Pemikiran Hasan Hanafi tentang Reaktualisasi Islam

Oleh: Rohmatul Izad

Tidarislam.co – Hasan Hanafi (lah. 1935) adalah filosof dan pemikir Muslim abad 21 asal Mesir yang sangat konsen dalam melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Buku-bukunya telah banyak mengilhami umat Islam kontemporer untuk memikirkan kembali tradisi keilmuan Islam klasik dan merumuskan berbagai metodologi baru untuk mendekati teks-teks Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Pada dasarnya, Hanafi memiliki tiga proyek besar sepanjang hidupnya, yakni mengkaji ulang tradisi pemikiran Islam klasik, bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dengan Barat, dan prospek pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ketiga proyek ini menjadi satu kesatuan yang utuh bagaimana umat Islam hari ini harus melakukan reaktualisasi terhadap sejumlah khazanah keilmuan dalam Islam. Namun demikian, penulis hanya akan membatasi pada wilayah pembaharuan tradisi keilmuan Islam klasik.

Dapat dikatakan, konsep antara tradisi dan pembaharuan dikembangkan oleh Hasan Hanafi dalam misinya untuk melakukan reaktualisasi keilmuan klasik dalam tradisi Islam. Karena Islam pada dasarnya adalah agama dinamis dan ajaran-ajarannya selalu berkembang untuk menyesuaikan diri dengan zaman.

Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualisasikan kembali tradisi keilmuan Islam klasik. Dengan mengaktualkannya, berarti selama ini tidak aktual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau reformasi.

Baca juga: Nurcholish Madjid dan Ide Pembaharuan Islam

Selain itu, ia dapat pula dipahami bahwa ajarannya yang real, tidak lagi berjalan dalam masyarakat, dan dengan demikian, ia perlu dikembangkan kembali untuk kebutuhan hidup sekarang. Usaha untuk mengaktualkan tersebut barangkali dilakukan dengan pemahaman dan penghayatan tradisi keilmuan Islam melalui reinterpretasi.

Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam yang dimaksud Hanafi adalah reaktualisasi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Rekonstruksi diri, yakni tradisinya sendiri berupa khazanah Islam klasik, yang dilakukan lebih awal adalah landansan yang jauh lebih penting sebelum kemudian melakukan reformulasi terhadap “yang lain” yaitu respon terhadap Barat dan realitas.

Hasan Hanafi memulai eksplorasinya terhadap gagasan reaktualisasi dengan kembali kepada dasar-asar teks. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an adalah sumber tradisi, asas peradaban dan sumber pengetahuan umat sekaligus sebagai faktor pembangkit mayoritas gerakan sosial politik di sepanjang empat belas abad sejarah umat Islam.

Semua gerakan pembaharuan kontemporer sebenarnya lahir dari pemahaman al-Qur’an dengan metode penafsirannya. Oleh karena itu, metode penafsiran baru terkait dengan metode fikih klasik, karena fikih merupakan deduksi hukum dalam menghadapi realitas dan problem-problem baru.

Demikian pula terkait dengan gerakan reformasi keagamaan, yang memperkokoh kekuataanya dan merekonstruksi pembentukan dan perkembangannya. Ia juga merupakan gerakan pembaharuan yang bercita-cita mentransfer reformasi satu langkah lagi dari reformasi keagamaan menjadi kebangkitan universal, kemudian dari kebangkitan universal dengan dampak rasionalitas dan pencerahan menjadi revolusi sosial dan politik.

Sebagaimana dijelaskan di atas, proyek reformasi, reaktualisasi, dan rekonstruksi tradisi keilmuan Islam klasik tidak pernah bisa tercapai tanpa adanya pembentukan sistem teori baru dalam menafsirkan sebuah teks. Karena ini adalah dasar paling pokok dan inti dari pembaharuan itu sendiri, teks merupakan bagian integral yang harus terlebih dahulu dirumuskan sebelum menyapai titik tertentu dalam melihat realitas dengan segala problematikanya.

Sehingga, menjadi jelas bahwa batasan untuk sampai pada tataran pembaharuan tradisi Islam harus dimulai dengan menyusun kerangka teoritik yang memadai bagi teori penafsiran itu sendiri.

Hasan Hanafi (2007) menyebutkan beberapa model realitas tafsir dalam tradisi Islam. Pertama, tafsir merupakan bagian dari ilmu-ilmu tradisional seperti al-Qur’an dan Hadist tanpa memiliki prioritas sebagai teori epistemologi yang berlandaskan pada wahyu, karena tafsir merupakan logika wahyu. Kedua, tafsir tradisional berkutat di sekitar komentar-komentar, tafsil-tafsil dan bagian-bagian yang tidak ada urgensinya, yang tidak memperhatikan, makna-makna teks independen maupun kondisi-kondisi kontemporer umat.

Ketiga, tafsir didominasi oleh logika bahasa untuk mendeduksi makna-makna dari teks-teks dengan bantuan asbabulnuzul tanpa mempergunakan intuisi langsung teks untuk memahami makna yang jelas secara langsung dengan menunjuk kepada pengalaman hidup kontemporer. Keempat, kelemahan-kelemahan upaya tafsir modern, karena lebih diarahkan kepada dimensi-dimensi dogmatis-teologis dibandingkan dimensi-dimensi manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan alam.

Berdasarkan realitas di atas, Hanafi kemudian menghadirkan sebuah pembacaan baru terhadap realitas teks. Ia berpendapat bahwa cara penafsiran baru terhadap teks merupakan daya kreatifitas yang harus sepenuhnya dilakukan. Hanafi juga menunjukan bahwa daya kreasi terhadap teks harus dilakukan melalui teks-teks klasik, karena ini merupakan keniscayaan agar tidak terputus dari konteks sejarah.

Oleh karena itu, membacaan teks merupakan metode utama dalam proyek pembaharuan dan menentukan fleksibilitas pemikiran. Dalam pembacaan selalu terjadi interksi antara yang lama dengan yang baru, antara kreator dan zamannya, sehingga lahirlah kreasi-kreasi yang tak berkesudahan dan tercapailah kesatuan umat dalam sejarah.

Hanafi (2001) secara khusus merumuskan antara konsep “sejarah” dan “kebenaran” dengan menentukan dimana sebenarnya ditemukan sejarah dalam kebenaran, dan menunjukan dimana kebenaran ditemukan dalam sejarah. Hanafi kemudian mempertanyakan secara mendasar tentang di mana sebenarnya metode Islam asli, yang tercermin dalam ilmu fondasi-fondasi pemahaman ilmu ushul fikih, ditemukan dalam sejarah ilmu-ilmu keagamaan. Sehingga, Hanafi seakan-akan memutar balik persoalan sejarah dan kebenaran melalui rumusan teori tafsirnya. Hal ini secara langsung juga menentukan bagaimana sifat sejarah itu sendiri dengan membawa relevansinya pada era kekinian.

Baca juga: Deliar Noer dan Sejarah Modernisasi Islam di Indonesia

Dari landasan historis di atas, Hanafi berupaya mengelaborasi paradigma iniversalistik, dengan mengedepankan gagasan reaktualisasi tradisi keilmuan Islam. Bagi Hanafi, rekonstruksi itu selain merupakan keharusan sejarah, juga tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama.

Rekonstruksi dimaksudkan Hanafi untuk mentranformasikan ancaman-ancaman baru yang datang di dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia Islam terhadap kemerdekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi masa.

Hanafi tidak mencita-citakan gerakan intelektual sebagai sebuah aliran baru dalam Islam. Rekonstruksi tradisi dan revitalisasi khazanah klasik adalah upaya untuk mengelaborasi seluruh pemikiran alternatif yang pernah ada dalam sejarah umat Islam. Rasionalisme menjadi pijakan gerakan intelektualnya, tekanan diberikan kepada kemampuan individu untuk mengubah jalan hidupnya sendiri dengan kemampuannya sendiri.

Karena itu pula, sisi revolusioner pemikiran Hanafi lebih tepat disebut sebagai ideologi revolusioner. Dengan demikian, gagasan reaktualisasi keilmuan Islam adalah sebagai gerakan intelektual yang telah kukuh secara historis. Hanafi bercita-cita mewujudkan gagasannya, yaitu reaktualisasi keilmuan Islam ini, diorientasikan dan diarahkan kepada perubahan transformatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *