Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi
Tidarislam.co- Salah satu karakteristik tafsir al-Quran adalah penafsiran al-Quran dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Penafsiran semacam ini menghasilkan corak Tafsir Ilmi atau Tafsir Ilmiah. Imam Husein Dzahabi menjelaskan pengertian Tafsir Ilmi adalah: “penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah untuk menjelaskan dan memberikan keterangan tentang makna di dalamnya, dan berupaya dengan penafsiran tersebut untuk menggali bermacam-macam ilmu pengetahuan dan pemikiran-pemikiran filosofis dari dalam al-Qur’an.”
Namun demikian, penafsiran menggunakan pendekatan ilmiah semacam ini mengudang kontroversi, karena memang status al-Quran sendiri bukan merupakan korpus ilmiah. al-Quran adalah Kalam Allah. Para ulama penafsir al-Quran menyikapi hadirnya pendekatan ilmiah semacam ini dengan dua pandangan. Mereka yang setuju memandang bahwa al-Quran mencakup dimensi yang luas, baik aspek keagamaan (diniyyah), keimanan dan keyakinan (i’tiqadiyah), moralitas (‘amaliyah), maupun berbagai macam aspek ilmu pengetahuan dunia (‘ilmiyah) dengan berbagai variasi jenis, bentuk, dan warnanya. Imam al-Ghazali, Jalaluddin as-Suyuti, Thantawi Jauhari, adalah termasuk ulama yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam menafsirkan al-Quran.
Baca juga: Mendiskusikan al-Quran sebagai Kalam Allah
Sementara mereka yang menolak pendekatan ilmiah dalam al-Quran berpandangan bahwa acuan terbaik dalam memahami makna al-Quran adalah pemahaman seperti generasi salafus salih, dan mereka tidak menggunakan pendekatan ilmiah dalam memahami al-Quran. Sebab, al-Quran bukan kitab ilmiah, tetapi kitab yang mendatangkan hidayah bagi pembacanya. Sehingga, al-Quran tidak dapat dipahami dengan akal yang unggul sekalipun. Selain itu, ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia memiliki banyak kelemahan, misalnya teori-teori yang saling terbantahkan satu sama lain, sehingga akan mendistorsi makna al-Quran. Termasuk yang menolak pendekatan ini adalah Imam as-Syatibi, Syaikh Muhammad Mustofa al-Maraghi, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Amin al-Khulli, dan Husain al-Dzahabi.
Dalam hal ini, penulis sepakat dengan mereka yang menerima pendekatan ilmiah untuk memahami al-Quran. Pertama, al-Quran memang bukan kitab ilmiah, artinya sebagai kitab sebagaimana karya ilmuwan. Tetapi al-Quran dapat menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Quran sendiri memberikan penghormatan yang besar terhadap kedudukan akal dan ilmu. Tak kurang ayat-ayat dalam al-Quran yang menyuruh manusia untuk mendayagunakan akalnya. Salah satu produk aktivitas akali manusia itu adalah ilmu pengetahuan, terlepas dari segala kekurangan dalam ilmu pengetahuan itu. Al-Quran bahkan dibuka dengan “ayat Iqra” yang sering dimaknai sebagai dorongan membaca, termasuk membaca secara ilmiah. Ilmu pengetahuan sendiri sangat beragam cakupannya, baik ilmu pengetahuan kebahasaan, ilmu sosial, dan ilmu-ilmu eksakta.
Bahkan, beberapa ahli tafsir menetapkan standar bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi salah satu prasyarat standard dalam menafsirkan al-Quran, khususnya ilmu-ilmu kebahasaan. Maka demikian pula ilmu pengetahuan lainnya ketika hendak memahami tentang ayat-ayat yang relevan dengan ilmu tersebut. Hanya memang, kita perlu menyadari bahwa ilmu pengetahuan secara historis tidak tertutup terhadap kritik dan kelemahan, karena faktor dari kepentingan seorang ilmuwan itu sendiri, dan faktor kelemahan ilmuwan itu sendiri.
Selain itu, kedua, pendekatan ilmiah sekarang ini adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari untuk menjelaskan tentang kitab suci al-Quran. Peradaban umat manusia sekarang ini telah berkembang sampai pada masyarakat yang berlomba dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan telah menandai peradaban manusia hari ini menjadi sebuah masyarakat positif. Puncak dari pengembangan ilmu itu juga telah menghasilkan teknologi, dan setiap komunitas berlomba dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, audien dari al-Quran hari ini bukan hanya komunitas religius atau umat, tetapi juga komunitas masyarakat ilmiah, a scientific community, yang menuntut pembicaraan al-Quran dengan bahasa ilmiah. Oleh karena itu, menyampaikan pesan al-Quran dengan bahasa ilmiah sekarang ini adalah suatu keniscayaan.
Baca juga: Mengenal Ilmu Tafsir al-Quran
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang pesat sekarang ini, dalam berbagai macam kasus, tidak bertentangan dengan kebenaran-kebenaran dalam al-Quran, dan terbukti justru mengafirmasi kebenaran-kebenaran dalam al-Quran. Artinya, kebenaran ilmiah dapat memperkuat dan menjelaskan secara lebih eksplisit kebenaran dalam al-Quran. Sudah barang tentu, kita tidak bisa mendudukkan ilmu pengetahuan di atas wahyu al-Quran. Oleh karena itu, jika ditemukan suatu kontradiksi dalam temuan ilmu pengetahuan, hal yang pertama harus dipertanyakan dan dikoreksi adalah temuan ilmu pengetahuan manusia itu sendiri.
Dalam hal ini, kita juga perlu menggarisbawahi bahwa setiap penafsiran terhadap al-Quran bersifat relatif dan tak lepas dari kepentingan di balik penafsir itu sendiri. Kebenaran yang hakiki ada di sisi Tuhan (Al-Baqarah: 147). Manusia hanya berupaya semaksimal mungkin untuk menjelaskan menangkap dan menjelaskan kebenaran itu sesuai kapasitas yang dimiliki semaksimal mungkin. Hal yang sama kita jumpai dalam setiap teori ilmu pengetahuan. Kebenarannya tidak mutlak, tetapi merupakan upaya maksimal dari seorang ilmuan dalam menjelaskan suatu kebenaran. Dalam sejarahnya, kebenaran ilmiah selalu terbantahkan selalu dikoreksi dan disempurnakan. Tetapi hendaknya tujuannya tetap sama, yakni mendayagunakan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan itu dalam rangka untuk mengkonfirmasi kebenaran al-Quran dan menemukan kemukjizatan al-Quran.
Kedudukan seorang ilmuwan dengan demikian sesungguhnya sangat mulia. Mereka adalah para ulama pewaris misi para Nabi. Mereka diberi kelebihan oleh Allah dengan keunggulan akalnya untuk mendayagunakan perangkat akalnya untuk menyingkap rahasia-rahasia dan makna-makna al-Quran. Sehingga, mereka juga memiliki otoritas dan keabsahan untuk menjadi mufassir yang menjelaskan kebenaran al-Quran sesuai dengan kapasitanya. Kebenaran ilmiah yang mereka temukan merupakan penjelasan atas kebenaran-kebenaran ilahi dalam al-Quran, terutama dalam ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang masalah-masalah alam semesta, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kita dapat mengambil posisi, bahwa al-Quran memang memberikan informasi kepada manusia secara global (ijmali). Tugas manusia, dalam hal ini ilmuwan, adalah mendayagunakan akalnya untuk memahami kebenaran ilahi dalam wahyu al-Quran secara lebih detail (tafshili) dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tentu saja, kita tidak dapat mengabaikan aspek hidayah dalam aktivitas penafsiran al-Quran. Untuk itu, diperlukan prasyarat ketulusan niat dan kejernihan hati dari seorang penafsir al-Quran agar senantiasa dipandu oleh hidayah dan nilai-nilai kebenaran al-Quran, dan tidak terlepas dari tujuan mulia dalam menyingkap makna al-Quran yang tak pernah habis-habisnya.
Baca juga: Tafsir Transformatif
Jika menengok kepada aktivitas penafsiran al-Quran di Indonesia, ulama-ulama Indonesia banyak yang tertarik pada pendekatan ilmiah semacam ini. Sebagaimana Syaikhoni menulis, bahwa perkembangan tafsir ilmi di Indonesia telah ada sejak tahun 1900. Episode pertama ditunjukkan dengan kehadiran Al-Furqan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ahmad Hasan, yang mengafirmasi bahwa Al-Qur’an sangat memungkinkan untuk dipahami melalui kacamata ilmu pengetahuan. Lalu periode berikutnya pada tahun 1951 hingga 2000, beberapa tafsir yang menampilkan penafsiran ilmiah adalah Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Samudera Al-Fatihah milik Bey Arifin, Tafsir Al-Qur’anul Majied An-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqy, dan lain-lain.
Dan pada periode ketiga, sejak tahun 2000 sampai sekarang ini, mulai banyak dan berkembang. Banyak Muslim yang tertarik mengkaji kembali topik hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan sehingga mempengaruhi minat yang besar terhadap kajian penafsiran ilmiah. Aktivitas penafsiran ilmiah sekarang ini tidak hanya dipelopori oleh individu atau ahli al-Quran, tetapi juga dipelopori oleh lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan universitas.
Beberapa karya penafsiran yang muncul pada periode akhir ini di antaranya adalah; Tafsir Salman yang ditulis oleh para ilmuwan ITB, Tafsir Ilmi yang ditulis oleh para ahli tafsir al-Quran Kementrian Agama dan ilmuwan LIPI, dan banyak pula buku atau literatur yang mencoba menyingkap kebenaran-kebenaran al-Qur’an dengan pendekatan saintifik, seperti, sepeti Dimensi Sains Al-Qur’an karya Ahmad Fuad Pasya, Ayat-Ayat Semesta: Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan karya Agus Purwanto, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an (terjemahan) karya Dr. Nadiyah Tharayyarah, dan lain-lain.
Dari beberapa yang disebutkan di atas, Tafsir Ilmi adalah termasuk paling komprehensif, yang disusun oleh para ahli tafsir dan ilmuwan dalam 14 jilid secara tematik. Menurut Muttaqin (2016), dalam “Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI”, tafsir ilmiah al-Quran resmi versi pemerintah ini menggunakan pendekatan ilmiah dan tematik, ingin menunjukkan kebenaran al-Quran secara korespondensi dan koherensi ilmiah dan untuk menunjukkan relevansi al-Quran dengan kehidupan, serta memiliki sisi pragmatisme yang kuat, yakni untuk mendukung atau melegitimasi kebijakan pemerintah. Tafsir ini dapat dikategorikan pula dalam tafsir bil-ra’yi, karena menjelaskan al-Quran dengan pendapat-pendapat ahli, dalam hal ini pendapat ilmuwan. Terlepas dari beberapa sisi kelemahan yang masih terkandung di dalamnya, kehadiran Tafsir Ilmi yang dihasilkan sebuah komunitas ilmuwan bersama pemerintah ini merupakan sebuah kontribusi penting dalam khasanah tafsir al-Quran modern di Indonesia. Wallahua’lam.
Baca juga: Melacak Sejarah Penerjemahan al-Quran