” (Abu Ahmadi, 2009).
Dengan kehidupan masyarakat beragam semacam itu, pesan utama dalam kehidupan agama yang moderat dalam masyarakat multikultural adalah:
Kita dilarang mendiskriminasi atau mengucilkan orang maupun kelompok. Keberagaman masyarakat di suatu wilayah justru dapat dilihat sebagai kekuatan solidaritas yang dapat mempererat hubungan persaudaraan antar masyarakat. Dengan ini, anggota suatu kelompok mempunyai tanggung jawab untuk hidup bersama dan bersifat sosial.
Pada dasarnya, multikulturalisme terdiri dari dua kata yang memiliki arti berbeda, yaitu “multi” dan “kulturalisme”. “Multi” artinya “beragam” dan “kulturalisme” artinya “budaya”. Oleh karena itu, multikulturalisme merupakan cara pandang kita untuk memahami keberagaman budaya yang ada.
Sementara itu, pada saat ini, kita sering melihat maupun mendengar laporan tentang kasus kekeran yang terkait dengan masalah agama. Kerusuhan yang terkait dengan isu agama biasanya disebabkan oleh “ekstremisme agama atau liberalism agama. Konflik yang disebabkan oleh agama dapat melibatkan kelompok yang berbeda dalam agama itu sendiri, atau dapat terjadi antar kelompok dalam agama yang berbeda.
Baca juga: Meneroka Tren Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
Maka dari itu, kita dapat menyelesaikan masalah di lingkungan yang masih terjadi dalam masyarakat multikultural itu dengan menggunakan prinsip dan ajaran-ajaran Islam yaitu i’tidal. I’tidal dalam ajaran agama islam, memiliki arti yaitu sikap yang adil, seimbang serta tidak keras dalam menjalankan ajaran agama. Prinsip ini sesuai dengan konsep moderasi beragama yang menekankan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara konteks agama dan konteks sosial.
Di dalam lingkungan masyarakat yang multikultural, menerapkan sikap moderat sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan dan untuk mencegah konflik antarumat beragama. Sikap beragama yang moderat, yang tidak condong kepada ekstremisme dan liberalisme dalam agama, adalah kunci keseimbangan untuk menciptakan perdamaian, saling menghormati, menerima perbedaan, sehingga hidup bersama secara damai dan harmonis (Jamaluddin, 2022).
Implementasi I’tidal melalui Pendidikan Multikultural
Sikap i’tidal dalam pendidikan multikultural semestinya menjadi pelajaran dari sejak usia dini. Pengintegrasian nilai-nilai moderasi beragama dapat di masukkan ke dalam kurikulum pembelajaran. Di dalam pembelajaran dapat mengajarkan nilai-nilai seperti toleransi (tasamuh), keadilan (‘adl), dan sikap saling menghargai dapat diajarkan secara jelas dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam, Pendidikan Pancasila, dan kewarganegaraan. Menurut Abdul Wahid (2024), pendidikan yang berbasis moderasi kini sangat penting untuk diajarkan guna membentuk individu yang mampu menerima dengan keberagaman sosial dan budaya.
Guru memiliki peran penting dalam menerapkan dan menanamkan nilai i’tidal dalam pendidikan. Guru bukan hanya bertugas sebagai penyampai materi saja, tetapi juga sebagai figur teladan dalam kehidupan beragama dan sosial. Di dalam kelompok, biasanya guru dituntut untuk menyampaikan materi secara jelas, dan mampu mendorong siswa untuk bisa berfikit kritis, tetapi tetap bisa menunjukkan sikap yang terbuka terhadap perbedaan dan menghormati keyakinan lain.
Penerapan i’tidal dalam pendidikan multikultural tidak cukup hanya di materi pelajaran saja, tetapi juga pada budaya dan aturan sekolah secara keseluruhan, Budaya sekolah yang menghargai perbedaan dapat diciptakan melalui kegiatan lintas agama, perayaan hari besar nasional dan forum diskusi yang melibatkan siswa dari latar belakang yang berbeda. Sekolah dapat menjadi tempat sosial yang menumbuhkan empati, solidaritas, dan penghargaan terhadap keberagamaan.
Baca juga: Nilai Tawazun dan Realisasinya dalam Pemerataan Pendidikan Nasional
Penutup
Dalam hal ini, penulis setuju bahwa i’tidal sebagaimana diajarkan dalam syariah Islam merupakan prinsip yang perlu dikedepankan dalam menyikapi problem keberagaman dan konflik sosial yang berbasis agama di Indonesia. Di dalam beberapa kasus, konflik keagamaan bukan disebabkan oleh ajaran agama itu sendiri, tetapi oleh cara pandang yang sempit.
Dengan ini, pendekatan moderat sangat penting untuk diterapkan, terutama melalui jalur pendidikan. Di sekolah tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat untuk pembentukan karakter yang inklusif dan toleran. Namun, implementasi nilai i’tidal juga perlu didukung oleh pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat luas agar nilai-nilai tersebut tidak hanya menjadi konsep, tetapi benar-benar diterapkan di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Prinsip i’tidal (sikap adil dan seimbang) sangat penting dalam menghadapi problem sosial syariah di tengah masyarakat multikultural. Dengan banyaknya keberagaman yang ada di Indonesia seperti keberagaman agama, budaya, dan etnis, i’tidal menjadi fondasi untuk menumbuhkan sikap inklusif, toleran, dan damai. Implementasi prinsip ini tidak hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga sangat penting dalam dunia pendidikan.
Melalui pendidikan multikultural yang menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini, generasi muda dapat dibentuk menjadi individu yang memahami dan menghargai keberagaman, serta menolak ekstremisme dan liberalisme agama yang bisa memicu konflik. Dengan ini, i’tidal adalah jembatan penting antara ajaran islam dan realita sosial Indonesia yang kompleks. Wallahua’lam.
Editor: Tidarislam.co
Shava Rosalia Efendi, merupakan mahasiswi Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta
One thought on “Implementasi Prinsip I’tidal (Adil) sebagai Sikap Moderat di Tengah Masyarakat Multikultural”