Karya Pramudya Ananta Tur: Tokoh Utama “Bumi Manusia” pendiri Sarikat Islam?

Oleh: Yusuf Abdullah Puar

Ada seorang penulis Surat Pembaca dengan nama dan alamat yang tersimpan dalam redaksi surat kabar itu, artinya tidak disiarkan bersama dengan tulisan itu. Kata penulis tersebut dia telah membaca buku itu dan sambungnya Anak Semua Bangsa, dan menilainya indah sekali. Dia juga katanya telah membaca berita-berita dan resensi-resensi surat kabar di Negeri Belanda. Dan karena itu dia mengetahui bahwa tokoh cerita Bumi Manusia yang bernama Minke tersebut adalah seorang yang bernama Tirtoadisuryo. Tetapi katanya itu baru akan kita ketahui dalam buku berikutnya Jejak Langkah dan Rumah Kaca (yang belum terbit sampai Maret 1981).

Kedua buku terakhir ini belum terbit tetapi penulis siluman dalam Kompas tersebut sudah mengetahui isinya dengan peranan Minke sebagai Tirtoadisuryo. Dapat ditarik kesimpulan penulis siluman itu telah membaca naskah kedua buku yang belum terbit itu yang berada di tangan penulis resminya Pramudya.

Buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramudya itu telah diterbitkan oleh P.T. Hasta Mitra yang dipimpin oleh Hasyim Rachman. Kedua komunis ini adalah bersahabat karib dan sama-sama jadi Tapol PKI di pulau Buru. Setelah Tapol PKI Buru dipulangkan, Pramudya dan Hasyim tinggal menetap di Jakarta, bekerjasama dalam usaha penerbitan P.T. Hasta Mitra.

Saya sendiri telah membaca Bumi Manusia itu, tebal 328 halaman dengan tokoh utamanya Minke (baca: Mingke, Kata Pramudya).

Penulis misterius itu menyatakan Tirtoadisuryo pahlawan Islam, pendiri Sarekat Dagang Islam yang tidak kalah pentingnya dari Umar Said Cokroaminoto, H. Samanhudi, Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo. Katanya, Tirtoadisuryo adalah pahlawan Islam yang dilupakan sejarah, yang digelapkan oleh kolonialisme Belanda.

Keterangan di atas dapat saya tambah bahwa Tirtoadisuryo (1875-1917) keturunan Bupati Bojonegoro, Tirtonoyo yang berpendidikan Osvia (sekolah pengrehpraja) dan Stovia (sekolah dokter, tidak tamat), keduanya berbahasa Belanda. Tirtoadisuryo, pengganti kedudukan ayahnya tetapi memiliki kebebasan di luar kepangrehprajaan kolonial. Pelopor kewartawanan (jurnalistik). Memegang redaksi majalah mingguan Medan Priayi (1906), Keadilan dan Putri Hindia.

Dia terkenal sebagai penganjur pendirian Sarekat-sarekat Dagang Islam yang didirikannya di Betawi, Bogor dan Solo. Kritik-kritiknya terhadap pemerintah jajahan, keras dan tajam. Oleh karenanya diasingkan ke Lampung tetapi rasa kenasionalannya dengan itu tidak luntur, dan kegiatannya tidak menjadi kendur. Meninggal di Betawi, dan dikebumikan di Mangga Dua, Jakarta Kota (vide Ensiklopedi Umum, Kanisius Yogyakarta 1975 hal. 1333).

Kemudian, J. Th. Petrus Blumberger dalam karyanya De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indie, terbitan Haarlem, Belanda 1931 hal. 55 sampai hal. 60 menulis antara lain bahwa Raden Mas Tirtoadisuryo asal Solo, pada 1909 di Batavia mendirikan Sarekat Dagang Islamiah, dan pada tahun 1911 Sarekat Dagang Islam di Buitenzorg (Bogor). Setelah bergabung di Solo dengan M. Haji Samanhudi, seorang pedagang besar dan industriawan batik, didirikan Tirtoadirsuryo Sarekat (Dagang) Islam atas dasar kooperatif dengan gelombang anggota yang tidak bisa dibendung.

Pada 12 Agustus 1912 oleh pemerintah kolonial, perhimpunan itu dinyatakan berbahaya dan mengganggu ketertiban dan keamanan sehingga ditindak oleh Residen (Belanda) dalam bentuk skorsing (pembubaran sementara); diiringi dengan larangan mengadakan rapat-rapat dan menerima anggota-anggota baru. Dua pekan kemudian ketentuan itu dicabut. Kemudian peraturan dasarnya disetujui Tirtoadisuryo selaku ketua Pengurus Besar Sarekat Dagang Islam di Buitenzorg dan Direktur/Ketua Redaksi Medan Priayi di Bandung.

Dalam kata pendahuluan Tirtoadisuryo dinyatakan yang menjadi tujuan adalah mencapai kemajuan, bersatu dan saling menolong di antara semua kaum Muslimin. Fikiran demokrasi yang dicetuskan di Solo itu berkembang di Surabaya yang menjadikan Sarekat Islam bersemboyankan Islam sebagai kesatuan bangsa. Pada 10 September 1912 ia dikuatkan dengan akte notaris di Surabaya dengan dipelopori Umar Said Cokroaminoto.

Pada kongres pertama Sarekat Islam 26 Januari 1913 di Surabaya didirikan Komite Sentral Sarekat Islam dengan H. Samanhudi sebagai ketua dan Umar Said Cokroaminoto wakil ketua. Kesadaran nasional yang dipelopori Tirtoadisuryo kini menjelma menjadi gerakan rakyat dengan mempertahankan agama Islam sebagai lambang kesatuan rakyat.

Akhirnya….Pemerintah RI mengakui Tirtoadisuryo sebagai tokoh Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

***

Apakah rintisan perjuangan kemerdekaan Tirtoadisuryo yang hebat tersebut seimbang dengan apa yang ditulis Pramudya Ananta Tur dalam karyanya Bumi Manusia tentang peranan dan kehidupan Minke, tokoh utama dalam buku itu yang dikatakan adalah dia Tirtoadisuryo oleh penulis misterius dalam Kompas di atas? Baik diketahui bahwa Pramudya sendiri tidak ada mengatakan dan membayangkan demikian dalam buku itu; sebaliknya tidak pula mengoreksi atau membantah cerita penulis siluman itu.

Sekali lagi, adakah seimbang? Jangankan seimbang tetapi sebaliknya Minke digambarkannya sebagai tokoh cerita yang berkali-kali tidak mengindahkan atau mengacuhkan agama dan susila; selanjutnya Minke itu dilukiskannya ke Belanda-belandaan, romantic, nakal dan sexualis.

Minke siswa HBS (Sekolah Menengah Belanda) di Surabaya mula-mula indekos di Kranggan di kota itu, kemudian berkenalan di Wonokromo di Selatan Surabaya dengan Nyai Ontosoroh, gundik Belanda Herman Mellema, pemilik Boerderij Buitenzorg (usaha pertanian). Gundiknya yang semula bernama Sanikem itu telah melahirkan dua orang anak tidak sah (di luar nikah) yang telah dewasa, dan tinggal bersama serumah (B.M. hal. 53), yaitu pemuda remaja Robert Mellema, dan adiknya gadis amat cantik Annelise Mellema.

Gundik Sanikem tidak disebut Nyonya Mellema atau Mevrouw Mellema tetapi Nyai Ontosoroh (basteran ucapan Pribumi untuk Buitenzorg) yang sudah lima tahun belakangan membenci Herman yang hidup terpisah entah di mana. Nyai itu merayu Minke agar sering suka datang ke tempatnya di Wonokromo, kemudian tinggal saja di sana (hal. 26); disediakan kamar untuknya berlajar, dan disiapkan kereta kuda pulang-pergi ke sekolah HBS.

Maka tertariklah hati Minke, terutama menemani Nyai yang sudah biasa hidup tanpa ikatan nikah itu, apalagi mendapat kesempatan melakukan adegan-adegan asmara dengan gadis Annelise (Ann) yang mempunyai kejelitaan kreol atau indo yang luar biasa (hal. 39, 186). Dara cantik idaman semua pria (hal. 61). Bagaimana besarnya perhatian Minke terhadap Nyai itu, Minke menulis cerpen dalam koran Belanda S.Nv/dD berjudul Een buitengewoon gewoone Nyai die ik ken (Seorang Nyai Biasa yang Luarbiasa yang Aku Kenal – hal. 96).

Ciuman pertama yang dilakukan Minke terhadap Ann dilaporkan dara itu kepada mamanya yang bersenang hati mendengarnya. Kedua remaja itu sering berduaan di kamar loteng atas (hal. 52). Entah berapa kali Pramudya menulis adegan romantik kedua makhluk yang berlainan jenis kelamin itu. Dan entah berapa halaman pula lembaran bukunya itu melukiskan pelukan mesra yang berlaku antara Minke dan Ann; begitu pula pendaratan cium bibir ke bibir ke pipi (hal. 38, 56, 62, 180, 182). Atau dekap atau lekat tubuh dengan tubuh (hal. 54). Atau Minke menggendong Ann (hal. 186). Bahkan Nyai itu menyuruh Minke mencium Ann di hadapannya (hal. 38).

Itulah kebiasaan Minke karena banyak bergaul dengan Belanda, Eropa lain dan gadis-gadisnya, totok atau indo (hal. 40), di sekolah HBS (sebagai satu-satunya Pribumi dalam kelas) atau di mana saja. Dan saya turunkan ini semua untuk meminta pertimbangan yang sehat, apakah mungkin demikian durjananya seorang calon pemimpin sarekat Islam yang katanya adalah di aitu Tirtoadisuryo alias Minke?

Baik diketahui bahwa Minke katanya tidak pernah berniat untuk bersungguh-sungguh dengan seorang gadis (hal. 181). Jadi seorang playboy?

Ada adegan ranjang yang sangat jijik tidak beradab dan tidak sopan sama sekali untuk dituliskan di sini. Ditambah dengan adegan-adegan sexual lain dalam variasi yang menegangkan naluri birahi. Termasuk Robert menggagahi adiknya Ann. Dalam keseluruhannya menyangkut cinta bebas (free love) tanpa moral merupakan “sukses” bagi Pramudya yang mengarangnya di pulau tahanan tokoh-tokoh PKI di pulau Buru yang sunyi sepi dalam tahun 1973. Pramudya sebagai tapol penghuni barak-barak yang berserakan dengan 12.000 orang PKI laki-laki tanpa Wanita.

***

Tingkah pongah dan aib susila beruntun Minke seperti itulah disarankan penulis siluman dalam Kompas itu harus dinilai dengan lapang dada karena indah sekali. Katanya dia sebagai seorang Islam menghargai dan berterima kasih kepada Pramudya yang telah mendudukkan kembali pahlawan Islam Tirtoadisuryo, pejuang yang dilupakan. Katanya pula semoga generasi muda Islam Indonesia yang sebenarnya merupakan pembuka jalan gerakan kemerdekaan nasional kita.

Walhasil, sekarang bagaimana? Penulis artikel ini tidak tahu apakah Pramudya sendiri bertujuan dan berkesimpulan demikian? Kalau benar begitu, memang mungkin saja sebagai pengarang komunis serupa itu: meleceh dan merendahkan pemuka agama dan perjuangan agama Islam.

Sampai disini kita belum dapat bertindak positif dan tegas terhadap tendensi yang amat negatif itu sebelum keempat rangkaian buku Pramudya Ananta Tur itu beredar….!

*Tulisan ini pertama kali diterbitkan pada majalah Panji Masyarakat No. 321 15 Jumadil Akhir 1401 H – 20 April 1981, hlm. 62-63, dan ditulis kembali secara verbatim. Credit to: Hendra Darmawan.

Baca juga: Ketika Soeharto Membaca Bismillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *